Foto/Istimewa |
~Perang gagasan, adu program atau diskusi dua arah yang selayaknya terjadi antara kandidat dan calon pemilih berubah jadi ronggengan, raun-raun dan makan-makan.
~Modal ekonomi dapat menjadi prasyarat utama ketika calon itu bukan berasal dari partai yang mencalonkannya.
~Pemberian dukungan kepada kandidat tentunya merupakan hasil lobby elit politik dengan melihat elektabilitas serta isi kantong tas kandidat.
Pemilihan langsung oleh rakyat telah banyak melahirkan pemimpin-pemimpin hebat. Benar-benar bisa diandalkan dan membangun sesuai keinginan rakyatnya. Pemimpin lahir dari selera rakyat itu sendiri. Pemilihan langsung juga mengedukasi masyarakat semakin kritis dari waktu ke waktu.
Pemilihan langsung---meski banyak meninggalkan persoalan---memungkinkan siapun untuk menjadi pemimpin. Dengan modal popularitas, tidak jarang berakhir menduduki kursi bupati, walikota bahkan gubernur/wakil gubernur. Popularitas merupakan modal awal bagi para kandidat untuk maju dalam kontestasi pemilihan langsung.
Nurdin Abdullah, Bupati Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, salah satu contoh sukses pilihan rakyat yang membawa perubahan besar, sama sekali bukan karena pencitraan. Ia menjabat sejak periode 2008-2013 dan 2013-2018. Telah banyak penghargaan skala nasional yang diraihnya selama menjabat.
Nurdin dikenal sebagai sosok pemimpin rendah hati dan dekat dengan rakyat. Setiap warga Bantaeng dapat menemui Nurdin tanpa melalui aturan protokoler yang rumit baik itu di rumah pribadinya atau pun di rumah dinasnya. Warga dapat menyampaikan ide, gagasan atau keluh kesah secara bebas terkait permasalahan yang ada. Warga Bantaeng tidak sulit menemui bupatinya.
Sebelum berkecimpung di dunia poltik, Nurdin dikenal sebagai seorang akademisi yang pernah menempati beberapa jabatan struktural di universitas maupun di sebuah perusahaan. Profesor Nurdin pernah menjadi Guru Besar Fakultas Kehutanan di Universitas Hasanudin. Karir Nurdin Abdullah baik itu di bidang pendidikan, bisnis atau pun pemerintahan dinilai cemerlang. Oleh karena itu tak heran jika Nurdin hingga kini mengoleksi sekitar 54 penghargaan dari berbagai macam bidang.
Sebagai bupati yang menguasai ilmu pertanian, Nurdin selalu punya terbosoan atau pun ide di bidang pertanian dalam rangka mengembangkan potensi pertanian di wilayah Bantaeng. Ia pernah mencetuskan Bantaeng sebagai Kabupatan Benih berbasis teknologi. Ia pun sempat merevitalisasi kelompok tani di Kabupaten Bantaeng dengan mengesahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga kelompok tani berbadan hukum.
Melalui kebijakan-kebijakannya, Nurdin tak hanya fokus pada bidang pertanian saja tapi ia menaruh perhatian yang sama pada sektor peternakan di Kabupaten Bantaeng. Melalui teknologi Inseminasi Buatan, Nurdin mengeluarkan kebijakan untuk memperbaiki kualitas ternak sapi.
Selain itu, ia pun mendukung penuh pemanfaatan limbah ternak menjadi biogas yang dapat digunakan sebagai energi alternatif di desa-desa Kabupaten Bantaeng. Sebelum dirinya menjabat sebagai Bupati Bantaeng, Bantaeng termasuk 199 daerah tertinggal di Indonesia. Tiap tahun dilanda banjir, infrastruktur dan layanan kesehatannya pun dinilai sangat buruk, pertumbuhan ekonominya pun saat itu hanya 4,7 persen saja.
Namun dengan kemampuan yang dimilikinya, daerah yang memiliki luas 395,83 km2 itu berhasil diubah dan ditingkatkan perekonomiannya. Nurdin mensiasati APBD sebesar Rp821 miliar dengan menggalang sumber lain. Selama 8 tahun ia bekerja keras untuk memacu pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bantaeng dan hasilnya memang mengalami pertumbuhan dari 4,7 persen menjadi 9,2 persen, dan kini Bantaeng menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan.
Di samping itu, sejak Nurdin menjabat sebagai Bupati Bantaeng, perubahan dalam bidang pelayanan kesehatan pun sangat terasa. Ia menciptakan layanan kesehatan ‘mobile ambulans’ yang beroperasi selama 24 jam. Nurdin memodifikasi mobil Nissan Elgrand yang merupakan hibah dari pemerintah Jepang untuk dijadikan ambulans.
Prestasi itu bahkan terdengar sampai ke luar negeri: Amerika Serikat. Konsul Jenderal Amerika Serikat Joaquin Monserrate terbang ke Bantaeng pada akhir 2014 lalu untuk melihat langsung pertumbuhan ekonomi dan layanan kesehatan ala Nurdin.
