15 April 1983. Malam itu, angin berembus lembut di Kampung Dalam, Padang Pariaman. Cahaya bulan membelah pekat, jatuh ke atas atap-atap rumah yang terlelap dalam keheningan. Di sebuah rumah sangat sederhana, saat fajar menyingsing, seorang bayi baru saja lahir. Aprinaldi. Nama itu akan menjadi bagian dari kisah panjang tentang kekuasaan, strategi, dan waktu.
Tak ada yang tahu saat itu, tetapi roda sejarah telah mulai bergerak.
Di dunia ini, ada dua jenis pemimpin—mereka yang muncul sekejap lalu lenyap, dan mereka yang memahami aturan permainan sejak awal. Mereka yang mampu membaca sejarah, menavigasi kekuatan tak kasat mata yang menggerakkan manusia, dan menyesuaikan langkah dengan denyut zaman. Aprinaldi adalah salah satunya.
Sejak zaman peradaban pertama, kepemimpinan tidak pernah lahir dari ruang hampa. Ia adalah hasil dari proses panjang yang ditempa oleh waktu.
Di masa lalu, seorang kepala suku harus membuktikan keberanian dan kecerdikannya sebelum dipercaya memimpin. Di zaman modern, tantangan itu berubah bentuk: dari bertahan hidup di hutan menjadi bertahan dalam dunia organisasi dan politik.
Aprinaldi memahami ini sejak kecil.
Saat masih duduk di SMPN 1 V Koto Kampung Dalam, ia sudah mengambil langkah pertamanya: Ketua OSIS. Sebuah jabatan kecil, tetapi dalam politik, tidak ada posisi yang sepele.
Di SMA, ia kembali menduduki posisi yang sama. Kemudian, di Universitas Negeri Padang, ia naik ke puncak kepemimpinan mahasiswa: Ketua BEM Fakultas Ilmu Keolahragaan.
Setiap langkah adalah bagian dari peta besar. Setiap jabatan adalah batu loncatan.
Seperti seorang jenderal yang menaklukkan wilayah demi wilayah, Aprinaldi membangun pengaruhnya bukan dengan kekuatan, tetapi dengan pemahaman mendalam tentang bagaimana sistem bekerja.
Sejarah politik dunia menunjukkan satu hal yang tak pernah berubah: mereka yang memahami jaringan, akan selalu memiliki tempat dalam kekuasaan.
Pada abad ke-19, pemimpin besar di Eropa menyadari bahwa karisma saja tidak cukup. Dibutuhkan organisasi yang solid, kaderisasi yang kuat, dan loyalitas yang terjaga.
Aprinaldi menerapkan strategi serupa. Ia tidak hanya memasuki dunia politik, tetapi membangun fondasi kekuatan melalui berbagai organisasi:
Ketua Umum SAPMA Pemuda Pancasila Sumatera Barat
Wakil Ketua KNPI Padang Pariaman
Ketua Umum KONI Padang Pariaman
Ketua DKC dan Wakil Ketua Kwarcab Gerakan Pramuka
Setiap posisi yang ia pegang bukan hanya sebuah gelar, namun mata rantai dalam jaringan yang lebih besar.
Dari ormas kepemudaan hingga dunia olahraga, dari gerakan sosial hingga kepartaian—ia membangun pijakan di setiap sektor.
Seperti Napoleon yang menanamkan pengaruhnya di seluruh Eropa, Aprinaldi memastikan bahwa ketika saatnya tiba, ia tidak datang sebagai orang luar, tetapi sebagai pusat dari sistem yang telah ia bangun sendiri.
Namun, kekuasaan yang bertahan bukan hanya soal strategi. Ia juga soal nilai.
Sejarah mencatat bahwa banyak pemimpin besar jatuh bukan karena kurangnya pengaruh, tetapi karena kehilangan pegangan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan.
Aprinaldi memahami ini. Ia tidak hanya mendekati kekuasaan, tetapi juga mendekati kebijaksanaan.
