APBD/Ilustrasi/istimewa |
"Semua anggota DPRD yang 20 orang itu semuanya menyepakati, semua fraksi menyetujui. Jadi penundaan empat kegiatan tersebut murni dan bulat keputusan DPRD Kota Pariaman," ujar Mardison Mahyuddin di Jakarta saat dihubungi wartawan dari Pariaman, Sabtu (2/12).
Mardison menambahkan, terkait tidak maunya Walikota Pariaman menandatangani pengesahan APBD tahun 2018 pada Kamis malam (30/11) tengat terakhir pengesahan APBD, penilaian sepenuhnya kewenangan gubernur dan kementerian dalam negeri.
"Kita kan punya hierarki pemerintahan. Nanti kan ada tim penilai dari gubernuran, apakah ini kesalahan DPRD atau bukan, biarkan mereka yang memutuskan," sambung Mardison.
Yang jelas, kata Mardison, DPRD berasumsi penangguhan empat kegiatan yang diajukan pihak eksekutif tersebut demi menyelamatkan uang negara dan pejabat daerah dari jeratan hukum.
"Sebelumnya kan sudah kita bilang, untuk pembangunan mesti mempertimbangkan aspek lain, seperti ancaman dampak lingkungan (amdal) untuk pembangunan masjid terapung dan konsep tata ruang untuk pembangunan gedung olahraga bertaraf internasional. Kami tidak mau semua pejabat di Pariaman nantinya terseret hukum di kemudian hari," ungkapnya.
Ia menilai apa yang dilakukan DPRD sudah tepat sebagai lembaga yang mempunyai fungsi pengawasan dan penganggaran terhadap eksekutif.
"Tanpa pengawasan oleh DPRD, pemerintahan akan berjalan seperti kerajaan," sebutnya.
Mardison bahkan mengatakan semua anggota DPRD sudah kompak akan tetap bekerja sebagaimana mestinya meskipun jika pada akhirnya dijatuhkan sanksi tidak menerima hak-hak keuangannya selama enam bulan.
"Ini amanah rakyat yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan gaji. Kita di dewan akan bekerja sebagaimana mestinya," lanjutnya.
Ia menyebut, selama ini apa yang diminta pihak eksekutif selalu dikabulkan dewan. Selama hal tesebut membawa manfaat bagi masyarakat dan sesuai ketentuan hukum, kata Mardison, pihak dewan pasti akan menganggarkannya.
"Apa jadinya nanti jika masjid terapung dibangun terbengkalai, apa jadinya jika gedung olahraga bypass juga terbengkalai sebagaimana gedung olahraga di Rawang. Tentu kami di DPRD mengkaji hal ini, mempertimbangkannya lebih jauh agar semua uang rakyat yang dibelanjakan tidak terbuang sia-sia. Kami bukan anti pembangunan masjid terapung, buktinya kan kita anggarkan tahun lalu, tapi tidak bisa dibangun karena Amdal nya entah kapan siapnya," pungkasnya.
Sebelumnya Walikota Pariaman menolak menandatangani naskah kesepahaman APBD Kota Pariaman tahun 2018 meski telah diteken dua pimpinan DPRD, Mardison Mahyuddin dan Syafinal Akbar.
Mukhlis mengatakan persetujuan terhadap empat kegiatan yang ditolak pada APBD 2018 tersebut telah masuk sebelumnya dalam KUAPPAS sebagai landasan pengesahan APBD.
Ia menilai pembangunan masjid terapung dan stadion olahraga bertaraf internasional, bukan untuk dirinya pribadi, tapi untuk seluruh warga kota Pariaman untuk menunjang sektor pariwisata yang islami dan kemajuan dunia olahraga kota Pariaman.
Ia menyebut, lebih baik dia menerima sanksi tidak menerima gaji selama enam bulan daripada menandatangani APBD yang didalamnya tidak tertumpang amanah rakyat yang berada di pundaknya dan telah tertuang pula dalam visi dan misi walikota-wakil walkota Pariaman periode 2013-2018.
"Padahal KUAPPAS sudah disetujui oleh dewan. Ini tanda tidak konsistennya DPRD. Pembahasan APBD hanya meanjutkan apa yang sudah disetujui dalam KUAPPAS," ungkap Mukhlis saat hendak meninggalkan gedung DPRD Mangguang, Kamis malam itu.
Perihal tidak disetujuinya/molornya pengesahan APBD tingkat kota dan kabupaten beberapa kali pernah terjadi di beberapa daerah. Seperti di kabupaten Merangin, Provinsi Jambi dan kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat yang tak kunjung mengetok palu APBD tahun 2017 lalu.
Bupati Merangin Al Haris, saat itu akhirnya menerbitkan peraturan kepala daerah (perkada) untuk menetapkan APBD 2017. Langkah itu diambilnya karena molornya pembahasan APBD 2017 Pemkab Merangin melebihi jadwal yang telah ditetapkan undang-undang.
Meski pihak pemerintahan di atasnya dalam hal ini provinsi dan kementerian dalam negeri tidak bisa melakukan intervensi terkait pembahasan RAPBD, namun pihak provinsi masih bisa melakukan mediasi terhadap pihak eksekutif dan legislatif.
Jika juga tidak dicapai kesepakatan bersama saat mediasi, maka Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 memberikan opsi pembuatan peraturan kepala daerah atau perkada untuk pengesahan APBD oleh kepala daerah. Jika APBD disahkan melalui perkada, maka nominalnya tidak boleh melebihi dari jumlah nominal APBD yang telah disahkan tahun sebelumnya dan kepala daerah beserta seluruh anggota DPRD tidak menerima hak-hak keuangannya selama enam bulan.
Untuk APBD Kota Pariaman 2018 sebelum diambil langkah pembuatan perkada oleh walikota, masih ada jalan mediasi yang nantinya dilakukan oleh gubernur setelah melakukan evaluasi. Jika mediasi dilakukan, tentu harus ada pihak-pihak yang mesti mengalah demi kepentingan yang lebih besar yakni kelangsungan pembangunan untuk masyarakat Pariaman itu sendiri. Win-win solution akan ditentukan sejauh mana matangnya pihak-pihak yang bertikai mengelola egonya masing-masing. (OLP)