Ketua MUI Padangpariaman, Zainal Tuanku Mudo menegaskan ulama merupakan musuh terdepan bagi komunis di Indonesia. Gerakan ekstrimis kiri, komunis Indonesia yang bergerak melalui Partai Komunis Indonesia (PKI) tetap menjadi ancaman serius bagi idiologi pancasila dan NKRI.
Selain TNI dan masyarakat, kata dia, ulama menjadi korban pembantaian dan penculikan yang dilakukan aktivitis PKI selama sejarah gerakan politik idiologi komunis di Indonesia dengan puncaknya kejadian tahun 1965/1966 itu.
“Jadi jika ada keluarga atau anak kelompok 65/66 itu yang menyatakan sebagai korban, bagaimana dengan ulama yang terlebih dahulu menjadi korban oleh aktivis komunis PKI saat itu,” tegasnya saat menjadi pemateri dalam seminar sehari dan pelantikan pimpinan wilayah gerakan pemuda (GP) Anshor Sumatera Barat dengan tema perkokoh komitmen berbangsa, jaga nilai budaya, mencegah masuknya paham radikalisme dan paham komunisme, Minggu (30/7).
Isu penolakan komunisme dan anti PKI kembali mencuat setelah pemerintah Indonesia dinyatakan bersalah dan oleh Pengadilan Rakyat Internasional atau Internasional People Tribunal 1965 (IPT65) di Belanda. Dalam putusan tersebut, pengadilan merekomendasikan agar pemerintah meminta maaf kepada keluarga korban, membayar kompensasi dan mengadili pihak yang terlibat.
Menyikapi hal tersebut, Zainal Tuanku Mudo mendorong pemerintah untuk menolak keputusan tersebut. Menurutnya keputusan hanya akan menimbulkan persoalan baru dan membuka luka lama.
Ia menyatakan bahwa ulama yang tersebdar dalam berbagai ormas dan diwadahi oleh MUI Padangpariaman berkomitmen tegas menolak keberadaan paham komunisme dan gerakannya.
Harry Iskandar, dosen sejarah Unand yang juga menjadi pemateri dalam semintar tersebut mengatakan bahwa komunisme di Indonesia saat ini bukan sebatas muncul, namun pada tahapan berkembang. Fakta sejarah yang ada, gerakan politik kelompok komunis sudah terjadi sejak zaman awal kemerdekaan.
“Bukan kemunculannya yang diwaspadai, namun perkembangan gerakannya, komunis itu sudah ada sejak lama, bahkan pernah menjadi pemenang pemilu kala itu. Yang namanya idiologi, meski orangnya sudah meninggal, idiologi itu tetap akan ada, namun perkembangannya yang harus diwaspadai,” ujar Harry.
Terkait tuntutan rekonsiliasi oleh pihak yang menyatakan sebagai keluarga korban perisitiwa 65/66, Harry mengatakan tuntutan tersebut tidak relevan dan tidak realistis lagi saat ini. Menurutnya, rekonsiliasi yang menjadi tuntutan mereka sudah berlangsung sejak reformasi bergulir.
“Semua sudah membaur, mereka (keluarga korban) sudah mendapatkan tempat seperti dulu, sudah ada yang menjadi PNS ada yang menjadi pegawai lain, tuntutan ini sudah tidak relevan lagi, solusinya harus saling memaafkan,” ulasnya.
Harry dalam penyampaikannya menolak paradigma bahwa radikalisme identik dengan Islam. Radikalisme yang muncul merupakan gerakan sebahagian umat Islam akibat propaganda barat anti Islam yang menyerang Islam.
Gerakan kelompok ormas radikal bisa jadi bentuk respon tekanang barat terhadap Islam. Gerakan radikal Islam juga muncul karena ketidaksanggupn pemerintah dalam mengakomodasi tuntutan dan keinginan Islam.
“Islam bukan agama teror, karena agama Islam merupakan agama rahmatal lil alamin, agama keselamatan, hanya saja perlakuan barat atau kelompok anti Islam yang merugikan Islam menimbulkan respon dari umat Islam,” sebutnya.
Sekretaris Jenderal Gerakan Pemuda (GP) Anshor, Adung R Rochman, Nahdatul Ulama dan GP Anshor memiliki saham dalam penentangan gerakan komunisme di Indonesia. GP Anshor telah melakukan gerakan penentangan terhadap gerakan komunis sudah sejak lama, bahkan pada awal-awal. Ia menagaskan bahwa GP Anshor menjadi garda terdepan menentang gerakan neo komunisme yang menjadi ancaman laten.
“Sejarah lagu salawat badar yang diciptakan oleh tokoh NU Jawa Timur mengkotra atau mengimbangi lagu genjer-genjer pemompa semangat pemuda PKI waktu itu. Salawat badar selalu GP Anshor bawakan dalam setiap iven kita,” ujarnya.
Nanda