Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

42 Tahun Aprinaldi: Menyalakan Cahaya dari Gelapnya Luka

15 April 2025 | 15.4.25 WIB Last Updated 2025-04-15T05:49:13Z


Oleh: Oyong Liza Piliang 

Ada anak-anak yang tumbuh dengan pelukan, dan ada yang tumbuh dengan kehilangan. Aprinaldi termasuk yang kedua. Namun, anehnya, justru mereka yang dibesarkan oleh sepi kerap kali tumbuh menjadi tempat orang lain berlindung.

Hari ini, Selasa, 15 April 2025, Aprinaldi genap berusia 42 tahun. Bagi sebagian orang, itu hanya angka. Tapi baginya, itu adalah catatan perjalanan--dua tahun usia kenabian, jika hidup ini dibaca sebagai kitab kehidupan.

Namun sebelum podium, sebelum gelar akademik terangkai di belakang nama, sebelum suara mikrofonnya memandu arah kebijakan--ia hanyalah bocah lelaki yang kehilangan ibu di usia remaja, dan menyaksikan ayahnya memilih hidup baru bersama perempuan lain.

Sejak itu, rumah tak lagi menjadi tempat pulang. Dunia menjadi sunyi. Dan di tengah sunyi itulah, Aprinaldi belajar untuk tidak menangis di depan orang.

Anak kelima dari enam bersaudara, ia tumbuh seperti akar pohon yang mencengkeram batu: diam, tapi kukuh. Ketiga kakak lelakinya merantau--dua ke Jakarta, satu ke Batam. Mereka memilih berdagang. Aprinaldi memilih jalan pendidikan--jalan sunyi yang jarang dirayakan, tapi dalam diamnya ia menyalakan obor harapan.

Sejak SMP, ia dipercaya memimpin. Ketua OSIS, anggota Pramuka aktif. Di SMA Kampung Dalam, ia kembali dipercaya memimpin. Kharisma tidak diajarkan--ia lahir dari bakat. Maka, ketika ia diterima di Fakultas Ilmu Keolahragaan UNP, para guru di kampung menggalang iuran untuk membayar biaya kuliahnya. Karena mereka tahu, anak ini akan jadi sesuatu yang besar--bukan karena ambisi, tapi karena kejernihan hati.

Awal kuliah, tak mampu membayar kos-kosan di Padang, ia menumpang tidur di bengkel las. Malam-malamnya berteman bau besi dan suara percikan api. Pernah ia hanya membelah telur untuk teman nasi yang berasnya ia bawa dari kampung. Pernah juga tak makan seharian. Ramadan pertamanya di rantau, sahurnya hanya segelas air putih. Tapi puasanya tak pernah bolong. Salatnya tetap tegak.

Ia tidak menulis penderitaan itu. Tidak meminta belas kasihan. Tidak menuduh dunia. Ia hanya bertahan--dengan kepala tegak dan dada yang lapang.


Tahun kedua, namanya mulai disebut-sebut. Ia terpilih menjadi Ketua BEM. Ia melatih Pramuka di berbagai sekolah. Menyusun kegiatan bakti sosial mahasiswa. Dari sana, honor-honor kecil mulai datang. Tapi bukan untuk membeli sepatu mahal atau ponsel baru. Ia gunakan untuk membantu biaya pernikahan abang. Untuk membelikan tiket pulang bagi kakak dari perantauan.

Ia memilih memberi, bahkan ketika ia sendiri tak punya banyak. Karena sejak kecil ia tahu: kekurangan bukan alasan untuk menutup mata dari penderitaan orang lain.

Selepas S2, ia membangun kelas jauh UNP di Kampung Dalam, satu-satunya di Padang Pariaman. Tiga jurusan: PGSD, PAUD, dan Olahraga. Ribuan anak kampung berkuliah di sana. Hampir seribu sarjana lahir dari ruang-ruang belajar yang dulu hanya impian. Ia menjadi jembatan bagi mereka yang nyaris putus sekolah untuk sampai pada cahaya.

Dua periode ia memimpin KONI Padang Pariaman. Prestasi olahraga meledak: juara dua Porprov, emas di cabang sepak bola, hingga atlet panahan dan taekwondo menembus Asian Games. Tapi ia tetap pulang ke rumah sebagai lelaki biasa, ayah dari tiga anak yang ia cintai bersama Yona Ariska, perempuan yang ia nikahi tahun 2013--teman seperjalanan yang setia dalam senyap maupun sorak.

Tahun 2019, ia masuk DPRD. Langsung menjabat Wakil Ketua. Lima tahun kemudian, dipercaya menjadi Ketua DPRD Padang Pariaman. Di sela rapat, sidang, dan perjalanan, ia masih mencatat disertasi. Tak lama lagi, ia akan menyandang gelar doktor dari UNPAD Bandung.

Namun bagi Aprinaldi, puncak hidup bukanlah jabatan atau gelar. Melainkan saat ia bisa membelikan sepatu untuk anak tetangga. Saat ia bisa membiayai kuliah seseorang yang nyaris berhenti di semester awal. Saat ia bisa pulang ke kampung dan melihat anak-anak bermain sepak bola dengan semangat, karena tahu ada seseorang yang dulu juga pernah lapar--dan kini berdiri di barisan depan untuk mereka.

Ia tetaplah anak lelaki yang tak pernah menangis di hadapan dunia--namun diam-diam, ia menghapus air mata banyak jiwa, dengan tangan yang lembut, langkah yang tenang, dan hati yang tak pernah meminta pamrih.

Selamat ulang tahun, Ketua.
Usiamu bukan sekadar bilangan. Ia adalah puisi--tentang seorang manusia yang pernah tenggelam dalam gelap, tapi memilih menjadi cahaya untuk dunia di sekitarnya. (*)





×
Berita Terbaru Update