Kopi double espresso. Foto/istimewa/internet |
Kafein kapsul yang saya beli di internet sudah lama habis. Kata orang kafein farmasi jauh lebih halus daripada kopi: zatnya. Bikin bertenaga tapi tak dapat aroma dan rasa. Kopi minuman kadang bikin badan saya lekas panas. Di usia empat puluhan, kondisi badan tentu tak sekuat dulu. Pernah beberapa kali pembuluh darah halus di hidung saya pecah mengeluarkan darah saking tingginya suhu badan oleh konsumsi kopi yang tak terkendalikan.
Sejak itu, saya coba hindarkan kafein dosis tinggi yang ada di kopi dan kapsul: beralih ke teh saja. Di saat kecemasan akan darah kembali keluar dari hidung hilang, saya biasanya kembali meminum kopi, keluar darah lagi, berhenti. Siklus itu berlangsung hingga kini.
Di sepanjang jalan di sekitaran Pantai Gandoriah bak pasar saja. Kendaraan yang lewat: mobil dan sepeda motor simpang siur, macet, usai tarawihan. Kawula muda memadati taman Tugu Asean, sebagian lagi hinggap di cafe-cafe ala Pulau Dewata. Pemandangan seperti ini kontras betul dengan Gandoriah empat tahun yang lalu. Pariwisata era Mukhlis-Genius tak terbantah maju pesat: hanya dalam empat tahun terakhir.
Kata si juru parkir, hingga ke ujung Pantai Kata, nyaris sama ramainya. Orang-orang pada merelakskan diri di cafe-cafe yang tumbuh bak cendawan di musim hujan seiring ramainya pantai Pariaman. Nuansa pantai selalu indah di malam hari.
Saya memarkirkan kendaraan di depan kedai kopi bernama Espresso Cafe, masuk ke dalam, memesan double espresso kesukaan saya. Saya minta dibungkus saja buat dibawa pulang menemani tontonan sinema di laptop. Film-film tersebut saya minta seorang teman mengunduhnya karena koneksi internet di tempatnya begitu cepat. Ia pakai indihome berbayar Rp600 ribu perbulan. Untuk mendownload sembilan film, tidak sampai dua jam saja.
Film barat terkini dan peratingan tertinggi Internet Movie Database biasa disingkat IMDb itu, kini bersarang dalam hardisk 160 GB Transcend. Situs IMDb rujukan bagi saya mencari film-film berkualitas sepanjang masa. Kecondongan saya akan film berdasarkan kisah nyata, dipermudah oleh beberapa situs internet unduhan gratis yang hingga kini terus berusaha diblokir oleh pemerintah. Kadang film tersebut produksi era tahuan 50-an semacam film 12 Angry Man yang dibintangi Henry Fonda. Film keluaran 1957 itu berisi dialog 12 juri di pengadilan Amerika yang akhirnya membebaskan tersangka pembunuh (pemuda kulit hitam) yang nyatanya memang dikriminalisasi. Dialog-dialog cerdas oleh 12 aktor kawakan di film itu, diganjar rating 8,9 oleh IMDb.
Cafe expresso malam itu ramai betul. Untunglah saya agak didahulukan, hingga lekas pulang ke rumah. Tiada tanda-tanda hujan di malam itu sebagaimana malam sebelumnya. Puasa tahun ini memang bermandikan hujan. Penjual pabukoan es-es-an berkeluh, pedagang pakaian kaki lima anjaksana anjaksini oleh hujan yang tiap sebentar teduh dan turun kembali. Acap kena pacak, lembablah pakaian dalam hanger mereka.
Ada kebanggaan besar dalam diri saya melihat ramainya aktivitas di sepanjang Pantai Pariaman saat malam itu. Bersurut era 90 dan awal 2000-an silam, sepanjang pantai tersebut dikenal miring. Apalagi malam harinya: tempat orang berjoget berteman inex, sabu, bercampur menghisap ganja sambil minum miras. Perempuan jalang bergabung pula.
Siang hari pun suram oleh stigma 'pondok baremohnya' yang akhirnya dirusak massa usai gempa besar berkesinambungan sepanjang 2006 hingga 2009.
Kini, 'pondok baremoh' itu telah disulap menjadi taman-taman. Tempat kawula muda dan keluarga berkumpul. Di sana kini rindang, hijau. Taman-taman ikonik dan arena bermain bikinan pemerintah, tak berbayar menikmatinya. Begitulah dahsyatnya evolusi wisata di sepanjang Pantai Pariaman saat ini. Rasanya, wajiblah kita bersyukur: kepada Tuhan, kepada pemerintah dan kepada masyarakat----yang tertolong ekonominya---dalam menjaga apa yang telah ada saat ini. Bersyukur pula tak ada tempat untuk mabok di sana. Mencari sebotol bir di cafe di sepanjang Pantai Pariaman saat ini sama dengan mencari ketiak ular.
Kemarin pewarta melaporkan banyak cafe-cafe di Pariaman bertemakan wisata menyuguhkan paket berbuka puasa. Cafe-cafe itu dilaporkan selalu ramai karena mampu menyuguhkan menu-menu enak dengan penamaan yang kreatif. Anak-anak muda hobi betul berbuka di sana sehingga tiga puluh menit jelang waktu berbuka, seluruh cafe-cafe tersebut tak menerima orang lagi karena semua tempat telah diduduki.
Kabar tersebut disebarkan melalui media siber, viral, dan membuat pembaca di rantau penasaran. Nama-nama cafe itu mereka catat untuk disinggahi saat lebaran. Itu selentingan kabar umpan balik yang saya baca di media sosial. Oh, tentu saja Pariaman bertambah ramai oleh perantau saat lebaran nanti. Lebaran adalah ajang 'pulang kampuang' rutin bagi suku Minang, apalagi 'Rang Piaman' di perantauan. Ihwal itu, sama sahihnya dengan terbitnya matahari di timur tenggelam di barat.
Kadang terpikir oleh saya: tiba-tiba orang Pariaman menjadi begitu kreatif. Saya perhatikan, dari puluhan cafe yang ada, coraknya berbeda-beda. Unik-unik dan mencengangkan. Mereka punya mesin penyeduh kopi yang tak kalah bagus dengan milik cafe-cafe di bandara Soekarno-Hatta. Dari mana mereka dapat ide membuatnya, hingga nyaris---pergi ke cafe di Pariaman---menyerupai cafe-cafe di Bali.
Terpikir juga oleh saya ada fasilitas ojek aplikasi ada di Pariaman guna memudahkan orang rumahan seperti saya memesan kopi dan beragam menu di cafe-cafe tersebut. Saya yakin hal itu akan terwujud dalam rentang beberapa tahun ke depan meski di awal ketibaannya nanti akan banyak ditentang. (OLP)