Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kolom FA: Marwah Seorang Pemimpin (2)

6 Desember 2015 | 6.12.15 WIB Last Updated 2015-12-08T22:20:26Z
                                            Oleh: H. Faisal Arifin, S.IP Rky. Majo Basa


Sebagai salah satu pemangku kebijakan dalam sistem pemerintahan daerah, saya tidak memposisikan diri sebagai seorang kritikus, namun mencoba melihat ke dalam dengan lebih jernih, mengkoreksi, memperbaiki, sebatas amanah undang-undang yang diamanatkan kepada saya.

Kepemimpinan, hemat saya, erat kaitannya dengan karakter, marwah, integritas dan disiplin ilmu hingga seorang pemimpin menjadi kuat (strong leadership) dan mampu mengelola sebuah sistem. Jika perihal itu kepemimpinan di pemerintahan daerah, seorang kepala daerah mesti mampu memperkuat sistem tatanan pemerintahan itu sendiri yang telah diatur oleh undang undang.

Dia harus mampu mengejawantahkan sistem pemerintahan yang sudah diatur sedemikian rupa dengan pola leadership yang dia punya agar berakserelasi dengan baik sesuai harapan dan amanah undang-undang yang dititipkan ke pundak dia.

Termasuk dalam menempatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai komponen utama sesuai kompentensi dan kualifikasi dalam rangka tata kelola pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam Undang Undang No. 5 Tahun 2014 tentang ASN.

Menempatkan sesuatu pada tempatnya secara harfiah adalah azas keadilan dan diganjar pahala oleh Allah SWT. Menempatkan seseorang di bidang yang tidak dikuasasinya sama artinya menyesatkan orang yang ditempatkan tersebut. Ibarat alat transportasi, taruhlah perahu di atas air, onta di padang pasir, kuda di padang rumput. Jangan dibolak balik.

UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bersandar kepada Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah. Amanat UU tersebut menegaskan penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pegangan utama bagi kepala daerah dalam menahkodai daerah otonom yang dia pimpin.

Seorang kepala daerah sebagaimana diamanatkan oleh undang undang tersebut tidak lagi sang penguasa tunggal di suatu daerah. Dia harus mampu menjadi manejer dan fasilitator yang baik di alam demokrasi dan menghimpun berbagai komponen agar bersama-sama membangun daerah.

Harus diakui, dalam berbagai diskusi sering saya dengar dikatakan masih banyak pemimpin tidak tahu bagaimana mengurus rakyatnya, bagaimana mengelola birokrasi dan ketata negaraan.

Ada kebingungan-kebingungan oleh mereka dalam bekerja yang hampir merata di seluruh Indonesia. Bahkan banyak juga yang tidak mengerti apa itu pemerintahan dan bagaimana itu pemerintah. Mereka maju menjadi kepala daerah bukan atas dorongan batin yang bersandar perintah ilahi yang dia dengar di bijah (relung nurani) setelah menimbang kompetensi yang dia miliki, kemudian bermunajad dan berserah diri serta selalu berharap selalu berada dalam bimbinganNya.

Menjadi seorang pemimpin tidak boleh dalam kebingungan, mesti mantap dalam ketetapan hati. Jadilah mandiri dan jangan mau ditarik-tarik oleh berbagai kepentingan. Jangan pula mau didorong atas dasar amanah (baca partai) ini dan amanah itu (motivasi lain). Jika seorang pemimpin sudah berjalan di koridorNya, jangan pernah takut.

Menjadi seorang pemimpin harus siap menerima segala resiko, tekanan, ancaman dalam bentuk dan rupa apapun.

Pemimpin dan Memilih Pemimpin

Jika salah dalam memilih pemimpin, (memilih orang "bingung") dan jika hal itu terjadi di Padangpariaman, kita berada dalam posisi menunggu bom waktu yang akan meluluhlantakan kita sendiri.

Penempatan aparatur sipil negara (ASN), jika orang demikian yang memegang tampuk di eksekutif (baca bupati/wakil bupati), kental nuansa suka tidak suka, dekat tidak dekat, kekerabatan, hingga faktor politik melatar belakangi.

Jabatan tidak lagi dipegang oleh orang ahli di bidangnya berimplikasi pada ruang lingkup sangat luas, yakni masyarakat sebagai pihak paling dirugikan. Hal demikian bukan lagi dinamika politik di suatu daerah namanya, tapi lebih dari 'kejahatan pemerintahan' yang sengaja dibangun dalam sebuah peradaban.

Kebingungan itu terutama terjadi pada pemimpin yang lahir secara instan. Padahal seorang pemimpin pemerintahan harus lahir melalui proses panjang. Banyak yang harus dia lewati, rasakan, tanggungkan, hingga disebut rangkaian proses.

