Suasana buka puasa hari pertama di salah satu rumah warga di bilangan Jati Hilir Pariaman. Foto: OLP |
Sehabis tarawihan sebagian dari jamaah itu berkumpul di warung. Teh telor ia pesan. Sarapan wajib penambah stamina yang tak sempat ia konsumsi pagi, ia balaskan selepas tarawih. Kepulan asap rokok ke mana-mana. Di luar kedai, para bocah juga terlihat riang. Sebaya, mereka bermain-main. Suasana malam itu menghadirkan nuansa ceria khasnya Ramadhan.
Terdengar seorang bocah laki-laki kisaran umur 7 tahun minta uang jajan kepada ayahnya yang kebetulan duduk di samping saya. "Lanjo wak Yah (jajanan saya Ayah)," sang Ayah merogoh saku memberi Rp3 ribu kepada anaknya. Si anak yang cerdik menyela. "Lanjo pagi?" Si Ayah geleng-geleng kepala, mengambil kembali Rp3 ribu tadi menggantinya dengan satu lembar Rp5 ribu. Si anak bergegas pergi dengan gembira.
Ihwal penuhnya masjid dan musala di awal Ramadhan di Pariaman oleh para jamaah, tak ingin saya menyebutnya tradisi. Dari pengamatan saya tahun ke tahun, makin ke ujung Ramadhan rumah ibadah makin sepi---lalu tinggal kalangan tua bin uzur saja yang hadir menunaikan ibadah salat tarawih. Saya menyebutnya "mereka para jamaah tetap masjid dan musala di hari-hari biasa."
Jatuhnya 1 Ramadhan 1439 Hijriyah di Pariaman dengan Padangpariaman serupa tapi tak sama. Pariaman nyaris 100 persen Muhammadiyah dan mulai puasa sejak Kamis (17/5) sebagaimana ketetapan pemerintah pusat. Sedangkan warga Padangpariaman (sebagian) Jamaah Tarekat Syattariyah mengawali 1 Ramadhan pada Jumat (18/5). Lain lagi Jamaah Tarekat Naqsabandiyah di Padang yang lebih dulu lagi pada Selasa (15/5) dan telah melaksanakan salat tarawih sejak Senin (14/5) malam. Jamaah Tarekat Naqsabandiyah yang lebih dulu berpuasa dipastikan pula akan berhari raya di saat mayoritas masih menjalankan puasa.
Selama bulan suci Ramadhan di Pariaman dan Padangpariaman ada dua fenomena yang telah membudaya di tengah masyarakat. Paling dinanti-nanti tentunya. Ia adalah "Asmara Subuh" selepas sahur dan berburu takjil menjelang masuknya waktu buka puasa di "Pasar Pabukoan."
"Asmara Subuh" secara harfiah merupakan kegiatan yang dilaksanakan tanpa koordinir oleh warga Pariaman--khususnya kalangan muda---selepas salat subuh di masjid atau musala. Sepanjang Pantai Pariaman akan dipenuhi oleh warga. Mereka umumnya berjalan kaki dari masjid dan musala masing-masing ke pantai-pantai menghirup segarnya udara pagi. Terapi gratis menyehatkan bagi jantung dan paru-paru, tentunya.
Di pantai-pantai akan terlihat pemandangan di mana perangkat salat seperti sarung dan peci masih dikenakan oleh para pria sebagaimana mukena oleh para wanita. Pemandangan tersebut menciptakan nuansa religi. Momen seperti ini menghadirkan nuansa memoritis yang akan selalu indah untuk dikenang.
Berburu takjil di Pasa Pabukoan di Pariaman dan Padangpariaman tak kalah seru. Pasar Pabukoan selalu ramai bahkan di saat krisis moneter 1998 sekalipun. Pasar Pabukoan Pariaman dan Pasar Pabukoan Kuraitaji yang legendaris, makin macet jelang masuknya waktu berbuka.
