Artikel oleh Riky Falantino, S.Kom, MM, mantan Sekretaris Panwaslu Padangpariaman |
Gelombang pertama dan kedua dilaksanakan pada tahun 2015 dan 2017. Dasar hukum pelaksanaan Pilkada Serentak adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Setelah itu, Undang-Undang ini pun mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, hingga akhirnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Pelaksanaan Pilkada Serentak berangkat dari evaluasi pelaksanaan Pilkada sebelumnya.
Menurut Titi Anggraini (Perludem – Jurnal Pemilu & Demokrasi April 2016 “Evaluasi Pilkada Serentak 2015”) ada tiga hal yang hendak dijawab dari hadirnya Pilkada Serentak, yakni menciptakan penyelenggaraan pemilu yang efisien dan efektif, memperkuat derajat keterwakilan antara masyarakat dengan kepala daerahnya, dan menciptakan pemerintahan daerah yang efektif serta efisien dalam rangka menegaskan sistem pemerintahan presidensialisme.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Pemilihan, sebelum pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak untuk seluruh daerah di Indonesia pada tahun 2027, pemilihan kepala daerah serentak dilaksanakan berdasarkan akhir masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Keserentakan pelaksanaan ini bukan saja berkaitan dengan hari dan tanggal pemungutan suara, tetapi juga berkaitan dengan seluruh proses tahapan penyelenggaraan.
Pilkada Serentak 2015 dan 2017 telah berlangsung dengan aman, lancar, tertib, dan damai. Penyelenggaraannya sukses. Partisipasi pemilih memang belum memenuhi target KPU, 77,50 persen.
Partisipasi pemilih Pilkada Serentah 2015 adalah 69,14 persen dan 2017 sebesar 74,20 persen. Partisipasi ini masuk kategori moderat atau sedang. Gelombang ketiga Pilkada Serentak akan dilaksanakan pada tanggal 27 Juni 2018. Pilkada serentak gelombang ketiga itu dilaksanakan untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akhir masa jabatan (AMJ) 2018 dan 2019.
Pada Pilkada Serentak ketiga ini, di Provinsi Sumatera Barat akan dilaksanakan pemilihan walikota dan wakil walikota di empat kota, yakni Kota Pariaman, Kota Padang, Kota Padang Panjang dan Kota Sawahlunto.
Harapan kita bersama bahwa Pilkada Serentak 2018 dapat mengulangi kisah sukses penyelenggaraan Pilkada Serentak 2015 dan 2017. Tentunya sejumlah perbaikan perlu dilakukan. Suksesnya pelaksanaan Pilkada tidak hanya ditentukan oleh penyelenggara (KPU dan Bawaslu), juga sangat ditentukan oleh partisipasi dari masyarakat.
Menurut Gunawan Suswantoro (Sekjen Bawaslu RI –Buku Pengawasan Pemilu Partisipstif “Gerakan Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi Indonesia ” 2015), pada era yang “tunggang langgang” ini, sebuah lembaga tak dapat berdiri sendiri dalam menjalankan fungsi pengawasan.
Partisipasi publik sungguh menjadi faktor penting bagi kesuksesan pemilu di era keterbukaan sekarang ini. “Pengawasan Pemilu Partisipatif “ yang diwujudkan dalam Gerakan Sejuta Relawan Pengawas Pemilu (GSRPP ). Hasilnya, gerakan tersebut dapat mendorong partisipasi publik dalam penyelenggaraan Pemilu 2014 yang lalu.
Pengalaman penulis pada Pilkada serentak 2015, perlu adanya dukungan pengawasan pemilu partisipatif dari seluruh masyarakat. Pada pengawasan Pilkada serentak 2015, penulis (Panwaslih Padangpariaman) membuat sebuah kegiatan pengawasan partisipatif dengan nama “Deklarasi Pengawasan Partisipatif“ yang melibatkan kepala daerah, KPU, Panwaslih, Kapolres, Kejaksaan, tokoh agama, tokoh pemuda dan PWI sebagai perwakilan media.
Cara-cara seperti ini sangat besar sekali perannya dalam menciptakan Pemilu yang Badunsanak di Ranah Minang ini, khususnya di Pariaman. Untuk mengharapkan agar peran masyarakat besar, ajaklah dalam sebuah iven/kegiatan atau "dibaok sato". Janganlah mereka merasa ditinggalkan atau tidak dilibatkan dalam setiap kegiatan tersebut. Peran alim ulama, niniak mamak dan cadiak pandai (tigo tali sapilin) di Ranah Minang ini sangatlah besar dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan di daerah.
Di samping itu nilai-nilai sosial (kearifan lokal) suatu daerah sangat menentukan juga peran dan suksesnya suatu pesta atau iven yang diadakan di daerah tersebut. Kalau di Pariaman ibarat “Batabuik” (even budaya di Pariaman), sangatlah ribut dan konflik antara kedua kelompok anak nagari (Pasa dan Subarang) di saat berlangsungnya Pesta Budaya Tabuik itu.
Tetapi setelah Tabuik itu dibuang ke laut, semua kelompok yang berseberangan kembali rukun dan damai seperti semula. Dalam setiap pesta demokrasi pun, baik itu Pilkada maupun Pemilihan Legislatif di Pariaman tercermin nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai ini lah yang perlu didorong dalam setiap iven atau Pilkada di Pariaman. “ Biduak lalu kiambang batauik “
***