Membangun dunia kepariwisataan erat kaitannya dengan public relation atau serupa ilmu komunikasi publik. Pariwisata adalah internasionalisasi yang artinya mengubah sebuah kawasan menjadi terbuka untuk umum. Pariwisata juga adalah image atau terkait erat dengan sebuah citra, bukan pencitraan. Wisata Pariaman dominan pantai dan segala yang terafiliasi dengannya seperti diving, snorkeling, jelajah laut baik permukaan maupun ke isi perutnya harus dikemas dengan baik. Harus ada standarisasinya. Orang akan tahu siapa kita jika kita memiliki identitas jelas. Identitas yang kabur membuat orang manggau.
Identitas pariwisata di Kota Pariaman haruslah jelas si "Upiak si Buyuangnya". Kemana arah dan tujuannya. Apakah hendak dijadikan wisata alami berbasis lingkungan yang tentunya ditata dengan bersih asri atau wisata modern dengan konsep bahari. Semua harus jelas dan mengerucut ke satu titik, tidak boleh ngambang.
Jika Pantai Pariaman dikenal dengan pasir pantainya yang indah jangan pula pasir pantai itu diubah jadi area berjalan kaki yang di beton atau di aspalkan dengan dalih apapun. Pasir pantai tidaklah murah. Orang brazil sampai membeli pasir ke negara lain untuk mereklamasi bibir pantainya yang "semi" menjadi natural. Hendaknya belajar dulu sebelum memutuskan sesuatu.
Dua tahun belakangan ini memang diakui geliat ke arah sana (kemajuan wisata) dalam tahap berkembang. Membuat bangga memang. Sarana dan prasarana mulai dibangun bertujuan untuk mendukung atau menyokong keberadaan yang telah ada, meski ada juga kata orang yang mubazir. Namun, jangan lupa, membangun dunia pariwisata terlebih utama adalah sumber daya manusia (SDM) sebagaimana kalimat pembuka dalam tulisan ini.
Apa guna pemandangan indah, kuliner enak, anginnya sepoi, jika wajah penunggunya tak ramah. Wajah Hansip istilahnya. Orang hanya akan datang sekali saja untuk sekedar tahu pengisi penasarannya. "Ooo.. Ini Pariaman.." dengan sejumlah ujung kalimat.
Semoga hal itu tidak pernah terjadi dan jangan sampai terjadi. Pariaman harus maju terus. Tak boleh melihat ke belakang dan pengaruh pameo negatif lainnya. Semuanya harus kita ubah. Stigma negatif harus menjadi positif.
Aksi nyata harus dilakukan sesegera mungkin untuk menata wisata Pariaman untuk menciptakan sebuah standar. Baik itu kaitannya perongkosan ke sebuah objek, ataupun pula harga dan kualitas kulinernya yang masyur itu.
Mayoritas masyarakat Pariaman yang dikenal egaliter kata orang susah disatukan persepsinya. Hal itu saya tak sependapat. Orang Pariaman adalah orang yang kompak jika diajak baiyo. Orang Pariaman hanya kompak di rantau, ranggang di ranah, ada pula saya mendengar kalimat seperti itu. Saya juga tidak sependapat. Saya selalu tidak sependapat dengan sebuah kalimat yang mengandung aura pesimis.
Kualitas SDM masyarakat Pariaman sebenarnya secara alamiah sudah tinggi. Mereka cerdik, meski saling "badugo cadiak" yang kadang merugikan sebuah komunitas untuk mencapai tujuannya karena sebuah keputusan tentu saja tidak bisa mengakomodir semua kepentingan. Itulah PR kita bersama.
Membangun dunia pariwisata tidak sudah hanya dengan bercakap-cakap saja tanpa ada tindakan aksi nyata. Semua orang mudah saling menyalahkan, namun sedikit memberi masukan dan solusi. Akhir kalimat, IMPIAN memang tidak menjamin kesuksesan, tapi tanpa Impian jangan pernah mimpi bisa sukses. Marilah kita bersama-sama bermimpi besar untuk memajukan dunia pariwisata di Pariaman yang sudah dimodali Tuhan alam yang indah dengan segala pendukungnya secara gratis.
Oyong Liza Piliang