Segala menu berbuka puasa dengan harga murah tersedia di sana. Mulai dari gulai-menggulai, samba-menyamba, hingga aneka menu pelega buka puasa seperti es kelapa muda, jus aneka buah, sala lauak/sala bulek, dll. Tak jarang pula menu sahur sekaligus dibeli saat itu. Yah! Piaman memang sumber dari sekalian makanan yang lezat-lezat (setingkat di atas enak).
Di Pasar Pabukoan Pariaman, seorang ibu muda terlihat menjinjing kantong plastik besar berwarna hitam. Agaknya penuh setengahnya. Ia gantungkan di candel yang ada di bawah stang sepeda motornya. Ia sedang menunggu es kelapa muda yang ia pesan. Saya hadir dalam antrian itu yang kebagian lebih dulu darinya.
Ibu muda berhijab warna krem itu saya ajak bicara. Ia ramah. Penasaran, saya tanyakan apa saja yang ia beli dan habis berapa duit saat itu.
"Tak sampai seratus ribu udah sekalian menu sahur. Tadi saya beli sala (sala lauak) Rp10 ribu, lima jenis menu untuk sambal berbuka sekaligus sahur Rp65 ribu, es kelapa muda, es campur, totalnya keseluruhannya ga sampai Rp100 ribu," ujar ibu dua anak bernama Dina (36) warga Pariaman Tengah itu.
Berhubung masih pukul 17.30 WIB, saya bertolak menuju Pasa Pabukoan Kuraitaji. Pusat kuliner lainnya di Pariaman.
Di Pasar Kuraitaji yang tentu saja kini megah pasca dibangun, tak kalah ramai dengan Pasar Pariaman. Jejeran pedagang kuliner tertata rapi. Tak susah mengakses dari satu lapak ke lapak lainnya. Ihwal rasa, kuliner Kuraitaji tak usah dipertanyakan.
Helen (48) ibu empat anak warga Pariaman Timur memilih belanja pabukoan di Pasar Kuraitaji karena lebih dekat dari rumahnya.
Dari Helen saya tahu betapa beruntungnya membeli sajian daripada memasaknya sendiri. Helen memperlihatkan isi kantong plastik hitam besar yang nyaris penuh. Ada belasan bungkus kantong plastik bening dalam kantong hitam tersebut. Kata Helen, jika ia membuat sendiri apa yang dibelinya (beragam menu) untuk berbuka dan sahur, nominal uang yang diperlukan pasti melebihi dari jumlah yang ia belanjakan.
"Selain menghemat waktu, juga menghemat uang. Soalnya yang kita beli kan beragam. Bahan bakunya juga macam-macam. Jika dibuat, pasti lebih mahal. Ini cara paling praktis, kita tinggal pilih menu sesuai selera, di rumah tinggal menanak nasi," ujarnya.
Tingginya daya beli kuliner oleh masyarakat selama bulan puasa, tentu berkah bagi pedagang di Pasar Pabukoan. Penghasilan menjual aneka pabukoan bisa diandalkan mereka untuk memenuhi kebutuhan selama Ramadhan plus lebaran. Dari sekian jumlah pedagang kuliner yang saya ajak bicara ada yang mengaku meraih keuntungan bersih kisaran Rp300 ribu hingga Rp500 ribu per hari.
"Jika cuaca bagus, omset kita mencapai Rp1 juta lebih. Untung bersih sekitar Rp300 ribuan lah," tutur salah seorang pedagang yang minta namanya ditulis Buyung, di Pasar Pariaman.
Buyung pun mengajak serta anak dan istrinya melayani pembeli di lapaknya. Sebelum pukul 17.00 WIB penjual es buah campur/teler itu, sibuk memasukkan ragam buah ke dalam cup. Dengan begitu ia tinggal memasukan santan dan es, saat dipesan pembeli.
Melihat aktivitas di Pasar Pabukoan saya melihat citra optimisme dari sorot mata para pedagang. Penghasilan mereka selama Ramadhan saya pikir lebih dari cukuplah menyambut datangnya lebaran nanti.
Catatan Oyong Liza Piliang