Oleh Indra J Piliang
Walau hari ini Kota Pariaman berusia 14 tahun sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kota Pariaman di Provinsi Sumatera Barat yang ditanda-tangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 10 April 2002, sesungguhnya usia biologis kota ini sudah melewati angka 5 abad.
Rujukannya apalagi kalau bukan mahakarya seorang petualang asal Portugis yang bernama Tome Pires. Naskah “Suma Oriental” karangan Tome Pires itu tercatat sebagai karya paling moderen dan paling masuk akal tentang dunia timur, termasuk kepulauan yang ada di Nusantara.
Walaupun begitu, Tome Pires tetap tidak melakukan perjalanan darat, melainkan berlayar dengan kapal dari Malaka yang jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511.
Guna memberikan gambaran menyeluruh, akibat penulis tidak punya waktu banyak, baiklah penulis nukilkan tulisan Tome Pires yang sudah disadur ke dalam Bahasa Inggris – kemudian juga ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Ombak, Yogyakarta --. Begini bunyinya:
“ From the kingdom of Andalas I follow round the land, veering to the north-west until I reach the islands of the Gamispola group, and where it begins to turn, the land shows us the kingdom of Priaman. Priaman is bounded on one side by Andalas and on the other by Tico, and in the hinterland by Menangkabau. This is a heathen kingdom and the king is a heathen.
Three kingdoms join together here on this coast, to wit, Priaman, Tico and Panfur or Panchur or Baros. All these are rich, and the Gujaratees come here every year with one ship, or two or three, with merchandise. They dispose of it and take away their return [loads] as will be told when we finish speaking of these three kingdoms. The kingdom of Priaman has many horses, which they go and sell continuously in the kingdom of Sunda.
This land of Priaman has plenty of gold, apothecary’s lign- aloes, camphor of two kinds, benzoin, silk, wax, honey; it has foodstuffs in plenty for its own land; it does a great trade with the land of Sunda.
The kingdom of Tico (Tiquo) joins on to Priaman on one side and on the other it joins on to the land and kingdom of Panchur; in the hinterland it joins on to the land of Menangkabau. They say that the king is a heathen, and others say that he is a Moor.
This [kingdom] has the merchandise we mentioned for Priaman, which Pansur also (?) has. This kingdom has many people and does a great trade with the Gujaratees.
It now falls to us to speak of the very rich kingdom of Baros, which is also called Panchur or Pansur. The Gujarat people call, “Kingdom it Panchur” and so do the Persians, Arabians, Kling, Bengalees, of Baros etc. Sumatra calls it Baros (Baruus). It is all one kingdom, not (Barus)'. two. It is bounded by Tico on one side and on the other by the land of the kingdom of Singkel; in the interior it has its dealings with the Menangkabaus, and in front of it, in the sea, it has the island of Nias {Minhac Barras), about which we will speak.
This kingdom is at the head of the trade in these things in all the island of Sumatra, because this is the port of call through which the gold goes, and the silk, benzoin, camphor in quantities, apothecary’s lignaloes, wax, honey, and other things in which this kingdom is more plentiful than any of the others described up to now. Benzoin from Baros, Tico and Priaman is plenteous in the island of Sumatra and very white.
These three kingdoms we have described, to wit, Panchur, Tico, and Priaman, are the key to the land of Menangkabau, both because they are all related, and because they possess the sea coast, so that the Gujaratees come there every year and do a great trade; and all the merchandise is gathered together in these kingdoms and they do their trade with the said Gujaratees.
One, two or three ships come every year; they sell all their clothing, and take in a great deal of gold and silk, much benzoin, much lignaloes, camphor of two kinds — a great deal of the edible kind — much wax, much honey. The Gujaratees dispose of all this merchandise because it is made up of goods consumed in the country, and the people are many, and it goes from there to Sunda and to the Maidive {Diua) Islands, — because the Maidive Islands reach to opposite Sunda, and go on along the whole of Sumatra on the western side up to Gamispola and up to Cannanore, and from these parts they go to the Maidive Islands in five days, according to the statements of the merchants who sail from the Maldives { ?)
