Tanggal 2 Juli 2024, Kota Pariaman berusia 22 tahun sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kota Pariaman di Provinsi Sumatera Barat yang ditanda-tangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 10 April 2002. Usia administrasi pemerintahan. Namun kalau digali lagi, usia biologis kota ini sudah melewati angka 5 abad.
Rujukannya apalagi kalau bukan mahakarya seorang petualang asal Portugis yang bernama Tome Pires. Naskah “Suma Oriental” karangan Tome Pires itu tercatat sebagai karya paling moderen dan paling masuk akal tentang dunia timur, termasuk kepulauan yang ada di Nusantara. Walaupun begitu, Tome Pires tetap tidak melakukan perjalanan darat, melainkan berlayar dengan kapal dari Malaka yang jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511.
Guna memberikan gambaran menyeluruh, akibat penulis tidak punya waktu banyak, baiklah penulis nukilkan tulisan Tome Pires yang sudah disadur ke dalam Bahasa Inggris – kemudian juga ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Ombak, Yogyakarta --. Begini bunyinya: Nukilan Bahasa Inggris ini penulis terjemahkan dengan google translate.
‘Dari kerajaan Andalas saya menyusuri daratan, membelok ke barat laut hingga saya mencapai pulau-pulau kelompok Gamispola, dan di tempat mulai berbelok, daratan menunjukkan kepada kita kerajaan Priaman. Priaman di satu sisi dibatasi oleh Andalas dan di sisi lain oleh Tico, dan di pedalaman oleh Menangkabau. Ini adalah kerajaan kafir dan rajanya adalah kafir.
Tiga kerajaan bergabung bersama di sini di pantai ini, yaitu Priaman, Tico dan Panfur atau Panchur atau Baros. Semua ini kaya, dan orang-orang Gujarat datang ke sini setiap tahun dengan satu, atau dua atau tiga kapal, membawa barang dagangan. Mereka membuangnya dan mengambil kembali [beban] mereka seperti yang akan diberitahukan setelah kita selesai membicarakan ketiga kerajaan ini. Kerajaan Priaman mempunyai banyak kuda yang mereka datangi dan jual terus menerus di Kerajaan Sunda.
Negeri Priaman ini kaya akan emas, ligna gaharu apotek, dua jenis kapur barus, kemenyan, sutra, lilin, madu; ia memiliki banyak bahan makanan untuk tanahnya sendiri; ia melakukan perdagangan besar dengan tanah Sunda.
Kerajaan Tico (Tiquo) bergabung dengan Priaman di satu sisi dan di sisi lain bergabung dengan tanah dan kerajaan Panchur; di pedalaman bergabung dengan tanah Menangkabau. Mereka mengatakan bahwa raja adalah seorang kafir, dan yang lain mengatakan bahwa dia adalah seorang Moor.
[Kerajaan] ini mempunyai barang dagangan yang kami sebutkan untuk Priaman, yang juga dimiliki oleh Pansur (?). Kerajaan ini berpenduduk banyak dan melakukan perdagangan besar dengan orang Gujarat.
Sekarang menjadi tanggung jawab kita untuk berbicara tentang kerajaan Baros yang sangat kaya, yang juga disebut Panchur atau Pansur. Orang Gujarat menyebutnya, “Kerajaan itu Panchur” dan begitu pula orang Persia, Arab, Kling, Benggala, Baros dll. Sumatera menyebutnya Baros (Baruus). Itu semua satu kerajaan, bukan (Barus)'. dua. Dibatasi oleh Tico di satu sisi dan di sisi lain dengan tanah kerajaan Singkel; di pedalaman ada hubungannya dengan Menangkabau, dan di depannya, di laut, ada pulau Nias (Minhac Barras), yang akan kita bicarakan.
Kerajaan ini memimpin perdagangan barang-barang ini di seluruh pulau Sumatra, karena inilah pelabuhan yang dilalui emas, sutra, kemenyan, kapur barus dalam jumlah banyak, lignalo apotek, lilin, madu, dan lain-lain. hal-hal lain di mana kerajaan ini lebih berlimpah daripada hal-hal lain yang dijelaskan sampai sekarang. Benzoin dari Baros, Tico dan Priaman banyak terdapat di Pulau Sumatera dan berwarna sangat putih.
Ketiga kerajaan yang telah kami uraikan ini, yaitu Panchur, Tico, dan Priaman, merupakan kunci menuju tanah Menangkabau, baik karena berkerabat, maupun karena memiliki pantai laut, sehingga orang-orang Gujarat datang ke sana setiap tahun dan melakukan perdagangan yang hebat; dan semua barang dagangan dikumpulkan di kerajaan-kerajaan ini dan mereka melakukan perdagangan dengan orang-orang Gujarat tersebut.
