Oleh: Oyong Liza Piliang
Pariamantoday - #Cerpen - Subuh menyelinap pelan. Kabut masih bergelayut seperti selimut yang mengusap sawah-sawah kering yang mulai retak dimakan musim. Di surau kayu tua yang condong, Datuak Manca duduk bersila. Cahaya pelita menerpa wajah tuanya yang tenang namun tegang, di hadapannya peti tua tembaga berisi manuskrip yang hanya bisa dibuka saat dunia berada di ambang perubahan besar. Ia telah menyaksikan banyak: kolonialisme, revolusi, krisis global, dan kini kekacauan baru yang tak kasat mata. Dunia diguncang pandemi, kemudian perang yang tak selesai-selesai di Ukraina.
Amerika dan China bertengkar soal tarif, adu dominasi, lalu soal segalanya. Tapi rakyat kecil selalu jadi korban. Dan kini, dunia tiba-tiba bicara tentang manuskrip dari kampungnya.
Di ruang bawah tanah X-Lab di Swiss, Elon Musk menatap layar hologram. Bersamanya, Donald Trump, Prabowo, dan Xi Jinping terhubung dalam percakapan rahasia. Di hadapan mereka, peta digital dari Pariaman menampilkan surau kecil yang menjadi pusat perhatian dunia.
"Jika manuskrip itu dibuka penuh, tatanan dunia saat ini bisa berakhir," ujar Elon datar.
"Dunia ini sudah rusak. Saatnya kita kembali mengatur ulang. Dengan tangan kami," sahut Trump, dengan senyum Medici yang tak asing bagi sejarah Eropa.
Xi hanya mengangkat alis. "Atau dengan tangan kami. Kami yang dulu membawa filosofi harmoni, bukan dominasi."
Datuak Manca tahu ia tak bisa netral selamanya. Ia duduk bersama salinan tua surat Laksamana Cheng Ho, dokumen tua beraksara Tionghoa klasik yang menjadi pelengkap naskah utama. Di dalamnya tersimpan cerita persahabatan antara leluhurnya dan sang laksamana muslim dari Timur Jauh, yang bukan hanya membawa rempah, tetapi juga nilai, kehormatan, keberimbangan, dan tata kelola berdasar kebutuhan riil. Sistem itulah yang dicatat dalam manuskrip, bukan sistem untung-rugi semata, melainkan sebuah arsitektur hidup yang menjadikan keberlangsungan sebagai nilai utama.
Maka, ketika Tiongkok datang, Datuak menyerahkan naskah asli kepada Xi Jinping--bukan karena tunduk, tetapi karena sejarah lebih bisa dipercayai saat ia mengandung niat baik.
Xi Jinping berdiri di altar tua Wudang, membuka manuskrip Minang yang telah diterjemahkan oleh para ahli sinologi. Di sana, bukan hanya tercatat sistem distribusi kekayaan, tetapi sistem relasi antarmanusia. Filosofi nagari dan gotong royong menyatu dalam algoritma modern yang dijalankan tanpa pusat kendali.
Ketika dunia memakai manuskrip itu, pasar-pasar lokal pulih. Petani mendapat benih langsung dari koperasi, bukan dari tengkulak global. Mata uang diganti dengan sistem tukar nilai berbasis kontribusi nyata. Keseimbangan tercipta. Tidak ada angka semu.
Namun, kekuatan lama tidak tinggal diam. Trump, bersama Elon, menyusun rencana terakhir: membawa salinan palsu manuskrip ke masa depan, ke waktu ketika dunia kembali kacau. Mereka berdua masuk ke dalam kapsul waktu di bawah X-Lab. Sebelum menghilang, Elon tersenyum aneh ke kamera.
"Saya bukan dari sini," katanya. "Saya berasal dari Planet Tau Ceti B. Kami mengamati bumi sejak keluarga Medici mengundang kami berabad lalu. Kami bantu mereka membangun sistem finansial, menciptakan kekuatan semu, dan sekarang kami undur diri—sementara kalian bermain dengan sistem baru."
