Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

#Siluet - Ketika Negara Menghitung Angka dan Rakyat Menghitung Hari

19 Maret 2025 | 19.3.25 WIB Last Updated 2025-03-19T10:54:35Z

.      Oleh Oyong Liza Piliang 

Pariamantoday - #Siluet - Sejarah tidak pernah berjalan dalam garis lurus. Ia berulang, menciptakan pola yang sama, hanya dengan aktor berbeda. Indonesia, negeri yang lahir dari lautan perjuangan, kini berdiri di persimpangan jalan.

Di ruang-ruang kebijakan, menteri-menteri membungkuk di hadapan layar penuh angka. Kolom anggaran dipangkas, regulasi diperketat, dan efisiensi diutamakan. Tapi di jalanan, di warung kecil yang menanti pelanggan, di pasar yang kehilangan riuhnya, dan di daerah-daerah yang menggantungkan hidupnya pada transfer pusat, rakyat tak peduli soal angka-angka itu. Mereka hanya menghitung hari.

Mampukah aku bertahan besok?
Kapan bantuan itu tiba?
Apakah kita sedang menuju krisis seperti 1998?

Sebagai wartawan di daerah, saya melihat ini bukan dari balik meja, tetapi di lapangan. Pariaman, kota kecil di pesisir Sumatra Barat, tidak punya pusat keuangan seperti Jakarta, tak memiliki industri besar seperti Jawa Barat, dan tak punya tambang batu bara seperti Kalimantan. Ia hidup dari denyut dana pusat. Dan ketika transfer terlambat, efeknya terasa seperti jantung yang melewatkan satu detak—mengerikan dan berbahaya.

Di pasar, pedagang kini lebih banyak duduk termenung. Mata mereka kosong, tidak lagi sibuk menghitung uang receh, tetapi menghitung waktu yang semakin menekan. Saya berbicara dengan seorang ibu penjual takjil.

"Biasanya jam segini udah habis, Bang," katanya. "Sekarang? Lihat sendiri, masih banyak."
Dia menunjuk panci yang hampir penuh. Saya melihat tangannya gemetar sedikit, bukan karena dingin, tetapi karena kecemasan.

Saya mengingat masa pandemi. Saat itu, ekonomi melambat, tapi ada harapan: bantuan sosial, program pemulihan, dan perhatian penuh dari pemerintah. Sekarang? Tidak ada suara. Tidak ada kepastian. Hanya keheningan yang semakin berat.

Dan sejarah memberi peringatan. Pada tahun 1998, semuanya dimulai dengan rupiah yang jatuh, pasar modal yang runtuh, dan kebijakan fiskal yang justru memperburuk keadaan. Negara mencoba menghemat—dan akhirnya membakar dirinya sendiri.

---

Ketika Efisiensi Menjadi Kesalahan Fatal

Di ibukota, pemangku kebijakan percaya bahwa efisiensi adalah segalanya. Mereka melihat angka-angka seperti seorang arsitek yang merancang kota di atas kertas. Tetapi mereka lupa, di balik setiap angka, ada kehidupan yang harus terus berjalan.

Pemangkasan anggaran Rp306,69 triliun bukan sekadar angka dalam laporan keuangan. Itu adalah keputusan yang mengubah arah hidup jutaan orang.

Infrastruktur ditunda.

Program makan bergizi gratis masih tanda tanya.

Transfer daerah tersendat karena regulasi yang semakin berbelit.

Mereka menyebutnya efisiensi. Tapi sejarah tidak berpihak pada mereka yang terlalu takut untuk bertindak.

Amerika Serikat keluar dari Depresi Besar dengan New Deal—menginjeksi miliaran dolar untuk membangun kembali ekonomi. Jerman bangkit dari reruntuhan Perang Dunia II bukan dengan pemangkasan anggaran, tetapi dengan investasi agresif di infrastruktur dan industri. China tidak menjadi raksasa ekonomi dengan menekan anggaran, tetapi dengan membangun kota-kota, jalan, dan sistem perdagangan yang menopang rakyatnya.

Tapi Indonesia? Sepertinya kita memilih jalan sebaliknya.

Di Pariaman, saya melihat dampak langsungnya. Seorang pegawai negeri yang biasanya mengandalkan gaji ke-13 dan THR untuk membayar kebutuhan anaknya kini kebingungan karena pencairan tertunda. Toko bangunan di seberang kantor pemerintahan kehilangan pelanggan. Pasar tradisional semakin sepi. Pengrajin yang bergantung pada pesanan pemerintah mulai menutup usahanya.

Kota kecil tidak punya daya tahan seperti Jakarta. Jika pusat menunda, maka daerah berhenti bergerak.

Dan kita semua tahu, ekonomi yang berhenti bergerak... mati.

---

IHSG dan Stabilitas Politik: Sinyal Bahaya yang Tak Boleh Diabaikan

Dari sisi pasar modal, IHSG bergejolak. Investor asing mulai menarik modal. Sektor konsumsi dan infrastruktur tertekan. Ini bukan sekadar angka di bursa saham—ini adalah tanda bahwa daya beli rakyat melemah.

Politik pun menambah ketidakstabilan. Jika arah fiskal tak jelas, pasar bereaksi negatif. Dan ketika pasar modal bergejolak, efeknya bisa terasa hingga ke warung-warung kecil di kota saya.

Saya ingat tahun 1998. Krisis ekonomi berawal dari kejatuhan rupiah. Bank-bank runtuh. Harga-harga melonjak.

Lalu, ketakutan berubah menjadi kemarahan.
Jakarta terbakar.
Negara di ujung tanduk.
Kita nyaris kehilangan semuanya.

Sekarang, kita berada di persimpangan jalan yang serupa.

---

Pilihan Ada di Tangan Pemimpin

Sejarah selalu menawarkan dua pilihan:

1. Menjadi bangsa yang belajar dari masa lalu.

2. Atau menjadi bangsa yang terus mengulang kesalahan yang sama.

Jika Indonesia ingin tetap berdiri tegak sebagai kekuatan ekonomi, maka pemerintah harus berpikir ulang tentang cara mengelola fiskal.

Pemangkasan anggaran yang membabi buta adalah jebakan. Efisiensi yang mengorbankan rakyat kecil bukan solusi.

Regulasi yang memperumit birokrasi hanya menambah kesulitan. Maka, kepada para pemangku kebijakan, tanyakan pada diri sendiri:

Apakah kita sedang menyelamatkan negara? Ataukah kita sedang mendorongnya perlahan ke dalam jurang krisis? (*)
×
Berita Terbaru Update