Oleh Asrul Khairi |
Jumlah kalkulasi anggaran yang harus dibayarkan sebesar Rp35,7 triliun, jauh melambung naik 68,9% dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah Rp17,9 triliun.
Selaras dengan itu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan sigap menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 903/3387/SJ tertanggal 30 Mei 2018.
Terbitnya sepucuk surat sakti Kemendagri, dinilai banyak pihak berpotensi besar menimbulkan kegaduhan APBD. Penerbitan SE yang bersifat segera tersebut ditujukan kepada walikota/bupati di seluruh Indonesia dengan muatan perintah pembayaran THR dan gaji ke-13 dibebankan langsung pada APBD masing-masing daerah.
Kontan saja dengan beban tambahan yang menunggangi APBD di tengah jalan memberikan efek kejut yang sangat luar biasa bagi rasionalisasi anggaran daerah. Seperti memotong jalur, SE Kemendagri pelak saja membuat bertumbuh-tambahnya anggaran belanja pegawai.
Viralnya SE Kemendagri ini mendapat berbagai corak tanggapan dari masyarakat, maupun netizen di jejaringan sosial. Menurut mereka, rata-rat Pemerintah Daerah sudah sangat tinggi mengakomodir belanja pegawai, hal ini bisa diintip dari post APBD anggaran belanja Pegawai berada di kisaran 60 persen-an, ditambah lagi beban baru APBD untuk THR + Gaji 13. Wallahu’alam bisawab.
Sebut saja Kabupaten Padangpariaman, di tahun 2017 APBD Kabupaten Padangpariaman Rp1,4 triliun. Kalau kita intip BPS sumber data dari Badan Kepegawaian daerah (BKD) Padangpariaman, jumlah ASN dalam lingkungan Pemerintah Kabupaten Padangpariaman mencapai 7.858 ribu orang, belum termasuk tenaga honorer ditambah anggota DPRD beserta pimpimnannya. Dengan jumlah angka sebanyak itu kita yakin dan percaya pemerintah daerah harus putar otak untuk merealisasikan pembayaran dana tersebut (THR + Gaji 13).
Sekarang bagaimana nasip kabupaten/kota yang APBD-nya rentan devisit?
Sesuai dengan intruksi Mendagri Tjahjo Kumolo, untuk mengupayakan perealisasian pembayaran Pemerintah Daerah diperkenankan menggeser anggaran kegiatan yang sudah fix tanpa harus menyesuaikan nomenklatur. Hal ini diyakini memicu munculnya persoalan baru di daerah.
Tentu saja imbas dari pergeseran kegiatan tersebut tercoretnya anggran kegaiatn lain yang seyogyanya dari awal sudah masuk dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
Sungguh disayangkan, ketika sebuah kegiatan sudah masuk pada tahap pra-realisai harus disurutkan kembali.
Sudah lazim di negara kita, terkadang proses kegaiatan untuk sampai mendapat mata anggaran menelan waktu yang sangat panjang. Mulai dari proses identifikasi, usulan yang berjenjang dari bawah berjuang masuk daftar tunggu-hingga menuju prioritas kegiatan-setelah itu baru sampai pada realisasi mata anggaran.
Bongkar muat kegiatan APBD di tengah jalan ini tentu tidak segampang yang kita bayangkan seperti bongkar muat barang di pelabuhan kargo. Ekspektasi publik tentu saja kepala daerah dituntut konsistensinya untuk mempertaruhkan visi pembangunan kabupaten/kota.
Sekarang, tentu kepala daerah berserta jajarannya sibuk mengotak atik ulang anggaran kegiatan. Perlu diingat, kalau tidak hati-hati dalam penggeseran mata anggaran, sang kepala daerah dan pimpinan bisa dianggap sebagai aktor penyalahgunaan anggaran. Tentu bisa berdampak tragis terhadap penerapan undang-undang Tipikor KPK nomor 31 tahun 2001, pasal 3 dan 8 tentang keuangan negara.
Pada dasarnya kita sepakat, bahkan sangat mengapresiasi perhatian pemerintah pusat terhadap peningkatan kesejahteraan pegawai melalui THR + Gaji ke-13. Namun perhatian yang berlebih ini kita harapkan tidak menjadi cinta buta.
Mesti harus mempertimbangkan dampak rasionalisasi yang tinggi. Dan terakhir tentu saja setiap rencana itu mesti ada kajian dari awal, tidak semerta-merta datang menyeruduk menjadi beban bagi yang ditumpanginya.