Kinerja mengecewakan pengangkatan camat, merupakan bukti tidak bekerjanya sistem kepegawaian di Padangpariaman. Badan Kepegawaian sebagai organisasi perangkat daerah bekerja jauh dari kata maksimal. Orang-orang berkompetensi tidak terfolowup oleh mereka dengan baik---juga karena banyak faktor---menjadikan Badan Kepegawaian lebih tepat disebut sebagai organisasi perangkat daerah tukang stempel.
Rendahnya penilaian kompetensi oleh Badan Kepegawaian Daerah juga tidak sepenuhnya kesalahan mereka. Unsur politis terlalu kuat bermain di sana. Banyak sekali orang pesanan yang mesti diproses untuk diproyeksikan menduduki jabatan tertentu.
Padangpariaman merupakan salah satu kabupaten terluas di Sumatera Barat. Ada 17 kecamatan yang menyebar hingga ke pelosok paling susah dijamah dan diawasi. Jabatan camat memang sangat strategis dalam pembangunan daerah. Sebagai perpanjangan tangan bupati di daerah, camat dituntut bekerja maksimal di daerah yang ia pimpin. Kinerja camat tidak jauh beda dengan kepala daerah. Ia miniatur kepala daerah di ruang lingkup yang lebih kecil.
Camat selain memastikan pembangunan di wilayahnya berjalan dengan baik dan lancar, juga harus bisa bersinergi dengan perangkat nagari dan unsur kecamatan lainnya. Jabatan camat memerlukan orang-orang yang berdedikasi tinggi, bukan orang-orang bermental pekerja rutin. Seorang camat harus memiliki kepekaan sosial tinggi. Siap mengambil keputusan secara tiba-tiba yang bersifat politis di tingkat kecamatan.
Di era pembangunan terkonsentrasi ke bawah saat ini dimana mengucurnya dana desa, camat seharusnya lebih leluasa berbuat agar kecamatan yang dipimpinnya lebih maju. Meski dana tidak langsung ia yang mengelola, namun secara hierarki pemerintahan ia di posisi puncak di tingkat kecamatan. Akan banyak kerja luar kantor yang mesti ia laksanakan di samping kerja rutin. Koordinasi dan pengawasan perlu ia lakukan. Dan sangat tidak wajar---dengan banyaknya tuntutan pekerjaan itu---nyatanya camat sering tidak masuk kantor. Camat beginian memang mesti harus dicopot tanpa tedeng aling-aling.
Camat sebagai perpanjangtanganan bupati di kecamatan, tidak mesti menunggu perintah dalam setiap pekerjaannya. Ia haruslah orang yang cepat mengambil keputusan. Pintar ke atas dan lebih pintar ke bawah. Jangan menunggu diketok bupati dulu baru bekerja. Camat mesti banyak berbaur dengan masyarakatnya. Ia harus menjadi jembatan bagi dua pihak, satu di pihak rakyat, satu lagi bagi pimpinan.
Jika fungsi itu tidak ada pada para camat, ia orang yang tidak berkompeten menduduki jabatan tersebut. Menuruti semua kata pimpinan juga tidak bagus jika mengindahkan kepentingan masyarakat. Yang terbaik bagi seorang camat, jika ia mampu menyatukan masyarakat dengan pimpinan demi kepentingan umum di wilayah yang ia pimpin. Camat seperti itulah yang paling diidamkan oleh masyarakat. Camat harus mau mendebat atasan jika memang diperlukan untuk kebaikan kedua belah pihak.
Camat-camat yang membuat Ali Mukhni geram sudah pasti para camat yang tidak memenuhi kriteria di atas. Orang-orang demikian---jika Ali Mukhni berharap kinerja camat harus sesuai keinginan---copot saja. Namun keputusan itu tidak menjawab orang-orang penggantinya nanti akan berkinerja lebih baik dari sekarang jika sistem rekruitmen masih berjalan seperti saat ini. Mengganti pejabat dengan "orang coba-coba" akan berbuah kekecewaan di kemudian hari.
Jika kita melihat ke belakang, jenjang karier ASN sudah terlihat tidak sehat di era otonomi daerah saat ini, khususnya sejak pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat yang menumbuhkan kekuatan politik baru di daerah. Power-power politik tersebut membentang dari berbagai lini. Mulai dari tokoh masyarakat berpengaruh, perantau kaya dan jaringan ASN sendiri. Hal tersebut dirasakan sekali di Padangpariaman.
Sebagai kepala daerah, terlalu banyak hutang politik sebelumnya yang harus dibayar dengan posisi penempatan jabatan. Hal ini penyebab nyata yang memiliki wujud yang dapat dilihat kepala daerah secara terang benderang.
Jika kepala daerah menginginkan---tidak hanya camat---perangkat daerah yang bermutu dan yang bisa dihandalkan, ia harus siap dan menerima konsekwensinya. Pilih satu di antara dua: keberhasilan kinerja yang hasilnya bisa dinikmati masyarakat dengan menempatkan orang yang berkompeten di suatu jabatan. Atau menempatkan orang-orang berdasarkan pilihan politik dengan tujuan politik ke depan yang lebih besar.
Dua keputusan tersebut juga perlu dianalisa. Jika pilihannya menempatkan orang-orang berkompeten yang pada akhirnya kinerjanya memuaskan masyarakat, berdampak politis jua pada pimpinannya. Ali Mukhni akan diuntungkan, meski rugi di awal pengangkatan karena tekanan politik, akan menguntungkan di masa depan. Politik rakyat, atau politik akar rumput akan tumbuh subur.
Namun jika memilih secara politis atas dasar hutang budi politik, enak di awal (karena memenuhi hutang politik) tidak mengenakan belakangan, apalagi orang yang dipilih tersebut jauh dari kompetensi yang diinginkan bupati dan masyarakat. Kekecewaan yang dirasakan oleh masyarakat dan bupati oleh kinerja yang buruk, akan berdampak buruk bagi modal politik ke depan. Politik akar rumpuk tidak pernah tumbuh sebagai kekuatan politik di masa depan.
Dua keputusan tersebut tentu ada di tangan Ali Mukhni. Jika ia tegas apa yang tidak bisa ia dilakukan. (OLP)