Mahkamah Partai (MP) masih merupakan wadah yang relatif baru di dalam tubuh partai politik di Indonesia. Lembaga ini tidak begitu diketahui perannya, dalam penyelesaian perselisihan di kalangan partai politik. Barulah ketika Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Jakarta Barat mementahkan gugat-menggugat antara kubu DPP Partai Golkar versi Musyawarah Nasional (Munas) Bali dan Jakarta, peranannya diperhitungkan.
MP bahkan langsung menduduki posisi terhormat, setelah Mahkamah Partai Golkar melakukan persidangan yang memberikan legitimasi kepada DPP Partai Golkar versi Munas Jakarta. Hanya saja, putusan MP itu memicu tafsiran-tafsiran hukum yang lain, sehingga disengketakan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sengketa hukum ini makin membuka wujud dari MP yang sebelumnya sama sekali kurang dilirik.
MP hadir dalam UU Nomor 2/2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor2/2008 tentang Partai Politik. Pasal 32 UU Nomor 2/2011 ayat (1) menyebutkan bahwa perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART. Sementara ayat (2) menyebut: penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik. Selanjutnya ayat (3) mengatur bahwa susunan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik kepada Kementerian.
Munculnya MP merupakan buah pikir dari legislator yang duduk di DPR RI yang sama sekali tak menghendaki lagi peranan terlalu besar dari pemerintah (dan pengadilan) dalam menyelesaikan perselisihan partai politik. Selama ini, apabila perselisihan itu terjadi, pemerintah dianggap memiliki peran dalam melakukan intervensi, baik dalam kerangka membonsai partai politik yang bersangkutan atau memenangkan salah satunya. Politisi di DPR RI memasukkan MP – yang disetujui pemerintah – guna menghindari ketergantungan partai politik terhadap pemerintah, termasuk lembaga peradilan.
Hakikat partai politik adalah konflik, baik dalam artian ideologis, administratif, sampai yang bersifat kebijakan. Konflik itu berlangsung di dalam dan diluar partai politik, baik sesama anggota ataupun antara anggota dengan pengurus atau bahkan dengan partai politik lainnya. Keterlibatan dari pihak luar, cenderung dicurigai bakal melemahkan partai politik. Sehingga, MP menjadi jalan keluar, guna menyelesaikan masalah sendiri. Partai politik mendewasakan diri dengan cara mengelola perselisihan secara lebih beradab. Apalagi, partai politik sudah menjadi sumber kehadiran pemimpin-pemimpin negara dan pemerintahan, dalam bentuk pemilu dan atau pemilukada.
Lalu, apa yang dinamakan dengan perselisihan partai politik itu? Penjelasan pasal 32 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “perselisihan Partai Politik” meliputi antara lain: (1) perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan; (2) pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik; (3) pemecatan tanpa alasan yang jelas; (4) penyalahgunaan kewenangan; (5) pertanggungjawaban keuangan; dan/atau (6) keberatan terhadap keputusan Partai Politik.
Kehadiran MP memperkuat independensi partai politik. Tidak lagi mudah bagi pemerintah untuk memenangkan salah satu kelompok dalam partai politik, tanpa partai politik itu sendiri menyelesaikannya. Justru aneh, apabila keputusan MP dianggap mewakili kepentingan pemerintah, mengingat sosok-sosok hakim dalam MP merupakan hasil pilihan dari partai politik itu sendiri. Sebagai orang-orang pilihan, tentunya mereka yang menduduki posisi sebagai anggota MP sudah dianggap memiliki kompetensi yang mumpuni guna menyelesaikan perselisihan.
Pengalaman Partai Golkar dalam menyelenggarakan persidangan yang dilakukan MP barangkali akan menjadi contoh yang baik bagi semua partai politik. Apalagi putusannya ternyata dipertimbangkan dengan sangat baik oleh pemerintah, terutama lewat surat yang dikirimkan Kemenkumham kepada DPP Partai Golkar hasil Munas Jakarta. Kemenkumham hanya menyalin kembali apa yang sudah diputuskan oleh MP, sekalipun masih menuai tafsiran berbeda di kalangan ahli-ahli hukum tata negara ataupun kalangan pengacara.
Perbedaan pendapat di dalam tubuh MP dalam mengambil keputusan tentulah manusiawi. Apalagi, MP belum memiliki banyak pengalamanan dalam menyelesaikan perkara berupa perselisihan kepengurusan. Kader-kader partai politik yang dipecat juga sama sekali belum pernah sekalipun melakukan gugatan terhadap kepengurusan yang memecatnya. Sehingga, seulit sekali mendapatkan gambaran tentang eksistensi persidangan yang dilakukan MP. MP Golkar cenderung berhasil dalam melakukan persidangan, antara lain dibantu dengan eksistensi lima hakim yang memiliki gelar sarjana hukum, selain berpengalaman di dalam tubuh legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Ke depan, peranan MP ini diperkirakan bakal berkembang. Sehingga, perlu disusun tata-cara persidangan tersendiri yang tentu berbeda dengan pengadilan umum, maupun persidangan di Mahkamah Konstitusi, misalnya. Diperlukan diskusi yang lebih serius lagi guna menjadikan MP sebagai lembaga yang dihormati, baik di internal partai politik, maupun eksternal. Begitupula, kedudukan anggota-anggota MP tentu semakin diperhitungkan. Sebagai “hakim pertama dan terakhir” di tubuh partai politik, seyogianya MP berisi kalangan yang memiliki integritas tinggi.
Begitupula dari sisi legitimasi, sebaiknya anggota MP dipilih secara langsung oleh peserta forum pengambilan keputusan tertinggi partai politik, baik berupa kongres, muktamar, musyawarah nasional ataupun sebutan lainnya. Forum itu tidak lagi menjadi ajang bagi pemilihan ketua umum (sebutan lain), melainkan juga memilih anggota-anggota MP. Dengan legitimasi sekuat itu, hanya forum pengambilan keputusan serupa yang bisa menggantikan anggota MP, terkecuali yang bersangkutan mengundurkan diri atau meninggal dunia.
Pentingnya MP ini menunjukkan satu langkah lagi menuju partai politik moderen di Indonesia. Hanya saja, lembaga ini perlu diperkuat, sekaligus juga diberikan hak-haknya secara lebih. Jangan sampai lembaga ini justru menjadi tempat menyusupkan kepentingan kelompok yang menguasai partai politik, berdasarkan hak prerogatif ketua umum (sebutan lain) terpilih. Dengan MP yang baik dan terhormat, perselisihan apapun bisa diselesaikan secara dewasa, sehingga konflik kepartaian bisa diminimalisir.
Indra Jaya Piliang