Pariamantoday - #Sketsa - Sepanjang sejarah, kota-kota tumbuh bukan hanya karena kehebatan para pemimpinnya atau kekayaan sumber dayanya, tetapi karena warganya mampu menjaga keseimbangan antara tradisi dan perubahan, antara kebebasan dan ketertiban.
Kota kecil seperti Pariaman adalah salah satu contohnya—sebuah komunitas homogen yang berdiri di atas nilai-nilai kebersamaan, di mana setiap orang mengenal satu sama lain, dan di mana suara-suara di jalanan bukan sekadar kebisingan, tetapi denyut nadi kehidupan itu sendiri.
Malam itu, di Café Joyo Makmur, di antara aroma kopi hitam dan sisa hidangan berbuka, sekelompok orang duduk berbincang. Salmi Cami, pemilik Toko Mas Cemerlang, menjamu Walikota Pariaman Yota Balad, Wakil Walikota Mulyadi, Kapolres Pariaman AKBP Andreanaldo Admi, serta beberapa pengusaha dan tokoh masyarakat lainnya.
Tidak ada sambutan formal, hanya percakapan yang mengalir alami tentang kota ini—tentang harapannya, tantangannya, dan bagaimana semua orang bisa berkontribusi.
"Kota kita ini kecil, tapi kita tidak boleh anggap remeh tantangan yang ada," kata Kapolres Andreanaldo, menyesap kopinya. "Jelang Lebaran, arus mudik akan meningkat, dan tugas kami memastikan semuanya berjalan lancar."
Walikota Yota Balad mengangguk. "Pariaman ini kota pesisir, jalannya tidak sebesar kota-kota besar. Kalau tidak diatur dengan baik, kita bisa kewalahan. Pemudik datang, pedagang dadakan bermunculan, kendaraan menumpuk—semua butuh perhatian."
Salmi Cami tersenyum. "Dan jangan lupa anak-anak muda kita. Ramadan ini, saya lihat mereka semakin ramai di jalanan. Balap liar makin sering, knalpot bising makin menggema. Beruntung Polres Pariaman bertindak cepat menanganinya."
Kapolres tertawa kecil. "Benar itu. Pekikan knalpot di malam bak musik latar Ramadan yang mengganggu ibadah warga. Kami terus lakukan patroli, tapi ini bukan cuma soal penindakan. Kami harus ajak mereka bicara, kasih mereka ruang. Kalau kita hanya menertibkan tanpa memberi solusi, mereka akan selalu mencari celah untuk kembali ke jalan."
Percakapan mengalir dari masalah lalu lintas ke keamanan pasar, dari keramaian takbiran ke pentingnya menjaga ketertiban selama arus mudik.
Semua menyadari satu hal: Pariaman bukan Jakarta atau Medan, di mana kota bisa berjalan sendiri dengan sistem yang sudah mapan. Di sini, segalanya masih bersandar pada hubungan sosial yang erat. Polisi tidak hanya bertindak sebagai aparat penegak hukum, tetapi juga sebagai saudara, tetangga, dan bagian dari masyarakat.
"Ini bukan soal aturan ketat atau hukuman," lanjut Kapolres. "Ini soal bagaimana kita, sebagai komunitas, menjaga keseimbangan. Kita ingin masyarakat merasa aman tanpa merasa diawasi berlebihan. Kita ingin anak-anak muda kita menikmati kebebasan tanpa mengganggu yang lain. Dan kita ingin pemudik merasa nyaman, tahu bahwa kampung halamannya akan selalu menyambut mereka dengan hangat."
Salmi Cami mengangguk pelan. Ia memahami bahwa keberhasilan sebuah kota bukan hanya soal pembangunan fisik, tetapi juga bagaimana kehidupan di dalamnya bisa berjalan harmonis. Program unggulan Balad-Mulyadi—satu rumah satu hafiz, bimbel gratis sekolah kedinasan, satu keluarga satu sarjana plus, satu rumah satu home industry—bukan sekadar janji politik, tetapi bagian dari upaya membangun masyarakat yang kuat dari dalam.
Malam semakin larut, dan satu per satu tamu mulai berpamitan. Tapi percakapan itu tidak akan berakhir di sini. Ia akan berlanjut dalam diskusi lain, di meja-meja kopi berikutnya, di pertemuan-pertemuan kecil yang mengisi kehidupan kota ini.
Pariaman adalah kota yang tenang, tetapi di balik ketenangan itu, ada banyak tangan yang bekerja, ada banyak hati yang peduli.
Dan malam itu, di Café Joyo Makmur, mereka kembali memastikan bahwa keseimbangan itu tetap terjaga. (OLP)