Oleh: Oyong Liza Piliang
Hotel-hotel yang dulu berdiri megah penuh harapan, kini tinggal bangunan kaku yang hanya menyambut angin. Lobi-lobi kosong, lift berhenti bergerak, dan kasur-kasur empuk yang tak lagi ditiduri. Resepsionis yang dulu menyapa dengan senyum kini mengemasi sisa gaji dengan mata sembab. Tukang kebun menggenggam cangkul yang tak lagi dibutuhkan. Tukang cuci piring menatap tangannya yang kasar.
Namun tak hanya mereka. Efisiensi merambat seperti racun, pelan, tapi pasti. Petani yang menyuplai beras ke hotel kehilangan pembeli. Nelayan yang biasa mengantar ikan segar ke dapur hotel kini tak tahu harus membawa hasil laut ke mana. Sopir angkot memandangi bangku belakang yang kosong, berharap pada pelancong yang tak pernah datang. Semua tergilas, semua terluka, menjerit tanpa suara.
Di ladang, petani menatap langit bukan lagi untuk melihat cuaca, tapi untuk menghindari air mata anaknya yang bertanya, "Besok kita makan apa?" Di laut, jala digulung lebih awal karena solar tak terjangkau dan ikan pun sepi. Di rumah-rumah kayu, ibu-ibu menghitung beras dengan jari, bukan dengan timbangan.
Pemerintah pusat berbicara tentang efisiensi dengan mata tak berkedip. Mereka minta daerah berhemat, sambil lupa bahwa sekolah di pelosok sudah hampir roboh. Dana dipotong, janji dibesarkan. Jalan rusak tak diperbaiki, jembatan desa terhenti di tengah sungai. Dan rakyat? Mereka hanya bisa menonton, seperti wayang yang tak lagi digerakkan dalang, tapi dijatuhkan.
Di kamar kos karyawan hotel, efisiensi adalah malam panjang tanpa makan malam. Di mimpi anak buruh bangunan, efisiensi adalah sekolah yang perlahan berubah jadi bayangan.
Kita sering berbicara tentang bangsa, tapi melupakan manusia. Kita sering berteriak soal Indonesia, tapi tega mendengar isak seorang ibu yang tak bisa bayar uang kuliah anaknya. Kita bicara anggaran, tapi tak pernah menghitung air mata.
Negeri ini tidak butuh lagi pidato patriotik yang megah, tidak lagi menunggu visi yang jauh. Ia hanya butuh satu hal, belas kasih.
Karena jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa negara pernah memilih menyelamatkan angka melalui Danantara, dan membiarkan anak bangsanya tenggelam.
Rakyat, bagai debu yang tersesat dalam pusaran kekuasaan, ditulis rapi dalam laporan, dibacakan lantang di mimbar. Mereka hadir di statistik, tapi absen di pelukan kebijakan. (*)