Indra Jaya Piliang (IJP) bersama Kapolda Banten Brigjenpol Boy Rafli Amar
Suara-suara
kritis muncul setiap hari di social media, kutipan artikel, serta
laporan langsung kalangan analis. Harapan yang coba dipancangkan,
ternyata berkebalikan dengan kebijakan demi kebijakan yang ditempuh.
Padahal, pemerintahan baru terus mencoba untuk melakukan perubahan demi
perubahan, setidaknya dalam cara, pola dan gaya memerintah.
Aspek yang paling banyak dikritik adalah pemilihan orang-orang yang duduk di pemerintahan. Sebagian dianggap memiliki cacat historis, baik dalam artian pribadi, maupun jabatan. Sehingga, bukan semakin banyak orang-orang berkelakuan baik yang duduk dalam posisinya, melainkan justru orang-orang yang dianggap tidak layak malah diberikan kepercayaan. Seakan, tidak ada lagi sumberdaya manusia yang lebih baik dari itu. Keadaan ini mengkristal kepada krisis kepercayaan yang mulai terasa kuat gemanya.
Kehadiran orang-orang baik memang selalu ditunggu dalam setiap pergantian kekuasaan. Hanya saja, kita layak ingat, betapa banyak orang-orang baik dari pelbagai kelompok yang kemudian tergelincir ke dalam lubang penjara. Tanpa harus menyebut nama, mereka terdiri dari kalangan profesional, dari bankir sampai kaum intelegensia. Mereka merupakan kelompok ternama di komunitasnya. Mayoritas jadi tersangka, terdakwa, sampai terpidana dalam kasus korupsi yang merugikan negara. Gelar akademik merekapun termasuk tinggi, dari doktor sampai profesor.
Kekecewaan betapa orang-orang baik ini tergelincir, sungguh menyisakan pemandangan yang kasat mata. Justru nama-nama yang berkali-kali diberitakan media massa sebagai bagian dari kelompok persekongkolan jahat, mendapatkan posisi baik di pemerintahan dan parlemen. Seakan-akan, mereka memiliki tangan-tangan tersembunyi yang bisa menyelamatkan diri dari jeruji penjara. Rumor hanya dianggap sebagai propaganda yang tak bisa dibuktikan di hadapan hukum.
Pemerintahan baru ternyata kesulitan untuk mendefenisikan antara orang-orang baik dengan orang-orang jahat itu. Nama-nama yang tersisa, ternyata mengecewakan, ketika diberikan kepercayaan. Kasus-kasus hukum menyeruak. Babak baru pertarungan orang baik dengan orang jahat dimulai, antara lain dalam kasus yang melanda Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Seakan, tidak ada lagi yang layak untuk menduduki kursi sebagai Kepala Polri. Komisioner KPKpun mendapatkan tantangan dengan pelbagai laporan yang diberikan kepada Bareskrim Mabes Polri.
Dari sini, penulis teringat dengan kisah berulang yang sempat disampaikan oleh orang-orang tua. Bangsa ini sudah berubah menjadi bangsa kepiting. Untuk mengetahuinya, silakan saja taruh belasan ekor kepiting di dalam baskom, lalu taruh satu kayu untuk jalan keluar kepiting-kepiting itu. Apa yang terjadi? Tatkala seekor kepiting mencoba naik ke kayu itu, belasan kepiting lain menariknya ke bawah. Kepiting-kepiting itu tidak bekerjasama membentuk rantai yang bisa membuat mereka keluar seluruhnya.
Fragmen sebagai bangsa kepiting itu menyeruak ke permukaan akhir-akhir ini, ketika kita nyaris frustrasi untuk mendapatkan polisi yang baik, lawyer yang tak pernah berkasus, intelektual tanpa plagiat, bankir yang jujur, maupun orang-orang yang berada pada posisi yang tak mungkin mencari harta benda lagi. Bangsa ini seperti kehilangan harapan untuk mendapatkan pemimpin di segala jenjang, guna bisa menjadi teladan bagi khalayak ramai. Dari mulai bangun pagi, sampai malam hari menjelang tidur, kita seakan berurusan dengan beragam bentuk pungutan yang illegal.
