Oleh: Oyong Liza Piliang
Pariamantoday - #Siluet - Senja turun perlahan, membalut desa kecil itu dalam cahaya keemasan yang suram. Angin sore berembus lemah, membawa bau bumbu-bumbu dan asap kayu yang mengepul dari dapur-dapur sederhana. Di beranda sebuah rumah panggung, seorang wanita tua duduk diam, pandangannya lurus ke jalan desa yang mulai gelap. Wajahnya penuh kerutan, seperti selembar kain tua yang telah berkali-kali dicuci air mata.
Tek Minah menunggu.
Biasanya, saat-saat seperti ini rumahnya sudah riuh. Anak-anaknya, cucu-cucunya, akan datang berlarian dari jauh membawa kegembiraan. Tapi tahun ini, tak ada tawa anak kecil, tak ada suara langkah tergesa-gesa di tangga kayu, tak ada pelukan hangat. Hanya kesunyian yang menggantung dibalik tebalnya awan. Begitu berat hingga udara terasa lebih dingin dari seharusnya.
Dari dapur, terdengar bunyi kayu terbakar di tungku. Uni Mar, anak perempuannya yang masih tinggal bersamanya, mengaduk rendang dalam kuali besar. Bau santan dan rempah-rempah memenuhi udara, tetapi makanan itu kini hanya menjadi lambang dari tradisi yang kehilangan makna. Apa gunanya makanan lezat jika tak ada tangan kecil yang berebut suapan pertama? Apa gunanya meja makan jika hanya diisi oleh orang-orang yang hatinya dipenuhi kerinduan?
Malam perlahan turun, menggantikan jingga dengan kegelapan yang pekat. Dari kejauhan, gema takbir terdengar, melayang-layang di udara seperti ribuan anak panah yang berusaha menembus langit. Hati Tek Minah bergetar. Ia tahu, malam ini akan terasa lebih panjang dari malam-malam lainnya.
Langkah Munaf, anak bungsunya, terdengar di tangga. Ia baru pulang dari masjid, pecinya masih di tangan. Cara ia berjalan tampak ragu-ragu. Tek Minah menoleh perlahan, tatapannya penuh tanya yang tak terucapkan.
"Mak, Ramli bilang banyak yang tak bisa pulang tahun ini. Ekonomi sulit. Ada yang usahanya bangkrut, ada yang rumahnya terendam di Bekasi."
Tek Minah tetap diam. Tidak ada kejutan dalam ucapannya, hanya konfirmasi dari sesuatu yang telah ia duga. Kehidupan mengajarkan bahwa harapan sering kali tidak lebih dari ilusi, dan kenyataan lebih kejam daripada yang ingin diakui manusia.
Ponsel Munaf bergetar. Suara kecil itu memecah kesunyian lebih dalam dari apa pun. Ia melirik layar, menelan ludah. "Mak, ini Uni Uri."
Seketika, Tek Minah merasa waktu berhenti.
Di layar, wajah Uri muncul. Wajah yang dulu ia kenal penuh semangat, kini tampak jauh lebih tua, lebih letih. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang tidak bisa disembunyikan. Kelelahan, keputusasaan, dan sesuatu yang lebih menyesakkan--rasa malu.
"Mak… maaf. Uri tak bisa pulang."
Tek Minah menarik napas dalam-dalam. Tidak ada pertanyaan. Tidak ada keluhan. Ia hanya menunggu, karena seorang ibu selalu tahu bahwa anaknya membutuhkan waktu untuk berbicara.
"Nomor Uri sengaja dimatikan, Mak… Pinjol itu… mereka terus meneror. Uri terpaksa berutang buat modal setelah banjir. Tapi semuanya gagal. Rumah sudah disita, Mak. Sekarang untuk bayar kontrakan pun, Uri harus pinjam ke teman."
Tidak ada yang bergerak dalam beberapa detik berikutnya. Malam semakin larut, takbir di kejauhan masih menggema, tetapi semua suara terasa begitu jauh. Seolah dunia ini tidak lagi memiliki tempat bagi seorang ibu dan anaknya yang terpisah oleh keadaan.
"Tapi, Mak…" Suara Uri semakin kecil, hampir seperti bisikan. "Lebaran ini, Uri tetap kirim dua juta. Uri titip ke Johan yang pulang kampung."
Air mata menggenang di pelupuk mata Tek Minah. Tidak, bukan karena uang itu. Ia tidak peduli pada uang. Yang ia pedulikan adalah anaknya, cucu-cucunya, tawa mereka yang kini hanya bisa ia bayangkan dalam pikirannya.
Di balik punggung Uri, dua wajah kecil muncul. Lila dan Adip. Mata mereka basah, suara mereka lirih. "Nenek… maaf kami tak bisa pulang… Kami rindu…"
Saat itu, sesuatu dalam diri Tek Minah runtuh. Tapi ia tidak menangis. Tidak di depan anak-anaknya. Tidak di depan cucu-cucunya. Karena ibu adalah benteng yang harus tetap berdiri, bahkan saat semua tembok lain telah roboh.
Ia mengangguk, tersenyum kecil, meski hatinya terasa lebih kosong dari sebelumnya.
Malam berlalu, takbir semakin jauh. Waktu terus berjalan, membawa harapan dan kehilangan bersamanya. Tek Minah tetap duduk di sana, menatap gelapnya malam, membiarkan air matanya jatuh dalam diam.
Karena di dunia ini, kasih sayang seorang ibu sering kali tak cukup untuk melawan kenyataan. Tetapi ia tetap menunggu, karena itulah yang dilakukan seorang ibu--menunggu, berharap, dan mencintai tanpa syarat, meskipun dunia semakin menjauh dari genggamannya.