Trump menatap dunia terakhir kali, lalu tertawa, "Kami akan kembali. Tapi kali ini dengan sistem yang tak bisa kalian pahami."
Dan mereka lenyap, meninggalkan ruang hampa di mana cahaya tidak memantul, hanya berdenyut.
Xi Jinping tak pernah benar-benar percaya pada wajah publik Donald Trump. Bagi dunia, ia adalah miliarder eksentrik, mantan presiden, dan bintang realitas. Namun di balik tabir sejarah, satu catatan rahasia di Museum Terlarang Beijing menyimpan potret lukisan minyak abad ke-15, seseorang dengan wajah yang persis seperti Trump, duduk di samping Cosimo de Medici, tersenyum sambil memegang gulungan finansial Renaissance.
Lukisan itu bertuliskan: Il Viaggiatore del Tempo. Intelijen Tiongkok, melalui program khusus “Lung Hu”, menelusuri jejak kemiripan itu, hingga menemukan fakta mencengangkan: Trump adalah hasil rekayasa genetika keluarga Medici, dirancang untuk menembus zaman dan menguasai sistem ekonomi dari era ke era.
Elon Musk lebih kompleks. Data dari satelit Gaofen-11 mendeteksi pola gelombang otak yang tak pernah terekam pada manusia manapun. Saat dicocokkan dengan dokumen astronomi Dinasti Ming yang mencatat kedatangan benda bercahaya di atas pegunungan Kunlun, ditemukan kesamaan aneh antara orbit pesawat luar angkasa kuno dengan pola aktivitas elektromagnetik Musk saat berada di fasilitas X-Lab. Xi, bersama kepala intelijen akademi militer Tiongkok, menyimpulkan: Musk bukan manusia biasa, melainkan residu biologis dari peradaban cerdas Tau Ceti yang sejak lama bersekutu dengan para penguasa bumi.
Ia bukan penemu masa kini—ia penghubung antara masa lalu yang dibentuk alien, dan masa depan yang ingin dikendalikan oleh keluarga Medici.
Namun kekuatan sejarah tak bisa dibohongi selamanya. Setelah naskah Laksamana Cheng Ho dibuka dan dikodekan ulang oleh para rahib Taois dan ulama Hui, Xi Jinping menyusun perang balasan yang sunyi: ia tidak menantang Trump dengan senjata atau embargo, tetapi dengan filosofi lama yang direkonstruksi ulang untuk zaman baru. Ketika dunia Barat mempercayai teknologi, ia mempercayai akar. Dan di akar itu, ditemukan satu kebenaran sederhana: tidak ada sistem yang lebih unggul daripada yang lahir dari tanah, darah, dan nilai luhur yang diwariskan antargenerasi.
Maka, saat Trump dan Musk menghilang ke masa depan, Xi hanya berbisik kepada Datuak Manca, “Biarkan mereka pergi. Kita akan menyambut dunia dengan yang lebih kuno--karena masa depan akan kembali pada mereka yang setia pada asal.”
Ketika manuskrip Surau Tua Pariaman mulai mengguncang tatanan ekonomi dunia, kegelisahan juga menjalar ke Benua Biru.
Ursula von der Leyen, Kanselir Uni Eropa, mengadakan pertemuan rahasia di bunker bawah tanah Brussel yang hanya diketahui oleh enam kepala negara. Di sana, mereka membuka arsip kuno milik keluarga Habsburg yang selama ini dikunci sejak Perang Dunia II.
Isinya mencengangkan: dokumen bersegel berisi analisis metafisik dari seorang ilmuwan Yahudi-Austria tahun 1938 yang menulis tentang “entitas cerdas non-manusia” yang menyusup ke dalam kebijakan ekonomi global pasca-Depresi Besar Amerika. Nama-nama yang disebutnya tak asing: Franklin D. Roosevelt, Alan Dulles, hingga tokoh yang akan dikenal kemudian sebagai Elon Musk.
