Banjir besar yang melanda Sumatera Barat, Selasa 22 Maret (2016) lalu, khususnya Kota Pariaman dan Kabupaten Padangpariaman (selanjutnya disebut Piaman) adalah banjir terbesar sepanjang sejarah yang pernah disaksikan oleh orang yang masih hidup hingga saat ini (terverifikasi pada wawancara dan kesaksian beberapa narasumber di atas umur 75 tahun).
Curah hujan sangat tinggi menegaskan bahwa alam tidak punya toleransi atas kelemahan manusia dalam menata sejumlah infrastruktur seperti normalisasi, saluran air rumah penduduk, lemahnya kontruksi dan lengahnya kesadaran akan potensi bencana yang datang tak memberi kabar.
Bencana alam, sebagaimana sering disosialisasikan oleh pihak pemerintah kepada masyarakatnya sangat jarang ditindaklanjuti dengan upaya bersama seperti gerakan gotong royong sebelum banjir itu melanda.
Terlihat bagaimana nyatanya (in fact) saluran air (drainase) dipenuhi sendimen, jalur tali air (got) tersumbat, infrastruktur yang tidak superior (kokoh) dan berbagai kelemahan lainnya kita temukan saat alam memperlihatkan keperkasaannya.
Begitu pula dengan perencanaan terpadu dan pengawasan pembangunan drainase oleh pemerintah dan masyarakat yang berdekatan dengan rumah penduduk, fasilitas umum dan jalan-jalan perlintasan umum. Semuanya penuh toleransi pada kelemahan saat pengerjaan dilakukan. Kelemahan itu tanpa disadari kemudian berubah menjadi bencana campur tangan manusia.
Semua bencana yang menimpa tidak sepatutnya memang saling salah menyalahkan, tapi tidak pula salah jika kita merasa diingatkan oleh peristiwa itu agar berbenah diri agar lebih awas dan rapi. Alam tidak pernah bertoleransi pada kelengahan.
OLP