Penulis di lokasi longsor tambang batubara Sawahlunto
Ramadhan tahun ini tidak jauh beda dengan tahun yang lalu. Suasana jelang ramadhan di Pariaman selalu sama. Semacam pekuburan ramai dikunjungi peziarah seminggu jelang puasa. Sanak keluarga memanjatkan doa buat almarhum orang yang mereka cintai, kemudian bersih-bersih area makam. Meski setahun sekali cukuplah itu daripada tidak. Pemuda setempat terkadang dibayar membersihkan makam, tidak mutlak mereka kerjakan sendiri.
Bulan puasa hari pertama di Pariaman selalu tidak serentak. Penganut Satariah, NU, Muhammadiyah dan Nahsyabandiah punya rujukan tersendiri. Di Ulakan sekitarnya dan Sungai Sariak umumnya ada ritual maniliak bulan oleh para Kyai. Adat seperti itu turun temurun disakralkan hingga saat ini.
Jika hari pertama puasa nasional jatuh pada 18 Juni, bisa saja penganut paham Satariah sehari atau dua hari setelahnya. Semua hal biasa yang tidak patut diperdebatkan. Dari dulu hingga kini selalu begitu. Pasar kuliner di Tiram masih ramai berjual beli di hari pertama puasa nasional, begitu juga sala-menyala terpajang dijajakan di area Makam Syekh Burhannuddin di Ulakan pada hari itu. Saya bersama teman sengaja memantau fenomena umum tersebut di hari pertama puasa nasional.
Melihat suasana penyantun di panti asuhan jelang ramadhan juga saya lakukan. Tidak ada dan hampir sama saja hari biasa jumlah daftar tamu berkunjung saat buku penyantun saya sibak. Kesadaran masyarakat kita menyantuni anak yatim seharusnya lebih ditingkatkan. Bayangkan jika di sana seumpama anak kita. Menunggu uluran tangan buat makan dan kebutuhan sehari-hari mereka dari kemurahan hati orang. Mengingat ini saya selalu menangis. Rejeki mereka tak semudah anak saya. Baju yang mereka kenakan lebaran nanti tidak bisa mereka pilih sesuka hatinya. Mereka di sana perlu uluran tangan kita. Mereka berharap tanpa suara.
Sebagai umat muslim biasakanlah berbagi, baik secara materi maupun luar dari itu yang bermanfaat. Orang yang rajin bersedekah dibukakan pintu rejekinya. Orang yang kikir, pelit, kuduk berlubang dijauhkan rejekinya dari nilai keberkahan. Setidaknya ajaran itu pernah saya dengar saat rajin bertadarus oleh guru mengaji saya dulu masa saya tinggal di Pekanbaru kala usia belasan. Ajaran yang menurut saya benar selalu saya amalkan hingga kini.
Guru mengaji saya berkata, sifat orang bisa dilihat dari bentuk fisiknya. Hewan juga begitu. Ayam kuriak dikenal pantang menyerah meski kalah berkali-kali. Orang perburu mengenali ciri anjing lemah mental. Mengingat apa yang dikatakan guru saya, saya rajin mengamati sifat manusia yang terpapar dari raut mukanya. Guru saya bukan orang biasa. Dia selain guru mengaji juga hapal palmistri, faham filsafat, astrologi hingga membaca tahi lalat dan raut muka.
Dia pernah berkata jangan terlalu dekat dengan orang yang lubang hidungnya sangat sempit lagi berkumis tebal. Dia mengartikan orang tersebut sangatlah kikir. Hidung sempit dia artikan kikir, kumis tebal pembatasnya dia artikan orang tersebut tidak ikhlas bila rejekinya mengalir ke oranglain tanpa imbalan. Saya pernah menemukan orang seperti itu. Entah bagaimana bersebab, apa yang dia tuturkan 100 persen benar adanya. Orang seperti ini tidak akan pernah mengisi buku penyantun panti asuhan.
Adapula orang berwajah tanpa dosa. Bicaranya pelan tapi sinis. Mengernyit keningnya jika bicara. Orang seperti ini sangatlah licik. Dia hendaknya menang di dia saja. Apa yang dia ucapkan ke kita lain pula ke orang lain. Bagi dia jika ada orang yang memenuhi segala kehendaknya selalu dia puja. Tiada banding orang itu di matanya. Orang seperti ini suka bergelayut pada orang berkuasa. Gayutannya tak lepas lepas, siapa yang hendak menggapai pegangannya akan dia sentak dengan kakinya. Dia hendak tunggal berada di sana. Orang serupa ini pernah pula saya temui. Wajah dia hanya ramah pada atasannya saja. Begitu pula tutur katanya.
Ilmu bermanfaat bisa datang dari mana saja. Dari guru, teman sejawat, buku, bahkan dari anak kecil hingga ke orang kurang akal sekalipun. Ada nilai-nilai ilmu di mana saja bagi kita yang mau memahaminya. Pengalaman merasakan dan pengalaman melihat memberikan anasir bagi orang yang mau berfikir. Tidak cukup umur kita jika semua ilmu berdasar pengalaman hidup kita semata tanpa menjadikan pengalaman orang lain sebagai rujukan. Kita tidak akan mau menempuh jalan yang nyata-nyata pernah ditempuh orang dan ternyata dia tersesat di sana.
Di bulan puasa jadikanlah ladang amal bagi kita. Tutur kata, perangai, hingga murah memberi jika kita berlebih dari oranglain. Berzakat memang dituntut wajib sekali setahun saja. Tapi jika kita tergolong orang mampu hendaknya perseringlah berzakat di luar itu karena orang miskin kebutuhannya tidak hanya sekali setahun saja. Panti asuhan adalah tempat paling tepat untuk disantuni. Banyak sekali anak-anak bangsa butuh uluran tangan di sana.
Catatan Oyong Liza Piliang