Satu, dua atau tiga kapal datang setiap tahun; mereka menjual semua pakaian mereka, dan memperoleh banyak emas dan sutra, banyak benzoin, banyak lignaloe, dua jenis kamper – banyak jenis yang dapat dimakan – banyak lilin, banyak madu. Orang-orang Gujarat membuang semua barang dagangan ini karena merupakan barang-barang yang dikonsumsi di dalam negeri, dan jumlah penduduknya banyak, dan dari sana barang dagangan tersebut mengalir ke Sunda dan ke Kepulauan Maidive {Diua), — karena Kepulauan Maidive mencapai seberang Sunda , dan menyusuri seluruh Sumatera di sisi barat sampai ke Gamispola dan sampai Cannanore, dan dari bagian ini mereka pergi ke Kepulauan Maidive dalam lima hari, menurut pernyataan para pedagang yang berlayar dari Maladewa { ?)
Jadi, setelah melakukan perdagangan, orang-orang Gujarat kembali dalam keadaan kaya, dan mereka berjualan dan berdagang sesuka mereka. Para kapten kapal mengatakan bahwa rute dari Baros ke Sunda tidak terlalu bersih, dan sampai ke Baros semuanya bersih di dekat daratan. Saya pergi ke belakang pulau ini sejauh lima belas liga, dan di dekat daratan kami menemukan dua puluh lima depa.”
Begitu yang ditulis Tome Pires.
Tidak heran, apabila Kota Pariaman memenuhi aspek arsitektur tata kota moderen, sekalipun mulai banyak bagian kota yang dihancurkan dan dihilangkan sejarahnya, seperti Kampung Nias, Kuburan Belanda dan termasuk arsitektur India, Arab, Tionghoa dan Jepang. Bahkan arsitektur Kota Pariaman jauh lebih maju daripada Kota Padang yang hanyalah sebagai “Kota Bandar” atau “Kota Pasar”. Masyarakat Kota Pariaman sudah lama menjadi bagian dari masyarakat kota, dibandingkan dengan masyarakat Kota Padang yang hanya menjadi masyarakat pasar.
Sekitar 18 tarekat agama Islam hidup di Kota Pariaman. Hanya saja, model pembangunan yang sama sekali tanpa berwawasan sejarah, membuat kota kecil yang indah ini – semacam Venesia from The Sumatera – dengan aliran sungai, pelabuhan, serta pulau-pulaunya yang mudah dijangkau, telah menghilangkan wajah asli kota ini sebagai model terbaik yang hadir di Timur. Bekas anyaman berbagai kebudayaan dunia menjadi hilang, dimakan keserakahan para penguasa yang hanya sekadar membangun guna mendapatkan anggaran sesaat.
Salah satu kehilangan itu adalah digantikannya Tugu Layar dengan Tugu Tabuik di pusat Kota Pariaman. Padahal, tatkala Tugu Layar itu masih berdiri, terdapat kalimat indah yang diukir di layar itu, yakni:
“Panakiak pisau sirauik, ambiak galah batang lintabuang, silodang ambiak ka niru; nan satitiak jadikan lauik; nan sakapa jadikan gunuang; alam takambang jadikan guru.”
(Penekuk pisau siraut <pisau tajam>, ambil galah <tongkat panjang> batang lintabung <sejenis tumbuhan penadah air>, silodang <pelepah sagu atau kelapa> ambil ke niru <tempat menampi beras>; setitik jadikan laut, sekepal jadikan gunung, alam terkembang jadikan guru).
Padahal, kalimat indah itulah yang terpatri dalam setiap dada pelajar-pelajar asal Kota Pariaman, ketika merantau guna mencari ilmu. Dari kalimat itu, lahir berbagai generasi emas asal Pariaman yang menjadi tokoh-tokoh nasional, baik di bidang pendidikan, kedokteran, hukum, bisnis, kelautan, agama, hingga politik dan pemerintahan. Hilangnya Tugu Layar adalah salah satu titik nadir dari “Robohnya Piaman Kami”, ketika sejumlah simbol baru diusung, tanpa pengetahuan yang cukup.
Tulisan singkat ini tentu tidak ingin masuk terlalu dalam. Jika hendak menjadikan Kota Pariaman sebagai Kota Pelabuhan yang benar-benar eksotik, sekalipun mungil – hanya 1/12 dari Kabupaten Padang Pariaman --, kembalikan kota ini sebagai kota yang penuh dengan sejarah, budaya, hingga keanekaragaman suku bangsa.
Jakarta, 2 Juli 2024 oleh Indra J Piliang