Senja itu (Minggu 4 Oktober 2015) saya terbangun dari tidur siang. Letihnya saya usai meliput start etape II Tour de Singkarak di IKK Padangpariaman dari pagi hingga pulang langsung pula membuat berita dengan recording wawancara banyak narasumber agar kualitas sebuah reportase terjaga membuat tubuh mencari dipan. Berselang sesaat ponsel saya berdering, ada panggilan masuk dari tetangga mengabarkan terjadi peristiwa pembunuhan terhadap keponakan Ibu Reni Mukhlis, Rizky (14) anak sulung orang yang pula saya kenal Af Fadal, dia dikenal publik kemudiannya Aftoni Afdal.
Suara ditelpon sana sangat menyakinkan. Dia ungkapkan pula bahwa Reni yang merupakan Istri Walikota Mukhlis sudah berada di TKP, begitu pula Nita, Da Adiak, Da Temen, dll keluarga terdekat Af Fadal. Reni dan Nita dia sebut histeris, ratusan warga mengerumuni TKP begitu pula polisi. Mukhlis dia sebutkan terpaku dalam tatapan kosong. Terlihat tegar meski kesedihan mendalam terbaca dari tatapan matanya.
Kopi sisa seduhan pagi saya teguk kemudian melulur air putih secukupnya. Basahnya tenggorokan oleh kafein menjalari simpul neuron saraf kepala. Saya mencoba mengingat-ingat korban Rizky saat dia menyapa 'Pak' tiap kali berpapasan disusul senyum khasnya. Ingat pula saya akan sosok tinggi itu tidak berbeda dengan teman sebayanya saat membaur. Tidak sering memang, tapi cara dia menghormati saya hingga kini kadang masih terbayang. 5 menit waktu sudah berjalan. Saya pantau belum satupun postingan di beranda facebook mengenai peristiwa itu begitu pula TL di twitter hingga muncul postingan perdana di facebook oleh akun Muhardi Koto Uncu diujungnya pakai tanda tanya 10 menit kemudian.
Saat itu terniat oleh saya menelpon salah seorang komisaris pariamantoday.com Kardinal Feri. Nanang begitu dia disapa merupakan paman dari Rizki dimana ibu Rizki dan istri Nanang bersaudara kandung sama-sama putri Mak Tuan Hander tokoh masyarakat Pariaman yang memiliki reputasi hampir tanpa cela. Niat itu saya urungkan bersebab hal itu nanti membebani perasaannya di saat guncangan batin belum reda, dan saya pun sesungguhnya sudah mulai yakin 100 persen akan peristiwa itu nian benar adanya.
Banyak kemudian telpon panggilan masuk kepada saya dari warga Jati yang sudah berada di TKP mengabarkan situasi TKP, pun adapula menanyakan kebenaran kabar tersebut melalui bbm dan obrolan facebook. Hanya kepada orang sepantasnya saya jawab itu benar adanya.
Usai makan secukupnya saya menghambur ke luar hendak ke TKP mengendarai sepeda motor. Saya hubungi salah satu wartawan harian menanyakan di mana posisi dia saat ini dan rekan-rekan wartawan lainnya yang biasa ngumpul di Kantor PWI. Dari dia saya tahu semua wartawan di PWI sudah berada di sana sedangkan dia masih dalam perjalanan.
"Kapolres langsung olah TKP dan berencana bersedia diwawancarai," kata dia ditelpon.
Saat itu tidak seorangpun wartawan membuat status di akun facebook-nya tentang peristiwa besar itu. Mereka paham betul kode etik jurnalistik dan sebagai wartawan akun pribadi mereka sering pula diasumsikan sebuah produk jurnalis oleh kontak pertemanan mereka.
Sesampai di TKP saya langsung berkumpul di samping ruko tempat peristiwa pembunuhan itu terjadi tepatnya bengkel cat mobil. Jarak antara rumah saya dan TKP jika lewat jalur pintas tidak sampai 500 meter. Eki, kontributor SCTV menyambut saya dan adik-adik wartawan harian, online dan televisi. Percakapan diantara kami antara senior dan junior lebih tepat briefing sebelum membuat berita karena subjek berita kali ini dipastikan menjadi headline. Pada kesempatan itu kami sepakat jangan wawancarai ayah korban karena bisa dibayangkan betapa terpukulya dia akan kejadian itu. Kesimpulannya meliput berita sesuai amanah jurnalistik tanpa mengabaikan sisi humanisme. Narasumber utama adalah Kapolres Pariaman AKBP Riko Junaldi, S.IK.