So having done their trade the Gujaratees return wealthy, and they sell and trade as they will. The pilots say that the route from Baros to Sunda is not very clean, and that up to Baros it is clean all along close to the land. I went behind this island a matter of fifteen leagues, and close to the land we found twenty-five fathoms.”
Tidak heran, apabila Kota Pariaman memenuhi aspek arsitektur tata kota moderen, sekalipun mulai banyak bagian kota yang dihancurkan dan dihilangkan sejarahnya, seperti Kampung Nias, Kuburan Belanda dan termasuk arsitektur India, Arab, Tionghoa dan Jepang. Bahkan arsitektur Kota Pariaman jauh lebih maju daripada Kota Padang yang hanyalah sebagai “Kota Bandar” atau “Kota Pasar”. Masyarakat Kota Pariaman sudah lama menjadi bagian dari masyarakat kota, dibandingkan dengan masyarakat Kota Padang yang hanya menjadi masyarakat pasar.
Sekitar 18 tarekat agama Islam hidup di Kota Pariaman. Hanya saja, model pembangunan yang sama sekali tanpa berwawasan sejarah, membuat kota kecil yang indah ini – semacam Venesia from The Sumatera – dengan aliran sungai, pelabuhan, serta pulau-pulaunya yang mudah dijangkau, telah menghilangkan wajah asli kota ini sebagai model terbaik yang hadir di Timur. Bekas anyaman berbagai kebudayaan dunia menjadi hilang, dimakan keserakahan para penguasa yang hanya sekadar membangun guna mendapatkan anggaran sesaat.
Salah satu kehilangan itu adalah digantikannya Tugu Layar dengan Tugu Tabuik di pusat Kota Pariaman. Padahal, tatkala Tugu Layar itu masih berdiri, terdapat kalimat indah yang diukir di layar itu, yakni:
“Panakiak pisau sirauik, ambiak galah batang lintabuang, silodang ambiak ka niru; nan satitiak jadikan lauik; nan sakapa jadikan gunuang; alam takambang jadikan guru.”
(Penekuk pisau siraut <pisau tajam>, ambil galah <tongkat panjang> batang lintabung <sejenis tumbuhan penadah air>, silodang <pelepah sagu atau kelapa> ambil ke niru <tempat menampi beras>; setitik jadikan laut, sekepal jadikan gunung, alam terkembang jadikan guru).
Padahal, kalimat indah itulah yang terpatri dalam setiap dada pelajar-pelajar asal Kota Pariaman, ketika merantau guna mencari ilmu. Dari kalimat itu, lahir berbagai generasi emas asal Pariaman yang menjadi tokoh-tokoh nasional, baik di bidang pendidikan, kedokteran, hukum, bisnis, kelautan, agama, hingga politik dan pemerintahan. Hilangnya Tugu Layar adalah salah satu titik nadir dari “Robohnya Piaman Kami”, ketika sejumlah simbol baru diusung, tanpa pengetahuan yang cukup.
Tulisan singkat ini tentu tidak ingin masuk terlalu dalam. Jika hendak menjadikan Kota Pariaman sebagai Kota Pelabuhan yang benar-benar eksotik, sekalipun mungil – hanya 1/12 dari Kabupaten Padang Pariaman --, kembalikan kota ini sebagai kota yang penuh dengan sejarah, budaya, hingga keanekaragaman suku bangsa.
Indra J Piliang adalah CEO Sang Gerilya Corporation. Lahir di Kampung Perak, Pariaman, pada 19 April 1972. Ketua Alumni SMA 2 Pariaman. Kini sedang melanjutkan studi S3 (Program Doktoral) di Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Pemerintahan, Universitas Indonesia.