Oleh Indra J PiliangFoto: ilustrasi/istimewa/internet
Hampir satu jam. Aku masih mengutak-atik judul yang tepat untuk artikel ini. Sambil menulis catatan sketsa dalam buku. Kususun kronologis peristiwa. Kumasukkan tanggal, bulan, dan tahun. Nama dan tempat.
Tak berhasil menulis judul, aku langsung mengetik. Judul baru bersua setelah subuh.
355 tahun lalu. 30 Agustus 1666 hingga 30 September 1666. Hanya makan waktu sebulan, Kota Pariaman takluk ke tangan pasukan Kapitan Jonker dan Arung Palakka.
Pasukan Jonker dikenal hanya bercelana pendek. Bersenjata parang besar, seperti sering terlihat dipakai Kapitan Pattimura dalam buku sejarah anak-anak sekolah. Pelindung badan berupa perisai.
Berhubungan atau tidak, pasukan infanteri paling ditakuti Napoleon Bonaparte ketika meluluh-lantak Eropa 150 tahun kemudian, juga bercelana pendek.
Perang berdarah antara VOC Belanda menghadapi orang Pariaman sudah berlangsung empat bulan.
Dari 200 orang perwira dan serdadu ekspedisi VOC yang menyerbu Pariaman pada April 1666, hanya 70 orang yang kembali ke Batavia dalam keadaan hidup dan luka. 130 orang tewas, baik dalam area peperangan, atau luka yang tak sembuh.
Lima tahun luntang-lantung sebagai budak VOC di Batavia, membuat hubungan Ahmad Sangaji dari Pulau Seram (Barat) dan Arung Palakka dari Soppeng (Bone) berubah menjadi persahabatan. Putaran abad lebih memilih nama Kapitan Jonker, ketimbang Ahmad Sangaji.
Sangaji menerima panggilan Kapitan Jonker, bukan dari sertifikat kepangkatan yang dikeluarkan VOC. Kapitan adalah panggilan dari pengikut Sangaji yangg mayoritas Kristen. Jonker adalah sebutan Belanda terhadap anak muda Muslim asal pulau penuh rempah itu.
Perang Jonker – Palakka di Kota Pariaman tercatat sebagai metode penggunaan pasukan boemi poetra pertama bagi VOC dalam penaklukan Sumatera. Area kekuasaan yang semakin meluas membuat konglomerat penguasa VOC kian bernafsu merekrut suku-suku laut, pulau dan pesisir Nusantara lain.
Bertahun aku menelusuri sosok bernama Kapitan Jonker ini. Jauh melebihi rasa hausku atas sosok Arung Palakka. Duet Jonker Sangaji dan Arung Palakka inilah yang menjatuhkan mentalitas pasukan terlatih Kota Pariaman. Pasukan bayaran VOC asal Eropa berhasil dikalahkan sekali tekuk. Gabungan strategi perang kota dan perang gerilya yang digunakan tentara Pariaman memicu kengerian serdadu-serdadu Eropa.
150 tahun sebelum Jonker – Palakka berperang di kota kelahiranku itu, Tome Pires sudah mencatat kedudukan strategis Pariaman. Tahun 1513, Pires menyebut Pariaman – Tiku – Barus sebagai segitiga emas pantai barat Sumatera. Persentuhan yang terus-menerus orang Pariaman dengan orang-orang berkulit putih yang turun dari kapal-kapal layar sudah berlangsung lama.
Sebagai kota pelabuhan, Pariaman dipimpin seorang Kepala Syahbandar yang dipilih pedagang secara egaliter. Pasukan yang mempertahankan benteng dan gerbang kota, juga terdiri dari beragam suku bangsa dan negara.
Kesulitan VOC menundukan Kota Pariaman patut ditelisik.
Saudagar-saudagar Kota Pariaman punya dana melimpah guna membeli senjata dari Kekhalifahan Utsmaniah. Tentu dengan cara merekrut, melatih, sampai menggaji pasukan.
Kota Pariaman punya benteng alam, berupa pulau-pulau kecil yang dekat dengan pantai. Keberadaan Pulau Kasiak, Pulau Tangah, dan Pulau Angso Duo itu, mampu menjadi mata dan telinga Kepala Syahbandar.
Para pelaut terlatih bakal menditeksi keberadaan kapal atau perahu yang datang dengan maksud tidak baik.
Sapuan ombak pantai Pariaman sudah beberapa kali membuat rusak, bahkan menenggelamkan kapal yang hendak merapat.
Jenis perahu yang digunakan di laut Pariaman berbeda dibandingkan Selat Malaka, Laut Jawa, sampai Laut banda. Hanya lunas yang terbuat dari Kayu hitam asal Kepulauan Mentawai yang sekuat besi yang bisa tahan hadapi hempasan ombak.
Kenapa butuh waktu sebulan bagi Jonker – Palakka untuk tiba di gerbang Kota Pariaman?
VOC membangun garnizun di Pulau Cingkuak, Pesisir Selatan. Perjalanan menelusuri pinggiran pantai ke arah Kota Padang menempuh jalan yang sulit. Berbatu, berbukit, berhutan tropis.
Tak banyak kesulitan bagi pasukan Jonker – Palakka berhadapan dengan hadangan pasukan tak terlatih yang menghuni pos-pos sepanjang pesisir.
Bahkan Kota Padang tak mencatatkan perlawanan yang sengit. Padang masa itu hanya lokasi pasar dan halaman belakang bagi warga Kota Pariaman yang tak terlatih berhadapan dengan saudagar-saudagar berbagai suku bangsa.
Sejumlah buku yang kubaca, terlihat sangat tak akurat soal ini.
Mana yang Padang, mana pula Pariaman, tak jelas. Aku tak mau menyebut penulis buku-buku itu. Bisa saja mereka tak melacak peta zaman digital ini. Apalagi hingga mencari sumber-sumber primer dalam buku harian perwira militer VOC.
Sebelum sampai di Ulakan, tempat Palakka diberi gelar kehormatan, terdapat sejumlah sungai besar. Sambutan siriah di carano yang diberikan kepada Palakka dan Sangaji di Ulakan tak terlepas dari posisi Ulakan sebagai ‘Makkah al-Mukarramah-nya umat Islam Minangkabau. Padang Panjang adalah ‘Madinah al-Munnawarah-nya. Ulakan dihuni oleh klan-suku Bodi – Chaniago, Datuk Perpatih Nan Sebatang.
Tesis Ajo Suryadi di Universitas Leiden yang berbahasa Indonesia berjudul “Syair Sunur: Teks dan Konteks Otobiografi Seorang Ulama Minangkabau Abad ke-19” kental menunjukkan itu. Manuskrip berbahasa Arab itu ditulis Syech Daud, ulama yang berpondok di Ulakan.
Jonker adalah pangeran asal Pulau Seram yang taat beribadah. Kawasan Kepulauan Maluku dihuni sejumlah kesultanan besar yang mampu menundukkan bangsa-bangsa Eropa. Seganas apapun teknis peperangan yang dilakukan pasukan Jonker, tak bakal menumpahkan darah di area yang dipenuhi peziarah.
Ulakan bukan saja pintu masuk Islam ke pedalaman Minangkabau, tetapi juga mengirimkan syekh, tuanku, dan pakiah ke pulau-pulau di timur Nusantara itu guna mengajarkan teologi anti kekerasan dalam Islam. (***)