Sumber foto/konfrontasi.com/istimewa |
Di media sosial bertebaran beragam hujatan. Tautan postingan berbau SARA oleh blog-blog yang punya niat tertentu, menyintas begitu saja di linimasa. Jika kita tidak arif, acap pula terpancing dibuatnya. Bahkan hingga menyebarkan kembali dengan tambahan kalimat bernada provokasi.
Media sosial diciptakan untuk mempermudah semua orang yang disekat oleh ruang dan waktu. Kita bisa bertemu teman lama, berinteraksi dengan keluarga di perantauan dan pelbagai hal yang dianggap penting lainnya.
Sebelum dan awal 2000-an, beragam aplikasi media sosial telah diciptakan. Dulu paling diminati Friendster, Myspace, Yahoo Messengger. Facebook kemudian menggebrak di 2004 dan sudah tidak terbendung lagi sejak 2008.
Selain Facebook adapula media sosial populer Twitter dan Instagram. Perkembangan media sosial seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Jika dahulu internet hanya bisa diakses dengan seperangkat komputer, kini sudah berada dalam genggaman. Smartphone, terbukti sebagai alat komunikasi berbasis internet paling banyak digunakan di seluruh dunia saat ini.
Perkembangan teknologi informasi juga punya banyak dampak sosial. Positifnya terciptanya pasar online di mana semua orang bisa menjadi bos bagi dirinya sendiri. Belajar beragam ilmu pengetahuan, tips dan trik. Saat ini pasar online trennya merangkul dunia. Pasar online dalam negeri saja omsetnya bahkan mampu menggeser pasar-pasar konvensional. Belum lagi bicara pasar online gurita global sekelas Amazon, Ebay, Alibaba, dll.
Sedangkan dampak negatif media sosial juga banyak terhadap kehidupan sosial. Mulai dari membentuk beragam jaringan, seumpama LGBT, terorisme, propaganda politik hingga prostitusi. Kehidupan sosial nyata tak jarang terinfeksi olehnya.
Dampak negatif yang kian besar tersebut tidak sejalan dengan pengawasan dan sumber daya manusia milik negara yang menanganinya. Jadilah media sosial bak hutan belantara yang memiliki hukumnya tersendiri.
Meski pemerintah telah membuat ragam hukum dan aturan untuk membendung hujatan kebencian, penyebar berita bohong, judi dan prostitusi online, terorisme dan radikalisme, untuk menangani pelakunya butuh upaya keras dan teknologi pula. Karena tak jarang para pelaku bersembunyi di balik keanonimannya. Posisinya sulit dilacak karena menggunakan Access Point Name (APN) negara lain.
Dalam kancah politik modern saat ini media sosial merupakan sarana potensial sosialisasi bagi pelaku politik. Beberapa agenda besar politik seperti Pilkada serentak 2018, Pemilu dan Pilpres 2019 ajang eksistensi para pendukung dan partisan.
Agenda politik di media sosial berupa agitasi, propaganda, hingga sarana melumpuhkan lawan politik. Poin terakhir itulah yang memicu perpecahan di antara pendukung dan simpatisan. Mereka saling serang tiap harinya. Tiada hari di linimasa tanpa perang opini oleh berbagai kubu politik yang saling berlawanan. Tak jarang gesekan di dunia maya berlanjut ke dunia nyata.
Fenomena tersebut bukan lagi perkara kecil. Ia merupakan ancaman terbesar bagi negara Indonesia. Bayangkan saat ini saja ada 171 daerah di Indonesia yang akan menghelat pilkada.
Hampir di semua daerah itu menggunakan media sosial sebagai sarana kampanye. Para simpatisan terbagi dalam berbagai kubu. Siapa yang ia dukung, itulah yang dipuji. Sedangkan saingan terberatnya dijelek-jelekan secara terbuka di linimasa. Dari sanalah semua sumber pertikaian dan huru hara politik di era digitalisasi saat ini. (OLP)