Kenapa Pilkada Pariaman selalu hangat untuk dibicarakan. Mulai dari palanta lapau hingga rundingan kecil antar keluarga.
Hal tersebut normal bagi masyarakat yang sadar akan alam demokrasi (diterangkan di alinea bawah tentang sosiologi politik masyarakat Pariaman). Kesadaran politik-sosiologi bagi warga Pariaman dibentuk oleh kultur budaya masyarakat itu sendiri yang intens bersosialisasi satu sama lain.
Hobi masyarakat menghabiskan waktu senggang di lapau mengakibatkan banyak topik yang mereka bahas tergantung situasional saat itu. Meski waktu banyak terbuang, dialetika tanpa disadari atau tidak, telah membentuk dan mengasah keterampilan berpolitiknya. Jika sekarang ada demo anti Ahok, pembahasan itu pula lah yang menjadi trending topik.
Jika topik tersebut mereda, mereka kembali fokus membahas topik terhangat saat itu, yakni politik pilkada. Mulai dari menganalisa sejumlah nama bakal calon, hingga menerapkan kecenderungan politik memihak.
Nama-nama bakal calon walikota/wakil walikota akan mereka ulas dari berbagai aspek. Mereka sudah terlihat bagai pengamat sedang membedah politik di stasiun tivi, infact tanpa honor. Ulasan di lapau makin menarik saat masuk tahapan bongkar pasang masing nama bakal calon dan melihat respon pengamat lainnya.
Setiap masyarakat Pariaman dalam hal politik bisa dikatakan kategori cerdas sekali secara nasional, mereka punya pendapat masing-masing. Di Pariaman hasil survey sering dikelabui. Fakta itu sudah terjadi di dua kali Pilkada Kota Pariaman. Prediksi hanya bisa dilakukan untuk melihat nama-nama paling dominan.
Menyimak dialetika yang dilakukan oleh mereka, kadang terlihat satu individu terlalu condong pada satu nama calon. Perilaku yang ditunjukan itu dengan cepat terbaca oleh individu lainnya. Nomor punggung "itu orang si anu" seketika melekat.
Jika sudah dianggap orang si anu, bicaranya akan didengar jika sedikit berlaku royal dalam mentraktir. Kalau pelit, calon yang dia dengung-dengungkan akan ikut terbawa sial, karena apapun yang dia katakan tentang calonnya semuanya akan dianggap omong kosong. Prinsip iklan berlaku disini.
Kok segitunya? Belum tahu ya? Itulah Pariaman. Pariaman adalah kultur yang elok dihuni kumpulan masyarakat bersosiologi cerdas. Mereka punya kemampuan terasah seumpama sejak lahir saja.
Dalam ilmu sosiologi politik yang menganalisa sebab dan akibat sosial dari peranan kekuatan dalam suatu masyarakat, peranan yang diambil oleh setiap individu masyarakat Pariaman secara grafik cenderung mendatar. Itu menandakan masyarakat yang tidak mengiblatkan diri pada satu tokoh dalam mengambil keputusan politik.
Oleh sebab itu, hemat saya, sangat jarang konflik sosial (gesekan horisontal) terjadi akibat berbeda sudut pandang politik yang diambil masyarakat, baik secara lokal maupun secara nasional. Tidak ada konflik fisik dan penekanan, yang ada hanya dialogis-dialogis yang tidak mengikat.
Fokus perhatian pada aspek gerakan partai politik, organisasi massa, masyarakat kelas satu, tidak lagi berlaku dominan secara keseluruhan bagi masyarakat Pariaman. Prinsip egaliter yang dianut masyarakat Pariaman, membebaskan mereka dari fenomena yang masih berlaku di daerah lain di tanah air.
Disaat masyarakat dipegang secara otoritas penuh, mereka akan menjalaninya jika hal itu dianggap baik dan relevan bagi tatanan hidup mereka. Jika hal itu dianggap merugikan dan mengekang, mereka akan mencari jalan diluar konteks dalam melakukan perlawanan, atau disebut gerakan senyap.
Pariaman secara sosiologi politik, tidak bisa secara penuh hidup dalam otoritas komando. Hal itu dapat dilihat dari pilihan masyarakat Pariaman saat Indonesia dipimpin secara otoriter dimana partai berlambang Kabah bersaing ketat dengan partai penguasa saat itu.
Suatu proses keterkaitan antara masyarakat dan politik, hubungan antara struktur-struktur sosial dan hubungan antara tingkah laku sosial dan tingkah laku politik, masyarakat Pariaman bisa mengambil benang merah di tengah lembaran dua sisi tersebut.
Catatan Oyong Liza Piliang