Foto: Nanda |
Jika dahulu calon anggota kelompok teroris yang ingin bergabung harus melalui proses berbaiat kepada pemimpin Al-Qaeda dengan cara berhadapan langsung. Namun seiring perkembangan teknologi, hal itu juga mengalami perubahan.
Kepala Subdirektorat (Kasubdit) Kontra Propraganda BNPT RI, Kolonel Pas. Sujatmiko menyebut, untuk menjadi bagian dari kelompok teroris bisa melalui media sosial. Ini memudahkan seseorang berbagung dengan kelompok teroris.
"Mereka bisa bergabung melalui media sosial. Proses yang seperti ini akan sulit dideteksi. Banyak bukti-bukti yang menunjukkan metode baiat melalui media sosial ini," katanya saat rembuk aparatur kelurahan dan desa tentang literasi informasi melalui (FKPT) Sumatera Barat di Pariaman, Kamis (25/7).
Selain itu, penyebaran paham radikal juga masih dilakukan melalui media sosial. Pemerintah mendeteksi lebih dari 300 Whats App Grup (WAG) dan Telegram berisikan konten radikal, yang berasal dari dalam dan luar negeri.
"Dengan penyebaran konten seperti ini, kita harus bijak memilih dan memilah. Menyaring sebelum membagikan konten. Jika ada yang bermuatan radikal, laporkan ke kami (BNPT RI)," lanjut dia.
Dipaparkan Sujatmiko, perkembangan radikalisme dan terorisme secara kuantitas aksi terorisme di Indonesia mengalami penurunan, namun secara kualitas meningkat karena terkait dengan pemahaman.
Dilanjutkannya, radikalisme pada tahap pemahaman belum dapat tersentuh hukum. Terorisme barawal dari paham intoleransi sehingga menimbulkan radikalisme.
"Radikalisme yang dimaksud adalah paham yang anti Pancasila, menganut paham takfiri, anti kebhinekaan dan menyebabkan disintegrasi," tandasnya. (Nanda)