Serupan pertama kopi di pagi ini merangsang simpul saraf kesadaran. Sebangun tidur acap saya renung-renung apa yang sudah saya lakukan di hari sebelumnya. Bagai orang mabuk tuak di saat sadar saja rasanya. Sudah benarkah, atau menurut saya saja yang benar. Dengan seteguk kopi hangat kuku yang saya dinginkan di tadahnya tadi, saya urut-urutkan rangkaian memori kesadaran, mencari bangsal kebenaran ke dalam nurani, sebagai kompas moral hidup yang saya jalani.
Acap saya berbuat salah, setiap itu pula saya sadari dan coba mengisolasinya. Kesalahan yang saya lakukan kadang saya syukuri pula bersebab di sanalah hikmah banyak saya perdapat.
Beberapa tahun terakhir saya mulai jauh dari sikap menganggap enteng oranglain. Saya tidak lagi melihat buku dari sampulnya. Sampul bagus terkadang strategi marketing menutupi kelemahan isi di dalamnya bak beberapa koran yang saya beli saat lampu merah di Jakarta kemarin. Sampul korannya berdengung-dengung, isi di dalamnya iklan tukang pijit plus lengkap dengan kata-kata 'tinggi putih padat dijamin puas, hubungi di nomor ini, saya akan menurut Anda'.
Selama empat hari di Jakarta bersama Ikhlas Bakri, Ketua PWI Pariaman, pelajaran sangat berharga saya dapati. Ingat saya dulu betapa orang mengatakan kenapa si Ikhlas Bakri dipilih orang jadi Ketua PWI. Di koran apa dia bekerja? dan banyak pula yang meragukan kapabilitasnya dalam menulis. Saya dulu cuma menjawab, jika dia dipilih memimpin sebuah organisasi sekaliber PWI pastilah dia punya kelebihan. Ternyata dugaan saya sangatlah tepat.
Ikhlas sangat talenta dalam menulis. Hal itu bisa dibaca dalam biography singkat mengenal wartawan piaman. Di situ Ikhlas menorehkan untaian kata begitu indah berjudul '...tiga kalender". Sebuah tulisan yang lahir dari mesin otak bertata kerja diteil.
Disamping itu, saya juga melihat dia seorang idealis yang menjunjung tinggi nilai moral. Tak sanggup saya mengiringi dia perihal idealisme. Jauh kalah saya dari dia dalam hal itu. Dari sejumlah organisasi yang dia pimpin, semacam SPSI, ORGANDA, apalagi PWI, tidak ada dia menumpang hidup dari sana. Dia tetap menjalani kehidupan sederhana dengan motor tuanya ke mana-mana. Dia berpantang banyak makanan, terutama yang berdarah (daging hewan).
"Rejeki itu sudah diatur, selama kita berusaha baik berkah itu pasti datang. Jika tidak langsung kepada kita, mungkin kepada anak-anak," sebut Ikhlas.
Saya percaya setiap nama yang diberikan orangtua kepada kita disertai harapan. Semisal Mukhlis Rahman, Mukhlis berarti orang yang ikhlas sedangkan Rahman orang pengasih. Mukhlis Rahman adalah orang yang ikhlas dan pengasih. Genius Umar, Genius artinya kecerdasan yang mampu menciptakan sedangkan Umar berarti pemimpin yang membawa kemakmuran. Itu setidaknya arti nama walikota dan wakil walikota Pariaman saat ini menurut pengetahuan saya. Silahkan koreksi jika salah.
Sedangkan Ikhlas Bakri dia sendiri yang mengubah namanya ketika dia mendaftar masuk sekolah dasar. Meski saya tahu alasan kenapa dia mengubah namanya, sebaiknya dia sendiri yang menjelaskannya nanti di dalam buku mengenal wartawan piaman cetakan kedua.
BBM saya berdenting bertubi-tubi menanyakan apa agenda saya ke Jakarta bersama Ikhlas Bakri selama empat hari. Pertanyaan semacam mengapa ke Kejagung, ke Dewan Pers dan ke Kemendikbud, itu yang hendak diketahui beberapa sahabat hingga pejabat seolah saya hendak mengadukan dia saja. Jawabannya sangatlah beragam. Bagi kami, tidak ada maksud yang tidak bertujuan, dan tujuan itu pastilah demi kebaikan. Kami bukanlah pendekar berwatak jahat yang acap menyergap di bukit tambun tulang yang dikenal sarang penyamun di novel Wiro Sableng.
Kedatangan kami ke tiga lembaga tersebut untuk menambah perbendaharaan wawasan kami. Memperbanyak relasi dengan menjalin tali silaturahim.
Kita hidup sesungguhnya sudah disediakan rel lintasan masing-masing. Di tiap persimpangan kita harus memilih salah satunya. Tinggal kita berkoordinasi dengan tukang engkol jalur rel tersebut sesuai arah dan tujuan kita. Kita selayaknya dituntut tidak boleh salah karena walau bagaimanapun panjangnya rel kereta api pasti ada ujung buntunya yang membuat kita terguling.
Tanpa maksud menggurui, marilah kita jaga kualitas hidup kita. Kualitas hidup yang memiliki pondasi tegas. Punya pembatas jelas antara benar dan salah.
Catatan Oyong Liza Piliang