Di Inggris, Raja Charles III dan Perdana Menteri saat itu menerima laporan dari MI6 tentang rekaman aneh dari tahun 1961--percakapan terakhir Presiden John F. Kennedy dengan seorang informan Rusia yang menyebut adanya proyek rahasia bernama LUNA-CROSS, kolaborasi antara NASA dan entitas tak dikenal yang mengatur misi Apollo bukan untuk menjelajah, melainkan “mengembalikan sesuatu” ke bulan.
Kematiannya, ternyata bukan karena isu Mafia atau Perang Dingin, tapi karena ia ingin mengungkap eksistensi mereka di Gedung Putih. MI6 kemudian menghubungkan peristiwa ini dengan penemuan bahan logam tak dikenal di reruntuhan Roswell, yang diam-diam dikirim ke laboratorium di Sussex, bukan Nevada seperti diklaim publik.
Di Ottawa, Kanada, Perdana Menteri secara pribadi mengawasi penyelidikan RCMP atas serangkaian kejadian aneh di Kedutaan Besar AS.
Salah satu agen mereka menemukan peta bintang di bawah ruang pertemuan diplomatik--bukan dalam bentuk gambar, tapi dalam bentuk resonansi suara yang hanya bisa dibaca dengan teknologi akustik dari zaman Aztek.
Peneliti menyimpulkan, pola itu mengarah pada koordinat bintang yang belum ditemukan oleh observatorium manusia, tapi sangat mirip dengan pemetaan Tau Ceti, sistem planet yang diduga menjadi asal Musk.
Temuan itu menyimpulkan satu hal: sejak era Great Depression 1930, ekonomi Amerika telah dipandu bukan oleh logika manusia, tapi oleh algoritma makhluk yang mendesain krisis dan solusi sekaligus. Dan kini, para pemimpin dunia mulai sadar, satu-satunya cara mengakhiri dominasi itu adalah kembali pada manuskrip dan sistem lokal yang tak bisa diprediksi oleh teknologi luar bumi.
**
Di surau tua yang telah dibangun kembali oleh warga, Datuak Manca duduk di bawah langit pagi. Ia memandangi ladang yang mulai hijau. Anak-anak muda kembali belajar menenun, bertani, berdagang. Kota-kota mulai mengambil pelajaran dari nagari-nagari. Dunia berubah--bukan karena kekuatan, tapi karena makna.
“Peradaban bukan dilahirkan di istana,” bisiknya. “Tapi di surau, di ladang, di hati manusia yang tahu bahwa hidup tak bisa dibeli.”
Dan dari tanah kecil itu, tatanan baru lahir. Bukan dari kekuasaan, bukan dari alien, bukan dari Medici. Tapi dari manusia biasa yang percaya pada satu hal: kehidupan harus dijalankan dengan keseimbangan.
**
Di masa depan, Trump dan Elon bersiap membalik sejarah. Di tangan mereka: sistem baru berbasis ilusi waktu dan kebenaran virtual. Tapi satu hal mereka lupakan--manuskrip asli bukan hanya berisi sistem, tapi juga kunci spiritual yang hanya bisa diaktifkan oleh manusia yang hidup dengan keseimbangan.
Di pusat data bawah tanah Vatican, Kardinal Benedetto membuka satu lemari besi tua bertanda Salib Merah Templar. Di dalamnya, tersimpan catatan gelap keluarga Medici: Trinitas Ekonomi Dunia--sebuah proyek lintas-zaman yang diciptakan oleh Cosimo de Medici, dirancang untuk tiga tokoh utama:
Sang Wajah Politik (Trump) – Ia bukan sekadar presiden. Ia adalah instrumen chaos--dirancang untuk menabrak tatanan lama, menormalisasi kebohongan, dan memecah belah dunia melalui populisme palsu. Ia membuka celah untuk aturan-aturan baru yang menguntungkan kartel keuangan lama.
Sang Wajah Teknologi (Musk) – Penyeru transhumanisme dan kontrol data. Ia menciptakan X-Currency, mata uang global berbasis bio-data dan algoritma perilaku. Dengan Neuralink, ia ingin menjadikan pikiran manusia sebagai ladang komoditas baru.
