Pariamantoday - #Siluet - Di dunia yang semakin dikuasai oleh algoritma dan angka, pasar saham tampak seperti medan perang yang sunyi—tanpa dentuman meriam atau teriakan prajurit, tetapi miliaran dolar berpindah dalam hitungan detik.
Hari ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh lebih dari 5%, memaksa bursa efek Indonesia (BEI) menghentikan perdagangan. Tapi jika kita melihat lebih dalam, ini bukan sekadar tentang angka berkedip merah di layar monitor para pialang. Ini adalah kisah yang lebih tua dari kapitalisme itu sendiri: kisah ketakutan, harapan, dan kekuasaan.
Sepanjang sejarah, manusia selalu berusaha menaklukkan ketidakpastian. Kaisar Romawi membangun kuil untuk dewa-dewa yang dipercaya bisa menenangkan badai ekonomi. Para raja Eropa mengandalkan peramal istana untuk membaca masa depan kerajaan mereka. Hari ini, kita menggantikan dewa dan peramal dengan analis ekonomi, model statistik, dan kebijakan moneter. Tetapi seperti halnya dewa-dewa kuno, mereka pun sering kali gagal meredam kepanikan.
Kapitalisme modern telah menciptakan sebuah paradoks: negara memiliki kekuatan untuk mencetak uang, menulis regulasi, bahkan menyelamatkan bank yang nyaris bangkrut—tetapi mereka tetap terikat oleh keinginan para pemilik modal yang bisa mengalihkan triliunan dolar hanya dengan menekan satu tombol. Hari ini, modal tidak lagi tunduk pada kerajaan atau ideologi; ia hanya tunduk pada satu hal: kepercayaan. Dan ketika kepercayaan itu luntur, modal akan pergi, tanpa menoleh ke belakang.
Maka, penurunan IHSG ini bukan hanya soal fluktuasi pasar, melainkan sebuah pesan. Sebuah peringatan dari mereka yang menguasai peredaran uang: ada sesuatu dalam kebijakan ekonomi, fiskal, atau bahkan politik yang tidak mereka sukai. Bisa jadi ini tentang proyek ambisius seperti pembentukan superholding BUMN “Danantara,” atau mungkin tentang ketidakpastian global yang tak seorang pun bisa kendalikan. Yang jelas, modal selalu mencari tempat yang lebih aman—dan jika Indonesia tidak memberikan kepastian itu, mereka akan mencari rumah baru.
Tapi pertanyaannya bukanlah “kapan IHSG akan pulih?”, melainkan “apa yang sebenarnya sedang terjadi?” Apakah ini hanya badai kecil di tengah lautan, atau ini adalah awal dari restrukturisasi besar dalam keseimbangan kekuatan antara negara, pasar, dan masyarakat?
Sejarah menunjukkan bahwa gejolak ekonomi bukan sekadar angka dalam grafik. Mereka adalah pertanda dari sesuatu yang lebih dalam—sebuah perubahan dalam tatanan dunia.
Kekaisaran Romawi runtuh bukan karena serangan suku barbar semata, tetapi karena hilangnya kepercayaan terhadap sistem ekonomi dan politiknya. Depresi Besar Amerika 1929 bukan hanya tentang pasar saham yang runtuh, tetapi tentang rapuhnya kontrak sosial antara kapital dan tenaga kerja.
Hari ini, Indonesia masih berdiri kokoh dengan fundamental ekonomi yang dinilai kuat, dengan pertumbuhan yang diproyeksikan tetap di atas 5%. Tapi pertumbuhan bukan hanya tentang angka. Ia adalah tentang bagaimana kekayaan didistribusikan, bagaimana modal mengalir, dan yang lebih penting: apakah masyarakat percaya bahwa sistem ini bekerja untuk mereka, atau justru melawan mereka?
Dalam dunia yang semakin liar dan tak terduga, bangsa yang bertahan bukanlah mereka yang sekadar memiliki sumber daya melimpah atau pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi mereka yang mampu membaca arus perubahan sebelum ia menjadi gelombang yang tak terbendung.
Jika Indonesia ingin memastikan bahwa gejolak hari ini hanyalah babak kecil dalam perjalanan panjang menuju kemakmuran, maka pertanyaannya bukanlah bagaimana menaikkan kembali IHSG.
Pertanyaannya adalah: apakah kita ingin terus bermain dalam aturan kapitalisme global yang ada, atau menciptakan sistem baru yang lebih adil dan berkelanjutan?
Dan pertanyaan itu membawa kita kembali ke inti peradaban: siapa yang sebenarnya berkuasa—negara, pasar, atau modal?