Pariamantoday - #Siluet - Ramadan tahun ini seharusnya membawa kebahagiaan. Begitulah yang selalu terjadi—pasar ramai, pakaian baru berjejer di kios-kios, dan perputaran uang mengalir seperti darah dalam nadi kota. Tapi tahun ini berbeda.
Di sepanjang lorong-lorong Pasar Pariaman dan Pasar Kuraitaji, wajah-wajah pedagang tak lagi berseri. Tumpukan pakaian Lebaran tergantung rapi, seolah menunggu tangan-tangan yang tak pernah datang. Mereka yang dulu tersenyum saat menghitung keuntungan, kini lebih sering duduk termenung, bertanya-tanya: Apa yang salah?
Jawabannya ada pada angka-angka yang mencekik. Harga emas menembus Rp 4 juta per 2,5 gram—pertanda inflasi yang tak lagi bisa ditutupi. Dolar melesat, sementara daya beli merosot. Dagangan sepi, pertanda uang tak lagi berputar.
Namun, ini bukan sekadar krisis ekonomi. Ini adalah krisis yang diciptakan. Di saat pasar saham seluruh negara di Asia Tenggara menanjak hijau, IHSG berkedip merah.
Yang lebih menyakitkan adalah bahwa roda ekonomi sempat berputar kencang beberapa bulan lalu. Di sepanjang 2024, saat Pemilu dan Pilkada berlangsung, uang mengalir deras. Spanduk kampanye dicetak dalam jumlah besar, tukang sablon kebanjiran pesanan. Ribuan kaus, baliho, stiker, dan atribut politik memenuhi pasar.
Tim sukses berkeliaran, membagikan uang dengan mudah. Rapat akbar, konser kampanye, dan serangan fajar menjadi berkah bagi warung-warung kecil. Para petani dan buruh harian mendadak memiliki tambahan pemasukan, meski hanya sesaat.
Namun, itu bukan pertumbuhan ekonomi sejati. Itu hanyalah gelembung yang membesar karena suntikan dana politik—dan pecah seketika setelah pesta demokrasi usai.
Saat pemilu berakhir, uang berhenti mengalir. Mereka yang tadinya menikmati limpahan rezeki mendadak kembali ke realitas pahit. Pasar yang sempat bergairah kini membeku. Para pedagang yang terbiasa melihat uang beredar kembali merasakan lesunya ekonomi.
Dan yang lebih menyakitkan, di saat rakyat masih berusaha bertahan dari kemerosotan ini, pemerintah pusat justru menarik kembali dukungan anggaran daerah.
Pemerintah pusat, dengan tangan besi bernama Inpres No. 1 Tahun 2025, memutus aliran dana ke daerah dengan dalih efisiensi. Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk Kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman dipangkas hingga nol. Tidak berkurang—nol. Seperti membakar jembatan setelah menarik mundur pasukan.
Keputusan ini diambil di ruang-ruang berpendingin udara, oleh mereka yang tidak pernah menginjakkan kaki di pasar tradisional. Bagi mereka, ini hanya soal menyeimbangkan neraca keuangan. Bagi rakyat, ini adalah vonis mati.
Ketika proyek-proyek infrastruktur terhenti, tukang bangunan pulang dengan tangan hampa. Ketika peredaran uang tersumbat, pedagang kecil kehilangan pelanggan. Ketika daya beli anjlok, ibu-ibu menatap kosong ke dalam dompet yang semakin tipis.
Tak ada uang yang berputar. Tak ada kesejahteraan yang dijanjikan. Yang tersisa hanyalah pasar-pasar sepi dan wajah-wajah yang mulai kehilangan harapan.
Jika kita percaya bahwa krisis ini terjadi secara alami, kita telah gagal belajar dari sejarah. Kehancuran ekonomi jarang terjadi begitu saja—selalu ada tangan yang mengarahkannya.
Di masa Romawi, ketika pemerintah memotong subsidi gandum, rakyat memberontak. Di Indonesia era 1998, krisis moneter bukan sekadar bencana ekonomi, tetapi permainan elite untuk menggeser kekuasaan. Dan hari ini, adalah panggung dari skenario yang sama.
Saat uang rakyat ditarik dari peredaran, ke mana perginya?
Ketika ekonomi daerah mati, siapa yang diuntungkan?
Ketika harga-harga melonjak, siapa yang membeli aset-aset murah?
Jika hanya rakyat kecil yang merasakan sakitnya efisiensi, sementara segelintir elite tetap mengeruk keuntungan, maka ini bukan sekadar kebijakan buruk. Ini adalah perampokan yang dilakukan dengan pena, bukan senjata.
Di sebuah warung kecil dekat Pantai Gandoriah, seorang ibu pedagang gorengan duduk termenung. Ramadan seharusnya membawa rezeki lebih, tapi kali ini, gorengannya tetap tersisa di senja hari. Tak banyak yang mampir, tak banyak yang membeli.
Dia menatap langit merah keemasan dan berbisik pada dirinya sendiri: "Bagaimana aku bisa belikan baju baru untuk anakku tahun ini?"
Pertanyaan itu seharusnya membuat mata kita basah.
Sebab di balik angka-angka ekonomi, ada nyawa yang dipertaruhkan. Di balik kebijakan yang tampak teknis, ada keluarga yang tidur dengan perut kosong.
Dan di balik krisis yang diciptakan, ada air mata yang tak pernah masuk dalam laporan keuangan negara.