Memasuki halaman ruko penuh sesak warga saya bertemu Sekdako Pariaman Armen. Teman-teman wartawan saya persilahkan duluan. Armen merunut kronologis peristiwa penemuan jasad Rizki oleh keluarga kepada saya dalam percakapan itu bukan dalam kapasitas wawancara. Sekda Armen di setiap kesempatan saya posisikan bukan dalam kapasitas narasumber karena dalam beberapa kesempatan kami bicara tentang hobi, membahas kebijakan hingga hanya sekedar bercanda kadang kala.
Lepas itu, menembus kerumunan massa saya masuk ke ruko yang dibatasi police line dan seorang anggota polisi menjaga pintu masuk. Dia mempersilahkan saya masuk sambil mengatakan sekarang sedang berlangsung wawancara antara Kapolres dan awak media di lantai bawah yang langsung terlihat oleh saya di depan pintu masuk. Saya pun membaur seketika mengeluarkan recording dan mengajukan pertanyaan langsung kepada Kapolres dan dijawabnya sesuai olah TKP. Kapolres hanya menyimpulkan hasil dari olah TKP sementara yang pada esok harinya headline di koran-koran harian, televisi nasional dan lokal.
Usai dari TKP para wartawan yang biasa mangkal di Kantor PWI itu langsung mengerjakan beritanya di Kantor PWI yang dilengkapi sarana komputer dan Wifi. HP mereka acapkali berdering oleh desakan redaksi agar cepat melengkapi data berupa foto korban. Suasana bagai di ruang lantai bursa saham saat itu.
Sesaat mereka memandang ke arah saya. Salah satu dari mereka memberanikan diri bertanya, kenapa saya masih diam saja dan belum membuat beritanya. Saat itu batin saya bergulat hebat. Ini kali kedua saya tidak mempublikasikan peristiwa pembunuhan di mana saya memiliki data reportase lengkap. Pertama peristiwa pembunuhan istri oleh suaminya di Sungai Limau di mana mandeh (saudara kandung ibu) korban itu adalah tetangga saya sendiri dan kenal baik dengan saya. Setiap hendak mulai menulis beritanya tangan saya selalu bergetar. Sudut pandang saya dalam mereportase peristiwa saya khawatirkan akan menambah kesedihan keluarga korban yang merupakan tetangga saya sendiri. Akhirnya berita itu tidak pernah saya terbitkan namun selalu memantau perkembangannya baik langsung bertanya kepada Kapolres maupun sesama rekan wartawan yang biasa meliput berita peristiwa kriminal.
Apalah jawab saya akan pertanyaan rekan barusan sebenarnya hingga kini belum terjawab penuh oleh saya sendiri. Saya hanya menjawab sepatutnya saja agar mereka mengamini. Jujur saya katakan sesampai di rumah sudah beberapa alinea berita saya ketik, kemudian saya terpeluh dibuatnya dan keluar sesaat menghirup udara segar. Saya berputar-putar di taman rumah yang sempit ditemani rokok yang entah kenapa hilang rasanya.
Sesaat kemudian saya telpon Kardinal Feri. Dari dia saya dapat fakta baru bahwa jenazah Rizki urung di otopsi ke RS Bhayangkara di Padang. Jika itu saya jadikan bahan berita pula tentu dari semua berita yang headline ke esokan harinya di surat kabar harian yang mengatakan jasad Rizky di bawa ke RS Bhayangkara sebagaimana kutipan Kapolres terbantahkan. Saya lebih memilih menghubungi beberapa wartawan tentang keputusan pihak keluarga tersebut namun sayangnya berita mereka sudah masuk redaksi dan siap cetak, belum lagi beberapa diantaranya sudah berniat hendak tidur saking kantuknya dini hari itu.
Pihak keluarga lain yang saya hubungi adalah Uncu Latif sepupu ayah Rizki yang selama ini disebut berseberangan dengan keluarga besar Af Fadal. Dari penuturannya yang panjang saya memastikan Latif sangat terpukul akan peristiwa itu. Suaranya serak melawan kesedihan yang dia pendam. Dia sangat menyayangi Rizki meski komunikasi dengan adiknya (Af) dalam pasang surut. Kalimat-kalimat yang dia tuturkan, perasaan yang dia ungkapkan membuat saya merenung. Alinea berita itu kemudian saya delete dan tidak pernah menjadi konsumsi publik.
Esok harinya saya bertemu wartawan senior Armaidi Tanjung. Kepada dia saya ungkapkan benar atau salah kah apa yang saya lakukan sebagai seorang jurnalis dengan tidak menerbitkan dua peristiwa besar karena alasan sentimentil. Dengan tegas Armaidi Tanjung mengatakan bahwa seorang wartawan diperbolehkan mendengarkan suara hati nuraninya dan dia pun pernah mengalami hal serupa saya.
Catatan Oyong Liza Piliang