Langit mulai temaram ketika Aprinaldi, S.Pd, M.Pd, AIFO melangkah di antara puing-puing yang masih berasap, Selasa malam (11/3/2025). Udara di Kampuang Tangah Gantiang, Nagari Kudu Gantiang, masih membawa aroma arang dan kayu yang hangus terbakar. Api memang sudah padam sejak beberapa jam lalu, tapi di mata mereka yang kehilangan rumah, bara kesedihan masih menyala.
Ketua DPRD Kabupaten Padang Pariaman itu berdiri di depan sisa-sisa rumah yang kini hanya tinggal dinding arang. Matanya menyapu pemandangan di sekelilingnya—anak-anak yang duduk di tanah, para ibu yang masih sesekali menyeka air mata, dan lelaki paruh baya yang memungut sisa-sisa harta benda yang tak lagi bisa digunakan.
“Saya tahu rasanya,” kata Aprinaldi, suaranya berat. Ia tak sekadar berbasa-basi. Ia pernah berdiri di tempat yang sama. Pernah melihat rumahnya sendiri menjadi abu, sama seperti yang kini terjadi di hadapan matanya. Ia tahu betul bagaimana kebakaran tak hanya melahap bangunan, tapi juga harapan, kenangan, dan rasa aman yang selama ini dipegang erat oleh para korban.
Malam itu, ia tidak hanya datang membawa bantuan—beras, selimut, sembako—tetapi juga sesuatu yang lebih berharga: pemahaman. Tidak ada kata-kata kosong atau janji yang terdengar klise. Yang ia tawarkan adalah sesuatu yang ia genggam erat dalam hidupnya sendiri—ketabahan.
“Jangan bersedih terlalu lama,” katanya, menatap para korban satu per satu. “Di balik setiap cobaan, selalu ada rahasia Tuhan.”
Seorang lelaki tua yang kehilangan rumahnya mengangguk pelan. Seorang ibu yang masih memeluk anaknya yang ketakutan menatap Aprinaldi dengan mata berkaca-kaca. Mereka tidak butuh belas kasihan—mereka butuh keyakinan bahwa mereka bisa bangkit lagi.
Aprinaldi tahu, bantuan yang ia berikan malam itu hanya sebatas permulaan. Ia mengajak perantau dan dunsanak untuk turut serta. “Ini bulan Ramadhan,” katanya, suaranya tegas. “Tidak ada waktu yang lebih baik untuk berbagi selain sekarang.”
Di baliknya, Wakil Bupati Rahmat Hidayat sudah memastikan bantuan dari pemerintah daerah segera tersalurkan. Baznas juga mulai bergerak, membuka peluang agar rumah-rumah yang kini hanya tersisa puing bisa kembali berdiri.
Namun, Aprinaldi paham, yang dibutuhkan para korban bukan hanya bantuan fisik. Yang lebih penting adalah keyakinan bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi musibah ini.
Ia menatap lagi reruntuhan di hadapannya. Rumah-rumah mungkin telah menjadi abu, tetapi semangat untuk bangkit tidak boleh ikut hangus terbakar.
Malam semakin larut, tetapi bara itu belum padam—bukan api yang menghancurkan, tetapi semangat untuk memulai kembali. Dan Aprinaldi ada di sana, di antara mereka, memastikan bahwa nyala harapan tetap hidup. (OLP)