Pariamantoday - #Siluet - Sabtu pagi 22 Maret 2025 yang masih lengang di Jakarta, sebuah kotak kecil ditemukan di depan kantor Tempo. Bungkusnya tampak biasa saja, hanya motif mawar merah yang sekilas terlihat tak berbahaya. Tetapi ketika kotak itu dibuka, isinya berbicara dalam bahasa yang tak butuh terjemahan: enam bangkai tikus terpenggal. Beberapa hari sebelumnya, sebuah kepala babi dikirimkan tanpa telinga.
Banyak yang melihat ini sebagai tindakan vandalisme atau ancaman anonim. Namun, jika kita melihatnya melalui lensa sejarah kekuasaan dan ketakutan, ini adalah bagian dari narasi yang jauh lebih tua—sebuah strategi yang telah digunakan selama ribuan tahun untuk mengendalikan aliran informasi, membentuk opini publik, dan pada akhirnya menentukan siapa yang berhak berbicara dan siapa yang harus dibungkam.
---
Kekuatan yang paling berbahaya bukanlah peluru atau senjata nuklir, tetapi cerita yang dipercaya oleh jutaan orang. Dan di dalam cerita itu, simbol memiliki peran yang tak tergantikan.
Dalam dunia politik dan kriminalitas, simbol digunakan untuk mengendalikan manusia dengan cara yang lebih efektif daripada kekerasan fisik. Tikus, dalam berbagai budaya, melambangkan pengkhianatan, penyakit, dan kejahatan bawah tanah. Kepala babi sering digunakan untuk penghinaan, terutama dalam konteks agama dan sosial.
Kita sering berpikir bahwa terorisme atau intimidasi selalu dilakukan dengan bom dan pembunuhan. Namun, sejarah membuktikan bahwa bentuk ancaman yang paling efektif justru adalah yang tidak terlihat, yang membisikkan ketakutan ke dalam pikiran tanpa perlu tindakan eksplisit.
Di zaman Romawi, seorang senator yang menentang Kaisar tidak selalu harus dibunuh. Cukup dengan meninggalkan belati di ranjangnya atau melukis simbol tertentu di dinding rumahnya, maka ia akan berpikir dua kali sebelum berbicara di forum. Di zaman modern, ancaman bisa berbentuk paket misterius, pesan di media sosial, atau rekayasa hukum yang membuat jurnalis hidup dalam ketidakpastian.
Yang membuat metode ini efektif bukanlah kekerasannya, tetapi ketidakpastiannya. Jika seorang jurnalis ditembak mati, dunia bereaksi. Jika sebuah kantor media dibom, publik marah. Tetapi jika yang terjadi hanyalah kiriman tikus mati? Itu cukup untuk menanamkan rasa takut, diharapkan cukup untuk membuat jurnalis berbicara lebih pelan, tetapi tidak cukup eksplisit untuk menjadi skandal besar.
Dari perspektif kekuasaan, kebebasan pers adalah anomali dalam sejarah manusia. Selama ribuan tahun, hampir semua masyarakat dikendalikan oleh elite kecil yang menentukan mana informasi yang boleh beredar dan mana yang harus disembunyikan.
Di abad pertengahan, Gereja Katolik mengontrol narasi dengan menetapkan doktrin resmi dan memburu siapa pun yang mempertanyakan dogma mereka. Di Uni Soviet, Pravda adalah satu-satunya kebenaran yang diperbolehkan, sementara kritik bisa berakhir di gulag.
Tetapi dengan munculnya media modern, informasi menjadi lebih sulit dikendalikan. Wartawan bukan hanya pelapor fakta; mereka adalah pengganggu tatanan lama. Mereka mengungkap skandal, menantang narasi resmi, dan yang paling berbahaya—mereka memungkinkan masyarakat untuk berpikir sendiri.
Dari perspektif kekuasaan, ini adalah ancaman yang lebih besar daripada oposisi politik atau demonstrasi jalanan. Sebab oposisi bisa dihancurkan, tetapi ide yang telah menyebar di benak jutaan orang sulit untuk dimatikan.
Maka, ketika Tempo atau media lain mulai menggali terlalu dalam—mengungkap korupsi, memperlihatkan penyalahgunaan kekuasaan, atau menyoroti praktik ilegal—mereka tidak hanya mengancam individu tertentu. Mereka mengancam seluruh sistem yang telah dibangun dengan susah payah untuk memastikan bahwa segelintir orang bisa tetap berada di puncak piramida sosial.
---
Di banyak negara otoriter, sensor dilakukan dengan cara klasik: menutup media, menangkap jurnalis, atau mengontrol informasi secara langsung. Tetapi di negara-negara demokratis, metode ini terlalu mencolok. Dunia akan bereaksi jika sebuah kantor berita besar tiba-tiba ditutup oleh pemerintah.
Maka, cara yang lebih cerdas adalah membiarkan media tetap ada, tetapi membuat jurnalis takut untuk berbicara. Ini bisa dilakukan melalui berbagai cara: Tekanan hukum – Menggunakan UU yang samar-samar untuk menuntut jurnalis atas “pencemaran nama baik” atau “penyebaran informasi yang salah.”
Teror psikologis – Mengirim ancaman anonim, membuntuti wartawan, atau mengintimidasi keluarga mereka. Pengaruh ekonomi – Menggunakan perusahaan iklan untuk menekan media secara finansial.
---
Dengan cara ini, sensor tetap berjalan, tetapi tidak terlihat seperti sensor. Ini membuat jurnalis mulai menyensor diri sendiri, memilih untuk tidak menulis cerita tertentu, atau melunakkan kritik mereka agar tetap aman.
Tetapi ada satu fakta yang selalu berulang dalam sejarah: ketakutan mungkin bisa menghambat, tetapi tidak bisa menghentikan kebenaran selamanya.
Dari Galileo yang menantang Gereja hingga jurnalis di Meksiko yang tetap menulis meskipun tahu mereka bisa dibunuh kapan saja, ada pola yang selalu terulang: bahwa upaya membungkam kebenaran justru sering memperkuatnya.
Tempo mungkin sedang menerima ancaman hari ini. Tetapi pertanyaannya bukanlah apakah mereka akan takut. Pertanyaannya adalah: sampai kapan mereka akan terus berbicara?
Sejarah menunjukkan bahwa, dalam jangka panjang, mereka yang berusaha mengontrol informasi selalu kalah. Imperium Romawi jatuh, Uni Soviet runtuh, dan bahkan monarki absolut pun tak bisa bertahan selamanya.
Sebab ada satu hal yang lebih kuat daripada teror dan kekuasaan: keinginan manusia untuk mencari kebenaran.