Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

#Sketsa - Rupiah Tumbang, Daerah Tercekik: Efisiensi yang Mematikan

10 April 2025 | 10.4.25 WIB Last Updated 2025-04-09T17:21:21Z

Oleh: Oyong Liza Piliang 


Pariamantoday - #Sketsa - Pagi ini, di sebuah warung kecil di sudut Pasar Pariaman, seorang ibu memandangi timbangan. Di satu tangan, ia memegang kantong plastik berisi tepung setengah kilogram, di tangan lain uang lima ribuan yang nyaris tak bernilai. “Minyak goreng naik, tepung naik, tapi pelanggan tetap minta harga lama,” keluhnya lirih. 

Bagi ibu itu, kurs dolar yang hari ini nyaris menyentuh Rp 17.000 bukanlah angka abstrak. Ia adalah kenyataan pahit yang menghantam dapur, bukan bursa.

Kenaikan tajam nilai tukar dolar AS hari ini membuka kembali luka lama bangsa. Kita seakan ditarik kembali ke lorong gelap sejarah tahun 1998, saat reformasi tumbuh dari bara krisis. Dulu, nilai tukar melejit dari Rp 2.300 ke Rp 16.000 dalam hitungan bulan.

Sekarang, setelah seperempat abad, kita menghadapi lonjakan serupa. Namun, bedanya, negeri ini lebih besar, lebih canggih, tapi tak juga lebih tahan terhadap badai eksternal. Mengapa?

Presiden Prabowo Subianto resmi menjabat sejak 20 Oktober 2024. Selama 168 hari pertama pemerintahannya, berbagai langkah strategis telah ia tempuh, membentuk Kabinet Merah Putih dengan susunan supergemuk, akan menghapus kuota impor, merevisi regulasi TKDN, hingga memulai lawatan diplomatik ke Timur Tengah dan Turki. Dalam pidatonya, ia bicara soal efisiensi dan penguatan ekonomi nasional. Namun realitas di lapangan menunjukkan kontradiksi yang mengkhawatirkan, rupiah makin tertekan, dan rakyat makin kehilangan daya beli.

Kita harus bertanya secara jujur: apakah efisiensi yang dikampanyekan itu sungguh dijalankan? Atau hanya kata-kata manis yang tertimbun di bawah tumpukan birokrasi yang kian membesar? Dengan jumlah anggota kabinet mencapai 109 orang, pemerintahan ini tercatat sebagai yang paling besar sejak Orde Baru. Apakah pembengkakan struktur ini dibarengi dengan efisiensi anggaran dan percepatan kerja? Ataukah justru menjadi beban baru di tengah fiskal yang rapuh?

Kenaikan dolar bukan hanya soal neraca perdagangan atau cadangan devisa. Ia menyusup ke celah paling kecil kehidupan rakyat; harga beras, tarif ojek, bahkan uang saku anak-anak. Efek domino ini melanda tanpa henti. Sementara itu, kebijakan-kebijakan populis seperti cek kesehatan gratis dan MBG, tanpa kontrol fiskal yang ketat, tidak akan menjadi penawar. Kita tidak bisa memadamkan api dengan menyiram bensin.

Ironi terbesar dari kebijakan efisiensi pemerintah pusat hari ini justru terasa paling menyakitkan di daerah. Dalam balutan jargon penghematan, uang yang mestinya mengalir sebagai darah pembangunan malah tersendat di pusat. Transfer dari pemerintah pusat ke daerah, sejauh ini, hanya sebatas belanja rutin--gaji pegawai, operasional kantor, dan biaya minimal birokrasi. Nyaris tak menyentuh urat nadi perputaran ekonomi lokal yang sebenarnya.

Di Kota Pariaman, misalnya, kebijakan pemangkasan Dana Alokasi Khusus (DAK) infrastruktur sampai ke titik nol persen adalah pukulan telak. Padahal, denyut ekonomi di kota-kota kecil seperti ini sangat bergantung pada proyek-proyek fisik; perbaikan jalan, pembangunan saluran irigasi, renovasi sekolah. 

Di sinilah ekonomi rakyat tumbuh. Kuli bangunan kembali bekerja. Toko material buka lebih pagi. Warung nasi laris. Semua menciptakan efek domino yang nyata--bukan sekadar data BPS.

Tapi hari ini, dengan kas daerah yang kempis, dan transfer pusat yang dicekik atas nama efisiensi, ekonomi lokal menjadi stagnan, bahkan merosot. Daerah diminta bertahan hidup tanpa suntikan dana pembangunan. 

Lebih miris lagi, setelah dicekik dari atas, mereka diminta mengencangkan ikat pinggang lebih ketat. Ini seperti habis mencekik leher, lalu digantung pula.

Efisiensi semacam ini bukan menyembuhkan. Ia justru mematikan. Ia menimbulkan pertanyaan mendasar: efisiensi untuk siapa? Jika uang hanya diputar di pusat kekuasaan, sementara daerah yang menjadi lapangan nyata kehidupan rakyat dibiarkan kelaparan fiskal, maka ini bukan kebijakan negara, tapi ketimpangan yang dilembagakan.

Presiden Prabowo harus sadar bahwa negara bukan hanya Jakarta. Indonesia bukan hanya gedung-gedung tinggi dan forum-forum global. Ia adalah jalan rusak di Lubuk Alung, sekolah reyot di Ulakan, dan pasar becek di Ampalu. Dan denyut kehidupan daerah itu sangat tergantung pada keberanian pemerintah pusat untuk tidak menahan dana pembangunan yang seharusnya jadi hak rakyat di daerah.

Jika efisiensi hanya menjadi tameng untuk memangkas pembangunan di bawah, maka tidak ada lagi artinya berbicara soal pemerataan, keadilan, dan kesejahteraan. Negara harus hadir secara merata--tidak hanya di dalam pidato, tapi dalam rekening kas daerah yang cukup untuk membangun. Karena jika pusat terus menahan, sementara rakyat terus berharap, maka perlahan, kepercayaan itu akan mengering seperti dana DAK yang kini tinggal angka nol.

Dan ketika rupiah melemah dan rakyat lelah, satu hal yang selalu menjadi kekuatan bangsa ini: kesadaran bahwa harapan hanya akan tumbuh jika negara hadir dalam bentuk paling nyata--sebagai pelindung, bukan sekadar pengamat. 

Maka, jika efisiensi hari ini hanya menjadi kamuflase untuk pemborosan yang baru, sejarah akan menilai dengan sangat kejam.
×
Berita Terbaru Update