Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Sagasaja Plus: Ketika Pemerintah Memeluk Warganya

25 April 2025 | 25.4.25 WIB Last Updated 2025-04-25T15:14:01Z

Pariamantoday - #Siluet - Malam-malam panjang itu masih terekam dalam ingatan banyak keluarga di Pariaman. Saat seorang ibu menggigit bibirnya, menyimpan tangis di balik senyum rapuh, karena sang anak--yang selalu rangking satu--terpaksa berhenti sekolah. Saat seorang ayah memalingkan wajah ke laut, menahan luka dalam diam, karena tak sanggup mengantar anaknya ke bangku kuliah. Di kota ini, mimpi sering kali kalah oleh kenyataan. Tapi tidak kali ini.

Tahun 2025 adalah tahun air mata dibalas dengan harapan. Di tengah gelap yang nyaris putus, satu cahaya kembali menyala: Satu Keluarga Satu Sarjana Plus (Sagasaja Plus). Bukan sekadar beasiswa. Tapi pelukan hangat pemerintah kepada rakyat yang tak pernah menyerah percaya.

Sagasaja Plus lahir bukan dari rapat-rapat dingin. Ia lahir dari hati. Dari suara rakyat kecil yang tak pernah lantang, tapi selalu jujur. Dari derit pintu rumah kayu, dari dapur yang tak selalu mengepul, dari mimpi anak-anak yang menulis cita-cita di halaman belakang buku tulis yang sudah hampir habis.

Dan sekarang---mereka punya harapan.

Mereka tak hanya kuliah. Mereka dijemput menuju masa depan. Bersama Universitas Indonesia, Gadjah Mada, IPB, Telkom University, hingga IT PLN--anak-anak Pariaman berjalan bukan sebagai tamu, tapi sebagai pemilik mimpi. Mereka diberi bukan hanya ilmu, tapi janji kerja, masa depan nyata, harga diri yang utuh.

Puluhan jurusan dibuka: teknologi, keuangan, perpajakan, pertanian modern. Semua dirancang agar anak-anak itu tak lagi sekadar penonton dari balik layar TV tua. Mereka akan tampil, berdiri, bicara, memimpin. 

Dan ketika dunia bertanya dari mana mereka berasal, mereka akan menjawab dengan bangga: "Kami dari Pariaman. Dari kota kecil yang memberi kami kesempatan hidup dan mimpi besar."

Bahkan saat banyak pihak ragu, saat gosip menyebar bahwa kerja sama besar akan dihentikan, Walikota Yota Balad dan Wakil Walikota Mulyadi tidak menyampaikan klarifikasi di mimbar megah. Mereka turun ke lapangan, mereka rapat hingga malam, mereka mengatur ulang semua demi satu hal: agar tak ada lagi ibu yang menangis diam-diam karena anaknya harus berhenti sekolah.

Dan pendidikan bukan satu-satunya ikhtiar mereka.

Lihatlah: Satu Rumah Satu Home Industri--agar dapur kembali mengepul tanpa perlu hutang.

Lihatlah: Seragam gratis--karena mereka tahu, harga sepasang baju bisa menentukan apakah seorang anak masuk sekolah atau tinggal di rumah.

Lihatlah: Bimbel gratis, bantuan studi luar negeri--semua disiapkan agar anak-anak Pariaman tahu: hidup ini tidak hanya tentang bertahan, tapi tentang terbang.

Pendidikan di kota ini tak lagi berwujud bangku kayu dan papan tulis. Ia adalah denyut jantung para ibu, napas panjang para ayah, dan tatapan mata penuh cahaya dari anak-anak yang dulu hampir menyerah. Ia telah menjadi darah dan tulang dari sesuatu yang lebih besar: harga diri sebagai manusia.

Bayangkan esok hari, ada seorang anak Pariaman berdiri di podium internasional. Ia berbicara dalam bahasa dunia, tapi ia menyebut nama ibunya di ujung pidato. Ia berkata: “Saya bisa berdiri di sini karena kota kecil saya percaya pada saya… sebelum dunia tahu siapa saya.”

Dan saat itu terjadi--semua air mata yang pernah jatuh akan berubah menjadi senyum. Senyum penuh syukur. Senyum yang diam-diam berkata: "Ternyata negara bisa setulus ini. Ternyata pemimpin bisa seteguh ini. Ternyata mimpi kami… tidak sia-sia." (OLP)
×
Berita Terbaru Update