Pariamantoday - #Siluet – Selama ribuan tahun, manusia membangun tempat tinggal bukan sekadar untuk berteduh dari hujan dan terik, tetapi juga sebagai benteng terakhir dari ketidakpastian dunia. Namun, di era modern, ancaman terbesar bagi industri perumahan bukanlah bencana alam, melainkan regulasi yang kian menyesakkan. Para pengembang perumahan di Indonesia kini menghadapi realitas getir: aturan yang terus berubah bak angin ribut, tekanan fiskal yang makin menggila, dan belantara birokrasi yang kian tak terpetakan.
Sejarah telah mengajarkan bahwa perumahan adalah fondasi peradaban. Dari permukiman pertama di Mesopotamia hingga pencakar langit yang menjulang di New York, setiap kebijakan perumahan mencerminkan tarik-menarik antara kebutuhan rakyat dan kepentingan penguasa. Namun di Indonesia, kebijakan yang semula dirancang sebagai jembatan menuju kesejahteraan kini justru menjelma menjadi labirin yang menyesatkan langkah para pengembang.
FLPP: Nadi Rumah Subsidi yang Terhambat
Seperti revolusi industri yang mengguncang tatanan ekonomi dunia, kebijakan perumahan di Indonesia pun tengah diterpa badai perubahan. Salah satu gejolak terbesar datang dari skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Sejak diluncurkan, FLPP telah menjadi tulang punggung perumahan subsidi, memungkinkan masyarakat berpenghasilan rendah memiliki hunian dengan skema pembiayaan yang lebih ringan.
Namun, perubahan skema FLPP yang terjadi belakangan ini justru menyebabkan sekitar 20.000 unit rumah subsidi tertahan, bukan karena kelangkaan lahan atau bahan bangunan, melainkan akibat transisi mekanisme pembiayaan yang belum terselesaikan. Pemerintah sedang menyesuaikan pola distribusi pendanaan, tetapi bagi para pengembang, ketidakpastian ini berarti biaya mengendap, proyek tertunda, dan skenario terburuk: kredit macet yang bisa memicu efek domino ke sektor konstruksi dan tenaga kerja.
Ironisnya, di tengah ketidakpastian ini, pemerintah justru berambisi menyalurkan KPR untuk 20.000 rumah subsidi khusus guru pada 2025. Sebuah rencana mulia, tetapi jika kebijakan pendanaan belum jelas dan birokrasi masih berbelit, mimpi memiliki rumah bisa berubah menjadi angan-angan yang semakin menjauh.
Tapera: Solusi atau Beban Baru?
Jika FLPP membuat developer terjepit, kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) justru menambah tekanan bagi pekerja. Dalam skema yang baru diperkenalkan, setiap pekerja diwajibkan menyisihkan 3% dari gajinya untuk tabungan perumahan, dengan rincian 2,5% ditanggung pekerja dan 0,5% oleh pemberi kerja.
Secara teori, konsep ini terdengar menjanjikan: menabung untuk masa depan, membangun akses perumahan yang lebih luas. Namun, dalam praktiknya, pemotongan ini datang di tengah situasi ekonomi yang kian menekan daya beli masyarakat. Dengan kenaikan harga barang kebutuhan pokok dan beban pajak yang terus meningkat, memotong gaji pekerja demi sebuah skema yang belum sepenuhnya terbukti efektif bisa menjadi pukulan tambahan bagi ekonomi rakyat.
Lebih dari itu, belum ada kejelasan bagaimana dana Tapera ini akan dikelola, siapa yang mendapat manfaat utama, dan apakah sistem ini benar-benar mampu mempercepat kepemilikan rumah. Jika tidak diatur dengan transparan dan efektif, Tapera bisa menjadi beban baru yang justru menghambat pertumbuhan ekonomi rumah tangga.
Hunian Berimbang: Mimpi atau Ilusi?
Di atas kertas, kebijakan Hunian Berimbang dalam PP No. 12 Tahun 2021 terdengar seperti solusi ideal—mewajibkan pengembang untuk membangun rumah mewah, menengah, dan bersubsidi dalam komposisi tertentu guna menciptakan ekosistem perumahan yang lebih inklusif.
Namun realitasnya, kebijakan ini justru membuat banyak pengembang berpikir dua kali sebelum berinvestasi. Dalam iklim bisnis yang semakin kompetitif, membebani developer dengan regulasi yang sulit diterapkan tanpa insentif yang sepadan hanya akan membuat sektor properti kehilangan gairah.
Sejarah telah menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi yang gagal biasanya lahir dari mimpi besar tanpa peta jalan yang jelas. Seperti eksperimen sosialisme abad ke-20 yang kerap tumbang oleh realitas ekonomi, regulasi yang memaksa tanpa perhitungan matang bisa menghancurkan gairah investasi di sektor properti. Jika dibiarkan berlarut-larut, dampaknya tak hanya menghantam sektor perumahan, tetapi juga merembet ke jantung pertumbuhan ekonomi nasional.
Birokrasi: Sekutu atau Musuh?
Di balik gemerlapnya pembangunan, bayang-bayang birokrasi yang rumit masih menjadi momok bagi para pengembang. Proses perizinan yang berbelit, regulasi yang tumpang-tindih, dan ketidakpastian hukum membuat proyek yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi justru tersendat di meja birokrat.
Sejarah membuktikan bahwa peradaban yang maju selalu ditopang oleh birokrasi yang efisien. Kekaisaran Romawi mempercepat perdagangan dengan membangun jalan-jalan yang melintasi benua. Dinasti Qing di Tiongkok menyederhanakan sistem perpajakan agar produksi pangan meningkat. Jika Indonesia ingin sektor perumahannya berkembang, birokrasi harus menjadi katalisator, bukan penghambat.
Antara Regulasi dan Realitas
Regulasi yang terus berubah ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, aturan yang lebih ketat bisa menciptakan keseimbangan dan keadilan sosial. Namun di sisi lain, jika tidak diterapkan dengan bijak, regulasi bisa menjadi batu sandungan yang menghancurkan industri properti, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan menjauhkan rakyat dari impian memiliki rumah sendiri.
Jika pemerintah tidak segera menemukan keseimbangan antara kepentingan rakyat dan keberlanjutan industri, krisis perumahan bisa berkembang menjadi badai yang lebih besar dari yang pernah dibayangkan.
Dalam skenario terbaik, regulasi akan diperbaiki, insentif bagi pengembang diberikan, dan birokrasi disederhanakan. Namun dalam skenario terburuk, kita bisa melihat geliat pembangunan meredup, harga rumah melonjak, dan impian memiliki hunian bagi jutaan rakyat kian menjauh.
Sejarah selalu mencatat bahwa kebijakan yang baik tidak hanya lahir dari niat mulia, tetapi juga dari keberanian untuk berpijak pada realitas.