Sejumlah lembaga survei sudah mulai mengeluarkan “rapor” para menteri. Survei keterkenalan, kesukaan, dan kepopuleran itu menunjukkan antusiasisme publik dalam melihat kinerja kabinet. Masalahnya, survei popularitas bukan ukuran pas untuk menilai berhasil atau gagal menteri bersangkutan. Ada menteri-menteri yang memang siap tidak populer, termasuk berseteru dengan parlemen. Ada juga menteri-menteri yang bekerja dalam diam, tanpa perlu banyak promosi.
Mayoritas menteri dalam Kabinet Kerja tidak berpengalaman di kabinet. Presiden juga tidak berpengalaman sebagai kepala negara. Hanya Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa menteri yang berpengalaman diposisinya, walau ada yang berbeda. Sebagian menteri malahan berasal dari pihak yang berada di seberang kabinet, yakni duduk sebagai anggota parlemen atau berasal dari kalangan profesional yang kritis terhadap cara kerja menteri. Lainnya akademisi yang terbiasa dengan pemikiran jangka panjang.
Kabinet pada prinsipnya adalah kabin sebuah pesawat yang sedang mengudara. Pilot dan Co Pilotnya presiden serta wapres. Sementara kabin berisi para pramugari dan pramugara yang bertugas melayani penumpang atau menjadi jembatan antara cockpit dan penumpang. Kabinet sejatinya berisi kru terlatih yang bekerja secara team (teamwork). Semakin kritis keadaan, semakin diperlukan kerja sama di kalangan pekerja kabin (kru).
Maka, agak janggal bila satu kru lebih terkenal dari lainnya dalam kerja kabinet. Kabinet bukan ajang kompetisi para kru. Kabinet berada dalam ruang kerja sama yang membutuhkan kekompakan. Apalagi, tiap-tiap kementerian tidak bisa lepas dengan kementerian lain. Pembagian kerja memang ada, tetapi tidak sepenuhnya terlepas satu dengan lainnya.
Ketika Kabinet Kerja berisi sejumlah pos yang sama sekali baru atau gabungan dari kementerian sebelumnya, masalah awal langsung terlihat. Para menteri terlebih dulu menunggu pengesahan secara kelembagaan. Butuh waktu lumayan untuk mengesahkan struktur kelembagaan yang ideal. Belum lagi para pejabat di kementerian yang baru atau hasil penggabungan itu, membutuhkan waktu juga untuk kepastian penempatan. Apalagi para pejabat tidak bisa langsung ditunjuk dan dilantik, melainkan wajib melewati seleksi secara terbuka.
Belum lagi masalah anggaran. Bagaimanapun, politik anggaran masih berada di DPR. Tanpa persetujuan parlemen, anggaran kementerian tidak bisa langsung digunakan. Proses ini juga memakan waktu. Kertas-kertas anggaran yang bergeser-geser dari satu tempat ke tempat lain bisa menghentikan kegiatan kementerian. Pembicaraan harus dilakukan dengan beragam pihak, baik di dalam kementerian, antarkementerian, maupun antara kementerian dan DPR. Bahkan setelah disetujui DPR pun diperlukan lagi proses pencairan yang tidak bisa cepat.
Rezim Lama
Bagi kementerian lama yang sama sekali tak terganggu dengan penggabungan atau penambahan, anggaran bisa langsung digunakan untuk melaksanakan program-program yang sudah dicanangkan. Tetapi bagi kementerian baru atau hasil penggabungan dan penambahan, anggaran memerlukan satuan-satuan kecil lebih rinci. Sementara, publik kian kritis, langsung mengajukan tuntutan atas janji-janji kampanye yang sudah disampaikan secara terbuka.
Untuk itu, wajar saja ketika publik merasa kurang puas dengan kinerja para menteri. Bagaimana bisa puas, ketika menteri-menteri sama sekali masih menghadapi sejumlah persoalan dalam menjalankan tugas-tugasnya? Perubahan nomenklatur kementerian yang radikal, bisa menghambat proses pelaksanaan pekerjaan. Perubahan visi pemerintahan juga membawa implikasi terhadap program-program unggulan baru yang membutuhkan dukungan birokrasi.
Belum lagi beban dari pemerintahan sebelumnya. Dalam masalah hukuman mati, misalnya, sebetulnya berada dalam lingkup beban pemerintahan yang berjalan akibat pemerintahan sebelumnya menunda-nunda eksekusi. Para terpidana hukuman mati berasal dari keputusan-keputusan hukum pemerintahan sebelumnya. Pemerintahan baru hanya menjalankan kalender hukuman mati tersebut. Stigma betapa pemerintahan baru lebih kejam dari pemerintahan sebelumnya muncul, ketika eksekusi akhirnya dilaksanakan. Padahal seluruh proses hukumnya berasal dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Justru yang kurang adalah rapor pemerintahan sebelumnya guna dipelajari rezim berjalan. Jarang sekali ada buku dari menteri-menteri lalu, ketika mereka menyelesaikan masalah-masalah pemerintahan. Rapor-rapor para menteri seyogianya berada dalam satu paket buku berisi pengalaman bersama ketika menghadapi krisis atau dalam keadaan normal.
Jangankan untuk menulis rapor yang baik, sejumlah menteri rezim lalu malahan menjadi tersangka dan terpidana kasus korupsi. Siapa pun menteri yang menggantikan, terlebih dulu berhadapan dengan trauma psikologis, betapa mereka juga harus benar-benar bebas dari kejadian serupa ketika bekerja.
Bagi menteri-menteri dari satu partai politik, lalu mengisi kementerian yang sama dengan politisi partainya, lebih mudah dalam menyesuaikan diri. Menteri-menterinya bisa langsung bekerja dengan panduan langsung rekan separtainya. Sementara, menteri-menteri yang tidak berpartai atau berbeda partai, tentu kesulitan bertanya urusan pekerjaan kementerian, ketika menjalankan tugas. Proses mentoring berlangsung dalam meja politik. Sementara menteri-menteri baru, harus betul-betul menyesuaikan diri dengan lingkungan kementerian, belum lagi stigma bakal membawa birokrat-birokrat baru yang berbeda dengan sumber daya kementerian masing-masing.
Agar masalah-masalah seperti itu tidak lagi ditemui, sebaiknya memang para menteri yang sudah tidak lagi menjabat menyusun semacam buku putih. Di dalamnya dinukilkan masalah-masalah utama, serta pengalaman langsung ketika menjalankan agenda kementerian. Perubahan pemerintahan bisa berakibat fatal di mana rezim baru tidak dapat suasana yang kondusif untuk bekerja. Bagi sosok menteri yang mudah menyesuaikan diri, tentu kendala-kendala ini bisa diatasi. Rata-rata kalangan politisi bisa lebih mudah menyesuaikan diri. Tetapi bagi lainnya, dibutuhkan waktu untuk belajar secara cepat.
Dengan demikian, tidak mudah untuk mendesak reshuffle kabinet. Masalahnya sama saja, apakah menteri-menteri baru yang akan menggantikan, sudah benar-benar bisa langsung bekerja? Ataukah diperlukan waktu lagi untuk menyesuaikan diri, terutama mempelajari sumber daya manusia. Ini termasuk kelembagaan-kelembagaan dalam tubuh birokrasi yang berbeda sama sekali dengan dunia profesional ataupun partai politik.