Prestasi Nurdin Abdullah berbanding terbalik dengan Bupati Ogan Ilir, Sumatera Selatan bernama Ahmad Wazir Noviadi. Meski sama-sama pilihan rakyat, kepala daerah ini bukannya membawa prestasi membanggakan bagi daerahnya.
Novi ditangkap BNN pada 13 Maret 2016, sejurus kemudian ditetapkan sebagai tersangka kasus narkoba. Ia ditangkap melalui operasi BNN kediaman orangtuanya di Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Ironisnya, Novi saat ditangkap, belum genap sebulan menjabat bupati, pilihan rakyat.
Pria kelahiran Palembang 22 November 1988 itu, padahal merupakan salah satu kepala daerah termuda Indonesia. Ia sangat populer di Sumatera Selatan dan digadang-gadang calon pemimpin besar nasional di masa depan.
Dua contoh di atas merupakan pengejewantahan pilihan rakyat tidak selalu salah dan tidak selalu benar. Namun dari dua contoh tersebut akan mengedukasi masyarakat agar lebih berhati-hati dalam menentukan pilihannya.
Kota Pariaman yang sudah memasuki tahapan pilkada sejak September 2017 lalu, akan memilih pemimpin dalam kotak suara pada tanggal 27 Juni 2018 mendatang. Dalam bilik suara yang kecil itu, masa depan Pariaman berada. Pilihan-pilihan sudah tersedia dengan banyaknya nama calon yang mulai mengapung. Beragam latar belakang pula. Dari politisi, birokrat, pengusaha hingga orang yang memiliki keahlian khusus.
Pemilihan langsung oleh rakyat, memang memaksa para calon itu turun ke bawah guna mendulang simpati. Para calon yang sedang bermurah hati itu, rupanya ada pula dimanfaatkan oleh oknum masyarakat. Sumbangan demi sumbangan untuk acara ini itu---yang sebelumnya tidak pernah ada---marak kelihatan. Dalam kesempatan itu pula bahkan terlontar janji-janji politik oleh para calon yang kadang tidak masuk akal.
Perang gagasan, adu program atau diskusi dua arah yang selayaknya terjadi antara kandidat dan calon pemilih berubah jadi ronggengan, raun-raun dan makan-makan. Tidak ada nilai edukasi di sana. Esensi dari pertemuan menjadi buyar tanpa makna.
Lahirnya Pemimpin Besar
Di awal tahun 1980, Anas Malik diminta untuk pulang kampung oleh tokoh masyarakat Piaman yang peduli kampung halamannya. Masa itu para tokoh masyarakat memohon sangat agar Anas Malik yang saat itu menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan Kodam V/Jakarta Raya dengan pangkat Letnan Kolonel.
Luluh oleh bujukan tulus tokoh masyarakat, Anas Malik masih belum mengambil keputusan sebelum mendapat restu dari ayahnya. Atas dorongan sang ayah, Anas Malik meninggalkan kariernya di ABRI Angkatan Darat. Ia dipilih oleh DPRD sebagai perwakilan rakyat, jauh sebelum Undang-Undang Otonomi Daerah lahir.
Selama 10 tahun memimpin kabupaten Padangpariaman--yang masa itu Kota Pariaman dan Kabupaten Mentawai merupakan kecamatan di Padangpariaman---banyak sekali perubahan ia lakukan. Sekolah-sekolah tinggi dan kejuruan dibangun. Revitalisasi pasar, gerakan K3, pembukaan jalan-jalan arteri hingga ke pelosok dusun dan banyak lainnya yang kelak menjadikan ia sosok legenda.
Usai menjabat selama dua periode itu, tak lama berselang, ia berpulang. Tak ada harta benda ia tinggalkan. Ia kembali menempati rumah dinas tentara di Jakarta.
Setiap jelang Pilkada Pariaman dan Pilkada Padangpariaman, nama Anas Malik bak bangkit dari kubur sebagai bahan perbandingan oleh masyarakat bagi setiap calon. Hal itu menandakan ranah Piaman pernah punya pemimpin besar kaliber nasional semacam Bupati Bantaeng yang hingga saat ini masih menjabat.
Kota Pariaman sejak memisahkan diri dari ibunya kabupaten Padangpariaman pada tahun 2002, memang jauh benar perubahannya. Jalan-jalan beraspal mulus, gedung perkantoran berdiri megah, sekolah-sekolah dari SD hingga SLTA gratis, berobat gratis dan beragam kemudahan bagi masyarakat lainnya.
Kota Pariaman yang dulunya hanya ramai dikunjungi sekali se tahun karena Pesta Budaya Tabuiknya, saat ini nyaris selalu ramai tiap harinya. Destinasi pengindah mata bermunculan. Pantai-pantai yang dulunya tempat buang hajat bertransformasi menjadi kawasan wisata ternama--setidaknya untuk wilayah Sumatera Barat.
Orang Pariaman banyak pula mendirikan kedai wisata, usaha kreatif mulai bangkit, komunitas-komunitas seni bermunculan. Kabar-kabar itu dibaca orang rantau dengan bangganya.