Sampai pada akhirnya penulis berpikir, mana yang lebih baik: mantan orang jahat atau mantan orang baik? Ketika kita memiliki pemimpin yang berasal dari kalangan orang jahat, paling tidak ia memiliki otoritas guna menjadi orang baik. Sebaliknya, orang-orang baik potensial menjadi jahat, akibat bergelimang kuasa yang bisa memiskinkan orang banyak.
Akankah orang-orang jahat bisa diberikan kesempatan, dengan melakukan semacam pemutihan atas kejahatan-kejahatan di masa lalu ketika ia menjalankan profesinya? Ataukah orang-orang berbaju putih yang mengendalikan keadaan, lalu dalam perjalanannya bisa tersentuh oleh noda hitam kejahatan akibat menggenggam bara api kekuasaan?
Keterbatasan sumberdaya manusia seakan hadir telanjang dewasa ini. Atau, hilangnya kepercayaan. Krisis kepercayaan melanda tampuk-tampuk pimpinan partai-partai politik, organisasi olahraga, bahkan berbagai organisasi yang secara spesifik memperjuangkan nasib petani, nelayan atau pekerja. Berbagai organisasi itu pecah-belah, sulit mencapai kesepakatan.
Apabila situasi ini terus berlanjut, Indonesia akan kehilangan momentum untuk menyelesaikan konsolidasi demokrasi, akibat terlalu merayakan perbedaan dan terjebak dalam arus dekonstruksi yang tak berkesudahan. Peristiwa “Robohnya Surau Kami” menjadi kenyataan yang sulit dipungkiri, ketika masing-masing orang lebih sibuk mengambil batu bata demi batu bata yang menjadi tiang negeri ini, ketimbang menyumbangnya untuk bertambah besar dan kokoh. Padahal, diukur dengan standar apapun, terjadi peningkatan income per kapita rakyat Indonesia, perbaikan di bidang ekonomi, serta hilangnya kelaparan (honger oedem) sebagaimana pernah hadir dalam rezim-rezim sebelumnya.
Akankah kita kehilangan kesempatan emas, tatkala sejumlah negara jatuh ke dalam keterpurukan akibat pengerahan pasukan, krisis ekonomi, sampai pertumbuhan penduduk yang minus akibat jarangnya kelahiran? Ataukah kepiting sudah semakin hilang, sehingga manusialah yang berubah dan berulah menjadi kepiting itu?
Indra Jaya Piliang
Aspek yang paling banyak dikritik adalah pemilihan orang-orang yang duduk di pemerintahan. Sebagian dianggap memiliki cacat historis, baik dalam artian pribadi, maupun jabatan. Sehingga, bukan semakin banyak orang-orang berkelakuan baik yang duduk dalam posisinya, melainkan justru orang-orang yang dianggap tidak layak malah diberikan kepercayaan. Seakan, tidak ada lagi sumberdaya manusia yang lebih baik dari itu. Keadaan ini mengkristal kepada krisis kepercayaan yang mulai terasa kuat gemanya.
Kehadiran orang-orang baik memang selalu ditunggu dalam setiap pergantian kekuasaan. Hanya saja, kita layak ingat, betapa banyak orang-orang baik dari pelbagai kelompok yang kemudian tergelincir ke dalam lubang penjara. Tanpa harus menyebut nama, mereka terdiri dari kalangan profesional, dari bankir sampai kaum intelegensia. Mereka merupakan kelompok ternama di komunitasnya. Mayoritas jadi tersangka, terdakwa, sampai terpidana dalam kasus korupsi yang merugikan negara. Gelar akademik merekapun termasuk tinggi, dari doktor sampai profesor.
Kekecewaan betapa orang-orang baik ini tergelincir, sungguh menyisakan pemandangan yang kasat mata. Justru nama-nama yang berkali-kali diberitakan media massa sebagai bagian dari kelompok persekongkolan jahat, mendapatkan posisi baik di pemerintahan dan parlemen. Seakan-akan, mereka memiliki tangan-tangan tersembunyi yang bisa menyelamatkan diri dari jeruji penjara. Rumor hanya dianggap sebagai propaganda yang tak bisa dibuktikan di hadapan hukum.