Sejak muda, ia dikenal menjaga ibadah dengan disiplin. Shalatnya bukan sekadar ritual, tetapi bagian dari pijakan utama hidupnya.
Ia kerap menghadiri majelis ilmu, meminta nasihat dari para ulama, dan berusaha menjalankan nilai-nilai Islam dalam kepemimpinannya.
Lebih dari itu, ia percaya bahwa kekuasaan sejati adalah yang membawa manfaat bagi orang lain.
Ia rutin menyantuni anak yatim. Ia sering menjadi ayah angkat bagi keluarga tidak mampu, memastikan anak-anak mereka tetap bisa bersekolah.
Ia memahami bahwa kebesaran seseorang tidak diukur dari jabatannya, tetapi dari seberapa banyak orang yang hidupnya ia bantu.
Dalam dunia politik yang sering kali dipenuhi ambisi dan intrik, Aprinaldi membawa sesuatu yang berbeda: visi tentang kepemimpinan yang berpijak pada nilai-nilai luhur.
Ketika Aprinaldi bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN) pada 2017, ia tidak datang dengan tangan kosong. Ia membawa jaringan. Ia membawa pengaruh. Ia membawa strategi.
Di Pemilu 2019, ia maju sebagai calon anggota DPRD Padang Pariaman dari Dapil IV dan memperoleh 2.124 suara. Cukup untuk mengamankan kursi dan bahkan menduduki posisi Wakil Ketua DPRD Padang Pariaman periode 2019-2024.
Namun, dalam politik, satu kemenangan tidak berarti apa-apa jika tidak bisa dipertahankan.
Pada Pemilu 2024, ia kembali bertarung. Suaranya meningkat menjadi 2.150.
Bagi sebagian orang, ini mungkin terlihat kecil. Tetapi dalam dunia politik, mampu mempertahankan basis loyal dalam dunia yang selalu berubah adalah tanda dari pemimpin sejati.
Sejarah telah menunjukkan bahwa banyak politisi yang bersinar dalam satu pemilu, tetapi gagal mempertahankan momentum.
Aprinaldi memahami bahwa politik bukan hanya tentang menang, tetapi tentang bertahan.
Jika kita melihat sejarah politik dunia, kita akan menemukan tiga hal yang selalu terjadi: Kekuasaan tidak diwariskan, tetapi dibangun. Pemimpin yang bertahan bukan hanya yang kuat, tetapi yang adaptif. Sistem lebih penting daripada individu.
Aprinaldi tampaknya memahami ini. Ia tidak hanya berpikir tentang Pemilu 2024, tetapi juga tentang bagaimana memastikan bahwa 2029 dan seterusnya terus berada dalam momentum yang menguntungkan.
Dalam kepartaian, ia memiliki tiga prinsip utama: Mengukuhkan PAN sebagai partai dominan di Padang Pariaman. Merekrut kader-kader berkualitas untuk regenerasi kepemimpinan dan membangun pendidikan politik yang kuat di masyarakat.
Ia tidak ingin kekuasaannya hanya menjadi gelombang sesaat. Ia ingin membangun sistem yang akan bertahan lebih lama dari dirinya sendiri.
Di dunia ini, sejarah hanya mencatat dua jenis manusia—mereka yang tenggelam dalam arus waktu tanpa meninggalkan jejak, dan mereka yang namanya terukir abadi dalam peradaban.
Aprinaldi memahami satu rahasia yang hanya sedikit orang sadari:
Kekuasaan bukan sekadar tentang kemenangan sesaat, tetapi tentang siapa yang mampu bertahan melampaui generasinya.
Jika langkahnya terus seirama dengan strategi yang telah ia bangun, maka 2029 bukanlah garis akhir, melainkan gerbang menuju era baru.
Sebab dalam tarian abadi sejarah, kemenangan bukan milik mereka yang sekadar kuat, tetapi bagi mereka yang mampu mendengar bisikan waktu, menyesuaikan langkah dengan denyut peradaban, dan mengubah gelombang takdir menjadi jejak yang tak terhapuskan. (OLP)