Pembangunan batu grip atau batu pemecah ombak (breakwater) merupakan solusi utama mengatasi gelombang sambung dan erosi pantai karena mampu menyerap sebagian energi gelombang dan ombak. Namun pembangunannya mesti menyeluruh di semua kawasan potensi ancaman, jika tidak, energi yang ditahannya akan dialihkan ke kawasan terdekat.
Batu grip/pemecah gelombang dikelompok dalam dua kategori. Pertama digunakan untuk mengendalikan abrasi yang menggerus garis pantai dan kedua untuk menenangkan gelombang di pelabuhan sehingga kapal dapat merapat di pelabuhan dengan lebih mudah dan cepat. Pemecah gelombang untuk pelabuhan atau dermaga harus di desain sedemikian rupa agar arus laut tidak menyebabkan pendangkalan karena pasir yang ikut dalam arus mengendap di kolam pelabuhan. bila hal ini terjadi maka pelabuhan perlu dikeruk secara reguler.
Untuk Kota Pariaman, pemasangan batu grip abrasi pantai sudah mencapai hampir 100 persen dari panjang garis pantai yang dimilikinya (Pariaman Selatan-Tengah dan Utara). Ganasnya ombak di kala pasang naik yang menghantam pemukiman warga dahulunya kini mulai surut menjauh. Bahkan bibir pantai yang menyasak sekarang menyusut menyisakan area baru.
Pemasangan batu grip di Kota Pariaman baru dilaksanakan pemerintah saat perubahan pola musim laut (ocean tide sesion) secara ekstrim dan terus menerus yang terjadi di penghujung tahun 1990-an. Kala itu banyak rumah penduduk di sepanjang pesisir pantai digusur paksa sapuan ombak yang tiada surut. Satu persatu bangunan, fasilitas umum dipunahkannya tanpa perlawanan. Pantai Gandoriah kala itu merelakan separuh kawasannya 'dirampas'. Jalan-jalan setapak yang dimilikinya memilih pergi meninggalkan Gandoriah mengikuti ombak sang prajurit terdepan kerajaan lautan penguasa separuh kawasan republik ini.
Bencana abrasi di sepanjang bibir Pantai Pariaman seiring waktu secara bertahap mulai teratasi meskipun belum dalam prosentase penuh.
Kurang lebih 400 meter dari Muaro Nareh, di Desa Balai Nareh, Kecamatan Pariaman Utara yang merupakan batas kota dengan kabupaten terjadi peristiwa abrasi pantai yang menggerus dan robohkan pondasi belakang rumah hunian milik warga, Senin (31/8). Menurut pengakuan Dasril (66) pemilik rumah terkena dampak abrasi, kawasan hunian warga di mana dia bermukim bersama warga lainnya, baru kali ini peristiwa tersebut terjadi.
Dulunya, Dasril menuturkan, bibir pantai jauhnya lebih seratus meter dari belakang rumahnya hingga hak atas kepemilikan tanah diakui negara melalui terbitnya sertipikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Bahkan bibir pantai tempat para pemuda bermain bola, juga galangan pembuatan kapal nelayan. Mula pasang laut dan gejala abrasi, lanjutnya, sudah terlihat sejak bulan puasa lalu pasca pembagunan batu grip yang tidak menyeluruh hingga ke kawasan tempat tinggalnya.
"Kami tinggal di ujung batas pembangunan batu grip. Ombak yang tertahan di batu grip tersebut punya daya arus kuat ke arah sini. Di sana ombak tertahan, ke sini dia menghempas disertai arus kuat sehingga mengakibatkan abrasi dalam kurun waktu cepat," kata Dasril yang pondasi pagar belakang rumahnya roboh akibat dihantam ombak pasang.
Walikota Pariaman Mukhlis Rahman saat meninjau ke lokasi kejadian bersama pimpinan DPRD Kota Pariaman dan Anggota beserta jajaran SKPD mengaku sangat memahami apa yang dirasakan warga. Mukhlis meminta warga mengungsikan diri terlebih dahulu dibanding tetap bertahan di rumah karena mengancam keselamatan jiwa.
"Rumah dapat dibangun kembali, dan pemerintah tidak akan tinggal diam (bantu membuatkan rumah penduduk yang rusak akibat bencana alam). Nyawa lebih penting, di atas segala-galanya," kata Mukhlis, saat warga melaporkan langsung peristiwa yang mereka alami kepadanya.
Mukhlis mengatakan telah memerintahkan jajarannya membuatkan tenda pengungsian untuk hunian warga sementara secepatnya. Menurut Mukhlis, pembangunan batu grip akan segera dilaksanakan di kawasan tersebut untuk bentengi kawasan hunian warga dari ancaman abrasi pantai.
"Sekarang tidak ada yang bisa kita lakukan. Ini kekuatan alam. Jalan satu-satunya hanya dengan membangun batu grip secepatnya. Ombak tidak bisa dilawan dengan karung berisi pasir pagar pembatas, pohon dan beton saja dia tumbangkan apalagi karung-karung pasir," kata Mukhlis kepada warga yang minta dibuatkan pembatas sebagai langkah antisipatif.
Sementara itu, Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Asrizal, mengatakan pemasangan batu grip abrasi untuk Kota Pariaman terakhir dilakukan pada tahun 2014. Saat itu, kata dia, tim dari Balai Wilayah Sungai V (BWS V) mengukur hingga ke batas kota. Artinya direncanakan pembangunan batu grip sepenuhnya termasuk wilayah yang sekarang terkena dampak abrasi.
"Karena terkendala batasan dana yang bersumber dari APBN pembangunan batu grip hanya sampai di sini (batas ujung batu grip). Peristiwa ancaman abrasi yang akan terjadi seperti sekarang ini sudah kita laporkan jauh hari, kemudian surat tertulis juga kita lampirkan termasuk ke BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Dan Alhamdulillah mereka (BWS V) telah turunkan tim ke sini cek langsung dampak abrasi dan sudah menyusun program penanganan," kata Asrizal.
Dia menuturkan, pemerintah daerah ingin solusi abrasi diatasi secara permanen, bukan langkah pencegahan reguler.
"Kita desak secepat mungkin dilakukan pembangunan dan masyarakat diharap bersabar karena yang dibelanjakan (BWS V) adalah uang negara. Tentu mereka hati-hati," tutup Asrizal.
OLP