Pemerintahan baru ternyata kesulitan untuk mendefenisikan antara orang-orang baik dengan orang-orang jahat itu. Nama-nama yang tersisa, ternyata mengecewakan, ketika diberikan kepercayaan. Kasus-kasus hukum menyeruak. Babak baru pertarungan orang baik dengan orang jahat dimulai, antara lain dalam kasus yang melanda Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Seakan, tidak ada lagi yang layak untuk menduduki kursi sebagai Kepala Polri. Komisioner KPKpun mendapatkan tantangan dengan pelbagai laporan yang diberikan kepada Bareskrim Mabes Polri.
Dari sini, penulis teringat dengan kisah berulang yang sempat disampaikan oleh orang-orang tua. Bangsa ini sudah berubah menjadi bangsa kepiting. Untuk mengetahuinya, silakan saja taruh belasan ekor kepiting di dalam baskom, lalu taruh satu kayu untuk jalan keluar kepiting-kepiting itu. Apa yang terjadi? Tatkala seekor kepiting mencoba naik ke kayu itu, belasan kepiting lain menariknya ke bawah. Kepiting-kepiting itu tidak bekerjasama membentuk rantai yang bisa membuat mereka keluar seluruhnya.
Fragmen sebagai bangsa kepiting itu menyeruak ke permukaan akhir-akhir ini, ketika kita nyaris frustrasi untuk mendapatkan polisi yang baik, lawyer yang tak pernah berkasus, intelektual tanpa plagiat, bankir yang jujur, maupun orang-orang yang berada pada posisi yang tak mungkin mencari harta benda lagi. Bangsa ini seperti kehilangan harapan untuk mendapatkan pemimpin di segala jenjang, guna bisa menjadi teladan bagi khalayak ramai. Dari mulai bangun pagi, sampai malam hari menjelang tidur, kita seakan berurusan dengan beragam bentuk pungutan yang illegal.
Sampai pada akhirnya penulis berpikir, mana yang lebih baik: mantan orang jahat atau mantan orang baik? Ketika kita memiliki pemimpin yang berasal dari kalangan orang jahat, paling tidak ia memiliki otoritas guna menjadi orang baik. Sebaliknya, orang-orang baik potensial menjadi jahat, akibat bergelimang kuasa yang bisa memiskinkan orang banyak.
Akankah orang-orang jahat bisa diberikan kesempatan, dengan melakukan semacam pemutihan atas kejahatan-kejahatan di masa lalu ketika ia menjalankan profesinya? Ataukah orang-orang berbaju putih yang mengendalikan keadaan, lalu dalam perjalanannya bisa tersentuh oleh noda hitam kejahatan akibat menggenggam bara api kekuasaan?
Keterbatasan sumberdaya manusia seakan hadir telanjang dewasa ini. Atau, hilangnya kepercayaan. Krisis kepercayaan melanda tampuk-tampuk pimpinan partai-partai politik, organisasi olahraga, bahkan berbagai organisasi yang secara spesifik memperjuangkan nasib petani, nelayan atau pekerja. Berbagai organisasi itu pecah-belah, sulit mencapai kesepakatan.
Apabila situasi ini terus berlanjut, Indonesia akan kehilangan momentum untuk menyelesaikan konsolidasi demokrasi, akibat terlalu merayakan perbedaan dan terjebak dalam arus dekonstruksi yang tak berkesudahan. Peristiwa “Robohnya Surau Kami” menjadi kenyataan yang sulit dipungkiri, ketika masing-masing orang lebih sibuk mengambil batu bata demi batu bata yang menjadi tiang negeri ini, ketimbang menyumbangnya untuk bertambah besar dan kokoh. Padahal, diukur dengan standar apapun, terjadi peningkatan income per kapita rakyat Indonesia, perbaikan di bidang ekonomi, serta hilangnya kelaparan (honger oedem) sebagaimana pernah hadir dalam rezim-rezim sebelumnya.
Akankah kita kehilangan kesempatan emas, tatkala sejumlah negara jatuh ke dalam keterpurukan akibat pengerahan pasukan, krisis ekonomi, sampai pertumbuhan penduduk yang minus akibat jarangnya kelahiran? Ataukah kepiting sudah semakin hilang, sehingga manusialah yang berubah dan berulah menjadi kepiting itu?
Indra Jaya Piliang