Langit senja di Padang Pariaman merekah dalam semburat jingga, mewarnai cakrawala dengan gradasi emas yang megah. Di kejauhan, gedung DPRD berdiri kokoh, menjadi saksi bisu pertempuran senyap yang tengah berlangsung. Bukan pertempuran dengan senjata, tetapi dengan strategi, keyakinan, dan tekad yang diuji di medan politik yang tak kenal ampun.
Di dalam ruangannya, Aprinaldi duduk termenung, tatapannya menembus kaca jendela yang mulai diselimuti bayangan malam. Kursi yang didudukinya sebagai Wakil Ketua DPRD tak pernah menjadi jaminan bahwa ia akan melangkah lebih jauh. Politik tak bekerja dengan kepastian; ia adalah arena yang dimainkan dengan kecerdasan, keberanian, dan sedikit keberuntungan.
Sebenarnya, jauh di lubuk hati, Aprinaldi sudah berkeinginan untuk menepi. Ia ingin kembali ke dunia akademik, menyelesaikan doktoral, menekuni pemikiran yang lebih jernih, membangun gagasan tanpa harus terjebak dalam intrik dan persaingan yang menguras nurani. Namun, hidup memiliki rencana tersendiri.
Saat ia tengah mempertimbangkan langkah mundur, takdir justru menghantamnya dengan pukulan yang lebih dalam. Kakaknya—seseorang yang bukan sekadar saudara, tetapi juga teman sepermainan—berpulang di perantauan Batam. Sosok yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga itu kini pergi untuk selamanya. Sepeninggalnya, tanggung jawab mesti diambil Aprinaldi. Ia tak hanya menjadi ayah bagi ketiga anaknya sendiri, tetapi juga harus mengemban amanah sebagai pengayom bagi anak-anak kakaknya.
Di tengah kabut duka, suara-suara mulai berdatangan, memanggilnya untuk kembali ke medan yang pernah ingin ia tinggalkan. Kolega di DPRD, tokoh masyarakat, dan para perantau yang selama ini mengamati kiprahnya, meyakinkannya bahwa dirinya lebih dari sekadar politisi—ia adalah pemimpin alami. Bukan sekadar sosok yang memegang jabatan, tetapi seseorang yang telah membuktikan diri melalui kebijakan yang berpihak pada masyarakat.
Aprinaldi kembali menata hati. Ia mengumpulkan kembali kepercayaan diri yang nyaris runtuh, lalu dengan langkah mantap, ia menerima tantangan itu.
Uji kompetensi partai diikutinya dengan tekad bulat. Bukan hanya sekadar mengikuti, ia unggul, mencatatkan nilai terbaik. PAN, yang selama ini menjadi rumah politiknya, akhirnya menjatuhkan pilihan kepadanya. Sebuah SK diserahkan—bukan sekadar dokumen formalitas, tetapi bukti bahwa partai menaruh kepercayaan penuh kepadanya untuk memimpin.
Namun, kemenangan ini hanyalah permulaan. Pilkada Padang Pariaman tengah berlangsung, dan medan pertarungan politik semakin sengit. PAN mengusung Suhatri Bur, seorang loyalis yang selama ini berdiri teguh di garis perjuangan partai. Namun, seperti halnya politik, kesetiaan pun tak selalu mudah diakui. Ia sering dicurigai, dipertanyakan, meskipun dedikasinya tak perlu diragukan.
Aprinaldi paham bahwa kepemimpinan sejati bukan hanya tentang kata-kata, tetapi tentang keteladanan. Ia bukan politisi yang hanya bicara di podium, melainkan seseorang yang benar-benar hidup dalam prinsip yang dipegangnya.
Di rumah, ia adalah suami dan ayah yang penuh perhatian. Keluarganya harmonis, anak-anaknya berbakat, membawa harapan bagi masa depan. Di sisinya, Yona—istrinya—adalah pilar yang tak tergantikan. Ia bukan sekadar pendamping, tetapi peneguh. Suaranya yang merdu pernah mengantarnya menjadi juara lomba menyanyi tingkat Sumatra Barat, tetapi kontribusinya jauh melampaui itu. Yona adalah sosok yang aktif dalam berbagai kegiatan sosial, selalu hadir untuk suaminya, dan mendukung setiap langkah yang diambilnya.
Aprinaldi rutin menyantuni anak yatim, bukan untuk pencitraan, tetapi karena hatinya terpanggil. Ia mengunjungi sekolah-sekolah, berbicara di seminar, memotivasi generasi muda agar berani bermimpi lebih tinggi. Bahkan, honor yang diterimanya dari berbagai seminar, ia bagikan kembali kepada para peserta—sebagai simbol bahwa ilmu dan inspirasi tak seharusnya dikomersialkan.
Kini, ia berdiri di persimpangan yang lebih besar. Jabatan Ketua DPRD bukan sekadar puncak pencapaian, tetapi awal dari tanggung jawab yang lebih berat. Di pundaknya, harapan masyarakat Padang Pariaman bertumpu. Dan di dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai.
Di luar jendela, langit telah benar-benar gelap. Namun, di dalam hati Aprinaldi, cahaya baru mulai menyala. (OLP)