Jika seorang pemimpin lahir secara instan (tanpa pengalaman) maka dapat dipastikan dia akan bingung dengan apa yang harus dia perbuat. Pimpinan pemerintahan ibarat pilot sebuah pesawat, nahkoda atau sopir yang selain dituntut memiliki kemampuan, keteramapilan, dan pengalaman, dia juga harus memiliki ilmu pengetahuan dan penguasaan tekhnis.

Kalau pemimpin tidak dibentuk dan dipersiapkan secara baik maka kebingungan terus berlanjut. Hal itulah yang banyak terjadi saat ini sebagaimana saya amati, dengar dan pahami di setiap kesempatan diskusi di banyak tempat dan berbagai kesempatan. Akhirnya banyak daerah seperti tidak memiliki pemerintahan dan bersamaan dengan itu rakyat merasa tidak punya pemimpin. Semoga di Padangpariaman hal itu tidak terjadi.

Pengkaderan yang benar terhadap penyelenggaraan pemerintahan perlu dilakukan sedari dini.

Berhubung sistem pemerintahan, sistem politik kita sekarang sudah terbuka, sangat demokratis, maka setiap orang bisa menduduki jabatan-jabatan publik. Tapi kalau institusi utama sebagai tempat pengkaderan pejabat publik tidak menyiapkan diri, maka rencana dan program pemerintah yang telah dirancang dengan baik oleh birokrat tentu tidak akan mencapai hasil maksimal, karena tidak didukung oleh kepemerintahan di daerah yang kompeten.

Di sinilah peran partai politik memiliki fungsi rekrutmen untuk mempersiapkan kader-kadernya guna menduduki jabatan-jabatan publik baik sebagai anggota DPRD maupun sebagai kepala daerah.

Pemimpin baik dan bijak serta mengetahui tugas dan fungsinya, mestilah melalui proses. Pada masa era Orde Baru (kita ambil baiknya), seorang calon bupati misalnya, bukan muncul begitu saja, tetapi melewati proses penjaringan ketat dari mereka yang memang sudah melalui jenjang karier jelas serta pelatihan kepemimpinan cukup panjang. Jadi, pemimpin tidak instan dan sekonyong-konyong tampil. Anas Malik sebelum memimpin Padangpariaman setelah dia dianggap dan dinilai berhasil menjadi seorang strong leadership. Bukan dia yang menilai dirinya sendiri. Penilaian datang dari tokoh masyarakat, pejabat di daerah, dan atasannya di karier militernya.

Itu sebabnya jabatan-jabatan publik di saat itu, seperti anggota legislatif, atau kepala daerah itu umumnya dimonopoli oleh birokrat, apakah sipil atau militer sangat menekankan pada aspek pendidikan.

Karena pendidikan dan pelatihan berkaitan erat dengan jenjang karier, maka tidak mungkin ada orang begitu lulus sekolah, sepintar apapun dia akan langsung jadi kepala suatu instansi. Mereka harus memiliki jam terbang sebagai paramater dan alat uji.

Begitu pula, tidak mungkin ada seorang tamatan akademi militer, walaupun dia lulus dengan nilai rata-rata 10 langsung jadi komandan batalyon. Mereka harus mengikuti berbagai jenjang pendidikan untuk tiba pada jabatan di maksud. Pengurus simpul negara, dalam penegasannya tidak boleh instan.

Namun di kekinian, faktanya, untuk jabatan-jabatan publik siapa saja bisa masuk tanpa melalui suatu proses pendidikan yang diarahkan untuk jabatan itu. Sehingga tiba-tiba dapat saja seseorang muncul menjadi kepala daerah tanpa disiplin ilmu, kompetensi, hingga "cacat" integritas.

Apakah itu salah? Dalam sistem demokrasi di mana jabatan publik bersifat terbuka, tentu tidak. Tetapi yang jadi pertanyaan adalah apakah mereka telah dipersiapkan atau punya pengalaman memadai untuk memangku jabatan yang begitu strategis?

Disinilah peran partai politik melakukan pendidikan politik, melakukan kaderisasi menyiapkan kader-kadernya untuk menjadi pejabat publik. Partai politik sudah harus meneropong kader-kadernya, siapa yang potensial atau berbakat untuk menjadi anggota legislatif dan siapa saja berbakat menjadi pimpinann eksekutif, itulah yang dikader, diberi pemahaman, diberi ilmu tentang jabatan-jabatan akan diemban ke depan.

Berkaitan dengan itu maka ke depan seyogyanya tidak boleh lagi ada pimpinan, bupati misalnya, dicalonkan oleh partai politik tidak dipersiapkan dari awal. Parpol harus menyampaikan secara terbuka seluruh track record orang yang dicalonkan. Apa saja prestasi telah dicapai, dimana saja dia pernah berkiprah, apa kelemahan-kelemahannya, dari mana saja sumber harta yang dimilkinya, dan sebagainya.

Jadi setiap orang yang diajukan oleh parpol untuk jabatan-jabatan publik harus bersedia ‘di telanjangi’.

