Ilustrasi Pileg 2019. Foto/istimewa/internet |
Partai Garuda mengajukan 16 orang bacaleg yang ditempatkan di tiga daerah pemilihan (dapil) Kota Pariaman. 6 orang bacaleg pada daerah pemilihan Kota Pariaman I, 5 orang bacaleg pada dapil II, dan 5 orang bacaleg pada dapil III.
Sedangkan PDI Perjuangan mengajukan 15 bacaleg. Masing-masing, 7 orang bacaleg pada dapil Kota Pariaman I, 5 bacaleg pada dapil II, dan 3 orang bacaleg pada dapil III.
Sementara Partai Berkarya mengajukan 11 orang bacaleg yang terdiri dari 6 orang bacaleg pada dapil Kota Pariaman I, 2 orang bacaleg pada dapil II, dan 3 orang bacaleg pada dapil III.
Lalu, PKPI mengajukan 19 bacaleg. Dari 19 nama, 7 orang bacaleg pada dapil Kota Pariaman I, 5 orang bacaleg pada dapil II, dan 7 orang bacaleg pada dapil III.
Ketua DPC PDI Perjuangan Yusrizal menyebut, PDI Perjuangan awalnya telah memiliki 20 orang bacaleg untuk diajukan. Namun, jelang pengajuan ke KPU Kota Pariaman, beberapa nama bacaleg menyatakan mengundurkan diri dari PDI Perjuangan, dan mencalon dari partai lain.
Padahal, kata dia, nama bacaleg telah diajukan ke DPP PDI Perjuangan. Ia mengatakan, motivasi masyarakat dalam berpartai ikut berpengaruh pada saat pencalonan. Bagi
masyarakat yang memilih bergabung dengan parpol karena idiologi akan menjadi kader yang militan. Sedangkan masyarakat tidak memiliki motif idiologi akan mudah menjadi kutu loncat pada setiap pemilihan.
"Beberapa mengundurkan diri dan mencalon dari partai lain, sehingga bacaleg yang kita ajukan saat ini, betul-betul kader parpol yang militan," kata Yusrizal di Pariaman, Rabu (18/7) melalui sambungan teleponnya.
Lain pula kendala yang dialami Partai Berkarya. Tidak lengkapnya 20 orang bacaleg yang diajukan disebabkan permasalahan internal partai. Ketua DPD Partai Berkarya Kota Pariaman, Azimi Ashidiki menuturkan, pergantian kepengurusan dan dimanika politik di internal partainya menjadi salah satu penyebab kurangnya bacaleg yang diajukan ke KPU Kota Pariaman.
"Mendekati pengajuan ke KPU terjadi dimanika di internal partai. Terjadi pergantian kepengurusan, tentu saja berdampak pada pengajuan bacaleg ini," sebutnya.
Pengamat politik Sumatera Barat, sekaligus dosen jurusan Ilmu Politik Universitas Andalas,
Sadri Chaniago menilai, fenomena sulitnya parpol memenuhi kouta bakal caleg bisa jadi merupakan "sinyal" jika pengkaderan dan fungsi rekrutmen partai politik tidak berjalan dengan baik.
Hal itu, kata dia, berdampak sulitnya mencari kader yang bisa ditempatkan mengisi susunan bacaleg. Tidak berjalannya kaderisasi dengan baik, juga terlihat dari komposisi bacaleg bukan berasal dari kader, namun perekturatan saat musim pemilu saja.
"Bisa jadi ini sinyal jika pengkaderan partai politik tidak berjalan dengan baik. Toh, jika pengkaderan berjalan, stok kader untuk diajukan tentu ada, partai tinggal mengisi dalam susunan bacalegnya saja," kata dia.
Begitu pula dengan keterwakilan perempuan. Kenyataannya, syarat 30 persen keterwakilan perempuan dalam susunan bacaleg yang diajukan parpol masih menjadi kendala yang dialami parpol saat mendaftar ke KPU.
Terkadang, imbuh Sadri, caleg perempuan yang diusung, terkesan sebagai "pelengkap penderitaan", hanya untuk memenuhi syarat kouta 30 persen caleg perempuan. Regulasi yang mewajibkan adanya kouta 30 persen keterwakilan bacaleg perempuan, sulit dipenuhi oleh parpol. Ini juga menandakan pengkaderan perempuan di parpol tidak berjalan
dengan baik.
Berbeda dengan pelaksanaan pemilu periode sebelumnya. Menurutnya, masyarakat yang ingin mencalonkan diri pada pemilu 2019 sedikit berhati-hati. Tidak asal mencalon saja, namun mulai menilai aspek penting seperti elektabiltas dan ketokohan.
Sadri menyebut, gambaran perolehan kursi parpol DPRD Kota Pariaman sulit diprediksi. Politik yang berlangsung dinamis, dan pemilihnya yang dipengaruhi faktor tradisionalis dan psikologis dalam menentukan pilihan, juga tidak memberikan jaminan bagi calon petahana atau parpol pemenang pemilu kembali meraih hasil yang sama pada pemilu 2019.
"Masyarakat melihat ketokohan calon, sejauhmana calon dekat dengan masyarakat dan berbuat jauh hari sebelum pemilu. "Branding" atau pencitraan pada saat mendekati pemilu, tidak begitu berpengaruh terhadap pemilih," pungkasnya. (Nanda)