Sang Wajah Abadi (Medici) – Mereka tak muncul di media, tapi ada di balik setiap bank sentral, setiap keputusan IMF, setiap bailout yang mencurigakan. Mereka menyimpan rahasia: manuskrip digital "Librae Umbrae", cetak biru keuangan global berbasis utang dan siklus krisis berulang.
Niat jahat mereka sederhana namun mematikan: menjaga dunia tetap dalam ilusi kemajuan, padahal diarahkan ke perbudakan algoritmik.
Tiga dekade terakhir, guncangan ekonomi bukan hasil kegagalan pasar--tetapi hasil rekayasa. Dalam Protokol Leviathan, Musk dan Trump menjalankan strategi.
Pada 2008 Medici melalui bank investasi Lehman Brothers melepas aset derivatif sampah. Krisis pecah. IMF masuk. Negara-negara berkembang jatuh.
2020: Pandemi dibiarkan menyebar. Lockdown massal membuat UMKM mati, tetapi korporasi teknologi naik daun.
2024: X-Currency diperkenalkan oleh Musk sebagai solusi inflasi dolar. Nyatanya, itu perangkat pengumpulan data dan kontrol biometrik.
2025: Trump kembali tampil, bukan untuk menang pemilu, tapi menyuntikkan teori konspirasi untuk menumbangkan kepercayaan global terhadap demokrasi dan ilmu pengetahuan--membuka ruang bagi Techno-Fascism.
Di puncak Alpi Apuane, vila rahasia keluarga Medici mengendalikan superkomputer kuno bernama FIAT-LUX. Komputer ini menghitung “ritme krisis” berdasarkan algoritma dari kitab kabala dan kalkulasi planet. Setiap 33 tahun, mereka reset dunia: menciptakan perang, inflasi, atau pandemi.
Trump hanyalah boneka yang dikirim untuk membuat kekacauan terlihat sah. Musk, adalah "pengangkut", pembawa teknologi yang membuat semua orang merasa pintar tapi makin tergantung. Keduanya tak menyangka bahwa naskah dari Pariaman mampu melumpuhkan sistem mereka--karena manuskrip itu tidak berbasis logika linear, tapi keseimbangan spiritual.
Saat algoritma X-Currency mulai lumpuh akibat sistem pertukaran lokal berbasis manuskrip Minang, guncangan terjadi:
Bursa saham runtuh karena investor tak lagi percaya pada angka-angka tanpa dasar nyata.
Amazon, Apple, dan X Corp kehilangan kontrol karena masyarakat dunia kembali ke komunitas tukar nilai.
Bank-bank sentral lumpuh karena orang lebih percaya pada koperasi, pasar nagari, dan sistem "jaminan kontribusi."
Trump dan Musk, yang mengira mereka bisa kabur ke masa depan, menemukan bahwa waktu tak menerima mereka. Karena waktu bukan linear. Waktu, dalam filsafat Minang dan Tao, adalah putaran akar, bukan garis panah.
Kini, dunia tidak lagi dibangun dari Silicon Valley atau Wall Street. Tapi dari sawah-sawah yang kembali hidup, pasar nagari yang ramai, dan surau-surau tempat hikmah dibaca ulang. Teknologi digunakan bukan untuk menjajah, tapi untuk mendata kebutuhan dan kelebihan komunitas, agar bisa saling menopang.
Xi Jinping pun menghilang dari panggung, kembali menjadi murid Tao. Datuak Manca wafat dalam sunyi, tapi suaranya terus hidup dalam tiap tanam benih dan sedekah yang dibagi di surau.
Sementara itu, di dimensi tak bernama, Trump dan Elon Musk melihat dunia mereka hilang ditelan kabut. Di hadapan mereka, hanya satu kalimat yang tertulis di dinding waktu:
“Segala yang tak berakar, akan hilang bersama badai.” (*)
#cerpen #elonMusk #DonaldTrump #sejarahMinang #sejarahPariaman #Prabowo #Alien