Pantai Kuta tidak hanya di Bali. Pantai Kuta juga ada di Lombok, tepatnya di Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah yang beribukotakan Praya. Nama serupa dengan di Bali itu tentu bisa dimaklumi bersebab dua pulau bertetangga ini terbilang berkerabat dekat dari sisi adat istiadat meski di Lombok mayoritas berpenduduk muslim Suku Sasak sedangkan di Bali mayoritas Hindu. Kesamaan bahasa juga terlihat di beberapa desa begitu juga dengan komunitas Hindunya. Upacara adat semacam di Bali kerap pula terlihat di Lombok.
Pantai Kuta Lombok yang masuk kawasan ekonomi khusus (KEK) "Mandalika" ini ditempuh selama 25 menit jalur darat dari Bandara Internasional Lombok di Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Pantai Kuta Lombok sebagai destinasi wisata para pelancong domestik dan mancanegara hari itu, Selasa (9/2/2016) terlihat berbeda dari hari biasanya.
Sejak dari bandara di sepanjang jalan tak putus-putus terlihat spanduk dan baliho bertuliskan ucapan selamat Puncak Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2016 yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo beserta sejumlah menteri.
Ribuan wartawan dari berbagai media di seluruh nusantara bahkan mancanegara hadiri HPN yang diselenggarakan di hamparan pantai berpasir ke kuning-kunigan itu. Pantai Kuta Lombok airnya tenang. Tidak tampak ombak menggulung menghempas ke tepi. Ratusan perahu nelayan tradisional hiasi pantai teluk nan permai itu. Terlihat pula ombak menjajar hempasan putus di tengah laut pantai menegaskan keberadaan terumbu karang di bawahnya.
Bagi wisatawan, pantai Kuta Lombok adalah surga berjemur dan mandi-mandi oleh airnya yang dangkal. Tersedia sejumlah wahana seperti jetsky, banana boat hingga terbang layang parasut ditarik speedboat. Alam bawah lautnya konon suguhkan pemandangan memukau oleh gugusan terumbu karang dan biota. Para penghobi diving dan snorkeling tentu hal ini sebuah tantangan untuk disingkap.
"Saya suka diving. Barusan balik dari kawasan Mandeh di Padang," kata Prita Laura, reporter Metro TV di ruang tunggu Batik Air, Bandara Soekarno-Hatta menuju Lombok hendak menghadiri HPN saat bincang-bincang dengan para wartawan Pariaman. Dia tentu tidak akan melewatkan pesona alam bawah laut Pantai Kuta Lombok?
Kultur warga Lombok kental adat nyatanya sangat terbuka menyikapi wisatawan. Di kawasan Mandalika berdiri puluhan bar, penginapan, dari kelas melati hingga berbintang. Para bule lalu lalang terlihat bebas. Terbiasa di daerah dingin, para bule mempersingkat pakaian di badannya di pulau tropis ini. Masyarakat setempat manfaatkan celah pasar oleh ramainya pengunjung di desanya. Aneka kerajinan seperti gelang dari tulang dan bambu, tenunan hingga mutiara berkualitas tinggi mereka tawarkan langsung kepada wisatawan.
Gemuruh helikopter singkap lamunan pagi. Rombongan wartawan Pariaman bergabung dengan rombongan Humas Pemkab Padangpariaman dipimpin Kabag Humas Hendra Aswara dan Ketua PWI Padangpariaman Ikhlas Bakri bergegas menuju lokasi HPN setelah menginap semalam di sebuah resort nuansa pedesaan berjarak 1 kilometer dari lokasi acara puncak HPN.
Hendra Aswara menyebutkan HPN selain ajang silaturahmi wartawan seluruh Indonesia juga hal serupa bagi Humas sebagai bagian sekretariat yang mengelola informasi dan berhubungan langsung dengan wartawan di daerah.
Menurut dia dengan diselenggarakannya HPN di Lombok akan membawa berkah bagi daerah itu sebagai tuan rumah penyelenggara terutama KEK Mandalika yang kawasannya gabungan Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Selatan. KEK Mandalika seluas 1000 hektare atau tiga kali lipat kawasan BTDC Nusa Dua Bali.
"Selain daerah diekspose secara besar-besaran oleh media, juga diuntungkan dengan kedatangan presiden beserta menteri. Presiden akan melihat langsung potensi KEK Mandalika dan tentunya para menteri akan menyiapkan program beserta anggarannya untuk pembangunan di sini," kata Hendra Aswara, setiba di lokasi HPN, Selasa (9/2).
Kata Hendra, Pemerintah Kabupaten Padangpariaman sudah mengusulkan kepada PWI Pusat dan Dewan Pers melalui PWI Sumbar beserta PWI Padangpariaman untuk menjadi tuan rumah HPN tahun 2017 sejak tahun 2015. Menurutnya, bupati terpilih Ali Mukhni berkeinginan keras mewujudkan hal itu tentunya demi lajunya pembangunan di Padangpariaman oleh side effect HPN.
