Foto: Nanda |
Menurutnya, penangkapan terduga teroris di Sumatera Barat bukanlah pertama kali. Kurun waktu kurang dari satu tahun, pada Agustus 2018, Densus 88 juga menangkap 5 orang warga terkait dugaan terorisme di Sumatera Barat.
"Karena selama ini wilayah Sumatera Barat tergolong wilayah aman. Namun dengan gejolak dan gelaja yang ada, kita tidak bisa menampik bahwa ada sebahagian kecil ada masyarakat yang ingin keamanan negara ini terganggu. Ada yang terpapar dengan paham radikal," katanya saat rembuk aparatur kelurahan dan desa tentang literasi informasi melalui Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Sumatera Barat, Kamis (25/7).
Ia mengatakan jika penanganan teroris tidak bisa dilakukan hanya oleh aparat keamanan saja. Dibutuhkan dukungan aparatur desa/kelurahan dan masyarakat guna mereduksi penyebaran paham yang mendorong kejahatan teroris.
"Untuk itu BNPT dan FKPT melakukan rembuk aparatur kelurahan dan desa tentang literasi informasi melalui FKPT Sumatera Barat, dengan melibatkan kepada desa, lurah, babinsa TNI dan bhabinkamtibas diwilayah Kota Pariaman. Dengan kegiatan itu, aparatur desa mengenali radikalisme, terorisme dan dapat melakukan deteksi dini," tandasnya.
Sementara itu, Sekretaris Lembaga Kerapatan Adat Nagari (LKAM) Kota Pariaman, Priyaldi menilai salah satu kearifan lokal di Kota Pariaman yang dikenal dengan istilah "Yang Ditinggai Mamak dan Ditapati Mamak", efentif untuk mencegah penyebaran paham radikal.
Pesatnya perkembangan perumahan di Kota Pariaman, menambah warga baru. Ada juga yang berasal dari luar Kota Pariaman. Dengan kearifan lokal tersebut, warga pendatang bergabung menjadi warga di lingkungan setempat sehingga mudah diawasi.
"Pendatang bisa "malakok" menjadi kaum daerah setempat. Dengan terbangunnya hubungan kekeluargaan tersebut, warga yang dulunya pendatang dapat terawasi dengan baik. Selain itu sebagai anggota kaum, dapat dibina," pungkasnya. (Nanda)