Kini, Pariaman akan beganti nahkoda. Jabatan Mukhlis Rahman yang dibatasi hingga dua periode sebagai walikota, harus menyerahkan tampuk kekuasaan kepada rakyat si pemegang mandat yang akan memilih pemimpin baru sesuka hatinya, sebebas-bebasnya. Ia yang dipilih oleh rakyat akan kembali kepada rakyat bulan Oktober 2018 mendatang. Kini, kursi yang ditinggalkan Mukhlis banyak diincar.
Nama-nama--tanpa menyebut nama--sudah banyak wara-wiri di muka publik. Dari yang diunggulkan hingga kelas 'ayam sayur' dengan percaya diri menyambangi masyarakat hingga ke teras-teras rumahnya.
Modal Kandidat
Pemilihan langsung membutuhkan modal tidak sedikit. Banyak komponen yang mesti digabungkan sebagai mesin pemenang. Semuanya perlu bahan bakar bernama duit. Di samping memiliki kendaraan politik--yang tentu saja butuh biaya--para calon tentunya akan membentuk barisan tim sukses. Tim sukses tidak akan bergerak tanpa uang.
Menurut Ilham S, Konseptor Popularitas dan Elektabilitas Politik Sumatera Utara, para kandidat mesti memiliki tiga modal sebelum maju dalam kontestasi pilkada langsung.
1. Modal Politik (Political Capital)
Modal politik sebagai aktivitas untuk mencapai kekuasaan dan sumber daya untuk merealisasikan hal-hal yang dapat mewujudkan kepentingan meraih kekuasaan. Intinya, modal politik adalah kekuasaan yang dimiliki seseorang, yang kemudian bisa dikontribusikan terhadap keberhasilan kontestasinya dalam proses politik seperti pemilihan umum.
Modal politik berupa dukungan dari partai politik dan para elit politik, organisasi kemasyarakatan dan jaringan primordial. Dalam konteks politik Pariaman, para elit adalah mereka yang memiliki jabatan strategis di pemerintahan, partai politik, organisasi kepemudaan, tokoh agama berdengar yang memiliki pengaruh besar terhadap kelompok masyarakat.
Di samping itu, kandidat juga harus memiliki kapasitas pribadi yang berkualitas, seperti kedudukan sosial, jabatan politik dan struktural, hingga posisi strategis dalam masyarakat primordial.
Dukungan oleh para elit politik sejatinya akan diberikan kepada calon kepala daerah yang memiliki cukup syarat seperti ketokohan, kompetensi, popularitas, kapabilitas dan integritas, termasuk moralitas yang akan menjadi opini publik.
Pemberian dukungan kepada kandidat tentunya merupakan hasil lobby elit politik dengan melihat elektabilitas serta isi kantong tas kandidat yang akan diusung untuk dijagokan sebagai kentestan pilkada karena tidak ada makan siang “gratis”.
Jika kandidat tidak mendapatkan dukungan dari elit partai politik, kandidat bisa mengajukan diri untuk maju sebagai kandidat independen yang tidak perlu didukung oleh parpol, namun harus memenuhi syarat administrasif dengan mengumpulkan KTP sebagai bentuk dukungan dari masyarakat.
2. Modal Sosial (Social Capital)
Modal sosial sebagai sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki seseorang berasal dari jaringan sosial yang terlembagakan serta berlangsung terus menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik. Modal sosial sebagai sesuatu yang berhubungan satu dengan yang lain, baik ekonomi, budaya, maupun bentuk-bentuk lainnya.
Modal sosial yaitu dukungan terhadap figur/kandidat karena ketokohan sehingga adanya kepercayaan (trust) dari masyarakat. Modal sosial menciptakan interaksi sosial dan adanya jaringan-jaringan yang mendukung. Modal sosial yang dimiliki calon bisa dicermati seperti, tingkat pendidikan, pekerjaan awal, ketokohannya di dalam kelompok masyarakat akan membangun relasi dan kepercayaan dari masyarakat. Ingat, kekuasaan juga bisa diperoleh karena kepercayaan.
3. Modal Ekonomi (Ekonomical Capital)
Dalam konteks pilkada, modal ekonomi memiliki peran penting sebagai “penggerak” dan “pelumas” mesin politik yang dipakai. Saat musim kampanye misalnya membutuhkan uang yang besar untuk membiayai berbagai kebutuhan seperti mencetak spanduk, membayar iklan, konsultan politik dan berbagai kebutuhan lainnya. Bahkan modal ekonomi dapat menjadi prasyarat utama ketika calon itu bukan berasal dari partai yang mencalonkannya.
Modal politik dan ekonomi saling berkaitan dalam iklim politik yang menekankan kepada interaksi spontan antara pemilih dan calon. Waktu yang pendek dalam sosialisasi diri selaku calon, kadang mendorong penggunaan modal ekonomi sebagai jalur pintas. Kondisi ini banyak terjadi di negara kita yang masih dalam proses transisi menuju pemilu rasional dan penciptaan pemilih rasional.