Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

#Siluet Dampak Efisiensi Pusat terhadap Ekonomi Pariaman

20 Maret 2025 | 20.3.25 WIB Last Updated 2025-03-19T23:27:12Z
      Oleh Oyong Liza Piliang 


Pariamantoday - #Siluet - Pada malam ke-20 Ramadan, ketika seharusnya kota ini dipenuhi gemuruh transaksi, yang tersisa hanyalah keheningan yang mencekam.

Di Pasar Pariaman, para pedagang duduk dengan wajah suram di balik lapak yang hampir tak tersentuh pembeli. Seorang ibu paruh baya menatap tumpukan takjil yang tak laku, tangannya gemetar saat menghitung sisa modalnya. Seorang penjual ikan hanya bisa menghela napas, melihat dagangannya mulai kehilangan kesegaran, sebagaimana harapan mereka yang perlahan membusuk dalam ketidakpastian.

Ekonomi di kota ini bukan hanya melambat—ia telah direnggut paksa oleh kebijakan pusat yang tak lagi mengenal batas.

Inpres No. 1 Tahun 2025: Pisau yang Menyayat Daerah

Ketika Presiden menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Anggaran, ia mungkin berpikir sedang menyelamatkan keuangan negara. Tetapi bagi masyarakat Pariaman, keputusan itu ibarat pisau yang menyayat perlahan, mengalirkan darah yang tak terlihat di meja-meja rapat Jakarta.

Inpres ini memerintahkan pemangkasan anggaran daerah dengan dalih efisiensi, memotong Dana Alokasi Khusus (DAK) hingga Rp 34 miliar di Pariaman, langsung menghantam ekonomi lokal.

Proyek-proyek infrastruktur mendadak dihentikan, ribuan buruh harian kehilangan pekerjaan, dan para pengusaha kecil yang bergantung pada proyek pemerintah tiba-tiba dibiarkan berjuang sendiri.

Seolah itu belum cukup, keterlambatan pembayaran gaji ke-13 dan THR ASN senilai Rp25 miliar ikut tersandera dalam kebijakan ini, menghilangkan daya beli yang selama ini menjadi pilar ekonomi lokal. Tanpa belanja pegawai yang mengalir ke pasar, tanpa proyek yang menggeliatkan industri kecil, Pariaman seolah dipaksa mengikat pinggangnya sampai napas terakhir.

Dan semua ini terjadi dalam diam.

Koordinasi yang Mati, Otonomi yang Hilang

Selama dua dekade terakhir, otonomi daerah telah menjadi nafas bagi kota-kota kecil seperti Pariaman. Pemimpin lokal memiliki kendali untuk menentukan arah pembangunan mereka sendiri, untuk memahami kebutuhan rakyatnya, untuk menyesuaikan kebijakan dengan realitas lapangan.

Tetapi Inpres ini merenggut semua itu.

Kini, setiap keputusan—dari pembangunan jalan hingga pengadaan bantuan sosial—harus menunggu lampu hijau dari Jakarta. Kepala daerah tak lagi memiliki kewenangan, mereka hanya menjadi perpanjangan tangan pusat, menjalankan perintah tanpa bisa membela rakyat mereka sendiri.

Di masa lalu, koordinasi pusat-daerah adalah jembatan yang menghubungkan kebijakan nasional dengan kebutuhan lokal. Kini, jembatan itu runtuh, digantikan oleh tembok birokrasi yang semakin tinggi, yang menjauhkan pusat dari realitas di lapangan.

Pariaman bukan satu-satunya korban. Di seluruh Indonesia, kota-kota kecil merasakan dampak yang sama. Pemotongan anggaran ini bukan hanya angka dalam laporan keuangan—ia adalah kematian perlahan bagi ekonomi lokal yang selama ini berjuang untuk mandiri.

Efisiensi atau Sentralisasi yang Membunuh?

Di Jakarta, para ekonom mungkin melihat inflasi 3,2% sebagai angka kecil yang bisa dinegosiasikan. Tetapi bagi seorang ibu di Pariaman, angka itu berarti berkurangnya porsi makan anak-anaknya.

Kenaikan harga beras 15% mungkin hanya menjadi variabel dalam tabel makroekonomi pusat, tetapi bagi seorang buruh harian yang kini menganggur akibat pemotongan DAK, itu berarti memilih antara membayar listrik atau membeli kebutuhan pokok.

Kebijakan ini tidak sekadar tentang pemotongan anggaran. Ini tentang siapa yang berhak menentukan nasibnya sendiri. Pariaman dulu punya kuasa untuk bertahan, tetapi sekarang, setiap gerakannya harus menunggu instruksi dari pusat.

Dan sejarah sudah membuktikan betapa berbahayanya sentralisasi semacam ini.

Pariaman dan Dilema: Bertahan atau Tenggelam?

Setiap kota kecil di Indonesia kini menghadapi pilihan: menunggu keajaiban dari pusat, atau mulai membangun sistem ketahanan sendiri.

Pariaman pernah menjadi pusat perdagangan, kota pesisir yang hidup dari pasar, perikanan, dan pariwisata. Jika dibiarkan tanpa intervensi yang nyata, tanpa kebijakan yang benar-benar berpihak kepada daerah, maka bukan tidak mungkin Pariaman akan jatuh ke dalam resesi lokal.

Tanpa pemulihan anggaran daerah, tanpa stimulus ekonomi untuk UMKM, tanpa ruang gerak bagi kepala daerah untuk menyelamatkan rakyatnya, maka ekonomi Pariaman akan terus melemah. Dan ketika ekonomi melemah, yang hilang bukan hanya angka-angka dalam laporan statistik, tetapi juga semangat, kebersamaan, dan kepercayaan rakyat terhadap sistem yang seharusnya melindungi mereka.

Sejarah telah membuktikan bahwa setiap kali pusat mengambil kendali penuh atas ekonomi daerah, rakyat kecil selalu menjadi korban pertama.

Dari cultuurstelsel di masa kolonial, ke Depresi Besar 1930-an, hingga krisis moneter 1998, pola yang sama selalu berulang: pusat mengambil, daerah kehilangan, rakyat berjuang sendiri.

Dan kini, di tahun 2025, kita menyaksikan sejarah yang kembali berulang.

Pusat memiliki pilihan: tetap memaksakan kebijakan efisiensi yang ugal-ugalan, yang hanya menguntungkan para birokrat di ibu kota, atau mulai mengembalikan roh otonomi daerah, memberikan ruang bagi daerah untuk bertahan dan bangkit dengan kekuatannya sendiri.
×
Berita Terbaru Update