Seseorang dijagokan tidak lagi sekedar didasarkan atas popularitas atau kemampuan finansial belaka. Dengan kata lain, dibutuhkan kebesaran jiwa dari para elite politik untuk memberikan kesempatan kepada mereka yang mampu dan memiliki pengalaman, pendidikan memadai, dan rekam jejak yang baik dalam hal pemerintahan atau kemampuan kepemimpinan lainnya.

Sekedar sebagai perbandingan, dapat kita simak pada sistem rekrutmen calon pemimpin di Amerika Serikat. Misalnya saja Barack Obama yang bukan pemimpin partai. Namun, karena dia memiliki rekam jejak baik sejak dibangku perguruan tinggi, ketika dia jadi pengacara, serta saat jadi senator, maka Partai Demokrat merekrutnya menjadi calon presiden. Dan, ternyata rakyat Amerika percaya bahwa jika Obama memimpin mereka, ada harapan kehidupannya akan lebih baik. Karena memang di situlah sesungguhnya makna dari sebuah pemilihan, yakni pilihannya didasarkan atas harapan.

Dinegara-negara sudah maju, seperti Amerika Serikat, track record seseorang itu sudah terekam dengan baik. Beda dengan di Indonesia. Kita di sini belum ada input track record bagus, inilah kelemahan kita. Karena rekam jejak seseorang itu tidak diketahui, maka jangan heran jika kita tiba-tiba diperhadapkan pada calon pemimpin yang sekonyong-konyong muncul.

Di Amerika hal itu tidak mungkin. Tidak tiba-tiba. Contohnya Obama. Melalui proses konvensi internal partai yang panjang, rakyat Amerika mengetahui siapa Obama. Mereka tahu bahwa dia melalui karier sebagai pengacara dengan reputasi cemerlang. Dari pengacara kemudian dia menjadi senator rekam jejaknya juga bagus. Bahkan di mana dia pernah sekolah, bagaimana perilaku dan apa saja aktivitasnya selama sekolah, semua diungkap ke publik dan bisa diakses oleh seluruh orang Amerika.

Bahwa Obama pernah terlibat narkoba, itu dia akui. Ternyata di mata orang Amerika, itu bukan masalah. Yang penting Obama mengakui itu dan tidak menutupinya. Bagi orang Amerika, Obama adalah orang jujur sehingga dia patut jadi pemimpin.

Makanya, kalau kita mau pemimpin tidak instan maka ke depan sistem track record itu harus diterapkan dengan benar. Jadi, kalau ada seorang pengusaha maju menjadi calon kepala daerah, misalnya, harus diumumkan kepada masyarakat, si Anu latar belakangnya adalah pengusaha, usahanya dibidang ini. 


Ketika dia jadi pengusaha dia adalah pengusaha jujur, dia tidak pernah memanipulasi pajak, dia bukan pengemplang utang di bank, dia memberikan jaminan sosial tenaga kerja kepada karyawannya sehingga kalau karyawannya sakit tidak ada masalah. Begitu pula bila kandidatnya dari birokrat. Rekam jejaknya harus diungkap ke publik di mana saja dia pernah berkarier, bagaimana perilakunya selama berkarier, apakah suka pungli, apa saja prsetasi yang pernah dia raih, dan lain-lain.

Intinya, semua mesti jelas. Kandidat pemimpin yang ingin dipilih oleh rakyat, harus jelas rekam jejaknya. Segala kebaikan dan sukses, khususnya kejujurannya, dapat diketahui. Tidak ada ditutup-tutupi. Harus jujur. Semua harus direkam dan disampaikan kepada masyarakat, sehingga pemilih tidak seperti membeli kucing dalam karung. Artinya lagi, apa telah diperbuat bersangkutan selama hidupnya harus disampaikan ke publik, kalau dia misalnya pernah terlibat narkoba sampaikan kepada publik, nanti publik yang menilai.

Selain faktor kejujuran, juga dibutuhkan dari seorang pemimpin adalah tanggung jawab. Mengenai tanggung jawab ini, ada cerita bahwa Edward Kennedy tidak pernah lolos dari calon presiden Amerika Serikat hanya karena orang Amerika menilai dia tidak punya tanggung jawab. Sebabnya adalah pada saat mobil yang ditumpangi bersama sekretarisnya jatuh ke dalam sebuah danau, dia tidak berusaha menolong si sekretaris yang tidak pandai berenang sehingga mati tenggelam. Edward Kennedy menyelamatkan diri sendiri. Bagi orang Amerika, tindakan Edward adalah wujud dari tidak adanya rasa tanggung jawab. Orang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab tidak layak jadi pemimpin.

Setelah kejujuran dan tanggung jawab, maka hal lain diperlukan dari seorang pemimpin adalah kecerdasan. Jadi tuntutan kecerdasan hanya pada urutan ketiga dari seorang pemimpin. 


(Salam FA). (*rujukan tulisan dari berbagai sumber).
×
Berita Terbaru Update