"Jika disetujui, kita selaku daerah akan menyiapkan diri sebagai tuan rumah HPN. Kita masih tunggu persetujuan," tambah Hendra.
Alam yang indah didukung kesadaran masyarakat membuat nyaman wisatawan di Lombok. Bagi masyarakat setempat dan pemerintah daerahnya, wisatawan adalah kantong ekonomi utama bagi daerah maritim dan agraris tersebut. Semakin banyak daerahnya dikunjungi, makin mengalir duit ke pundi daerah (baca PAD) dan mengasapi dapur masyarakatnya.
"Kami tidak terpengaruh dengan budaya luar karena kita punya adat dan agama sendiri. Bagi kami mereka datang dari jauh buat senang-senang keluarkan duit banyak untuk daerah kami," kata Taslim (26), sopir sekaligus guide yang setia menemani rombongan kecil wartawan Pariaman dan Humas Padangpariaman.
Dia mengaku sangat bangga kepada daerahnya yang mayoritas Muslim hidup berdampingan dengan Hindu. Menurut dia di sanalah kelebihan Lombok dibanding Bali.
"Di Lombok ada Bali, di Bali tidak ada Lombok," katanya bangga.
Sedikit cerita tentang Pantai Kuta yang berada di KEK Mandalika. Legenda "Mandalika" diambil dari nama seorang putri cantik yang cinta damai. Masyarakat setempat dominan Suku Sasak, Suku asli Pulau Lombok.
Putri Mandalika, konon seorang putri cantik jelita yang menjelma menjadi cacing nyale dan muncul sekali dalam setahun di Pantai Lombok. Siapa sangka cacing nyale yang diperebutkan dan dicari-cari setiap tahun oleh masyarakat Lombok ini adalah jelmaan dari seorang putri yang sangat cantik yang jaman dahulu diperebutkan oleh pangeran-pangeran dari berbagai kerajaan di Lombok.
Putri Mandalika putri dari pasangan Raja Tonjang Beru dan Dewi Seranting. Raja itu terkenal karena kebijaksanaannya sehingga rakyatnya sangat mencintainya karena mereka hidup makmur. Putri Mandalika hidup dalam suasana kerajaan dan dihormati hingga dia menginjak dewasa.
Saat dewasa Putri Mandalika tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat cantik dan mempesona. Kecantikannya tersebar hingga ke seluruh Lombok sehingga Pangeran-Pangeran dari berbagai Kerajaan seperti Kerajaan Johor, Kerajaan Lipur, Kerajaan Pane, Kerajaan Kuripan, Kerajaan Daha, dan kerajaan Beru berniat untuk mempersuntingnya.
Mengetahui hal tersebut ternyata membuat sang Putri menjadi gusar, karena jika dia memilih satu di antara mereka maka akan terjadi perpecahan dan pertempuran di bumi Sasak. Bahkan ada beberapa pangeran kerajaan yang memasang siasat licik agar Sang Putri jatuh hati padanya.
Setelah berpikir panjang oleh kegusaran, akhirnya sang Putri memutuskan untuk mengundang seluruh pangeran beserta rakyat untuk bertemu di Pantai Kuta Lombok pada tanggal 20 bulan ke 10 menurut perhitungan bulan Sasak tepatnya sebelum Subuh. Undangan tersebut disambut gembira oleh seluruh pangeran yang jatuh hati kepadanya beserta rakyat sehingga tepat pada tanggal tersebut mereka berduyun-duyun menuju lokasi undangan.
Setelah beberapa saat akhirnya Sang Putri Mandalika muncul disertai prajurit-prajurit yang menjaganya. Kemudian dia berhenti dan berdiri di sebuah batu dipinggir pantai.
Setelah mengatakan niatnya untuk menerima seluruh pangeran dan rakyat akhirnya Sang Putri pun meloncat ke dalam laut. Semuanya panik. Seluruh rakyat yang mencari tidak menemukannya. Setelah beberapa saat akhirnya datanglah sekumpulan cacing berwarna-warni yang menurut masyarakat dipercaya sebagai jelmaan Putri Mandalika.
Hingga kini legenda itu masih lekat di telinga masyarakat. Mereka merayakan peristiwa itu dengan sebutan "Nyale". Nyale adalah sebuah pesta atau upacara yang dikenal dengan Bau Nyale. Kata Bau berasal dari Bahasa Sasak yang berarti menangkap sedangkan kata Nyale berarti cacing laut yang hidup di lubang-lubang batu karang dibawah permukaan laut.
Acara ini diselenggarakan sekitar bulan Februari dan Maret. Tempat penyelenggaraan upacara Bau Nyale ini ada di Pantai Seger, Kuta, dibagian selatan Pulau Lombok di mana HPN 2016 terselenggara dengan megah.
Oyong Liza Piliang