Diamana-mana orang membicarakan batu akik. Baik kalangan penghobi batu yang sudah lama berkecimpung, maupun kalangan newbi atau para pemula. Nama batu semacam Bio Solar Aceh, Bacan, Solar Bengkulu, Lumuik Sungai Dareh, Lumuik Aceh, Raflesia, Spritus dan masih banyak lagi kian akrab terdengar. Macam pula ragam serat dan warnanya.
Dahulu kalangan penghobi batu permata mengelompokan batu dalam dua kategori, yaitu batu akik dan batu luar. Batu akik yang terkenal dulunya adalah Kecubung, Limau Manis, Sulaiman dan Tapak Jalak. Sedangkan untuk batu permata luarnegeri seperti Shappire Ceylon, Ruby, Zambrud, Beryl dan Cat Eye Crisoberryl Alexandrite.
Popularitas permata luarnegeri faktanya mulai kalah pamor dengan batu lokal yang akrab disapa akik, khususnya untuk pencinta batu dalam negeri. Fenomena ini pantas kita perbanggakan dan lestarikan bersebab batu permata dalam negeri kita yang mancaragam jenisnya itu sudah mulai mendunia. Untuk batu Bacan dan Lumuik Sungai Dareh, konon sangat diminati pencinta permata di Korea dan Taiwan. Disana harganya bersaing dengan batu yang sudah masyur semacam Shappire Ceylon dan Ruby Mogok Birma. Bacan dan Lumuik Sungai Dareh kualitas ekspor tentunya memiliki spesifikasi tertentu. Seperti clarity, tingkat kristalisasi, dan natural tanpa treatment rekayasa laboratorium.
Saya pernah menyaksikan transaksi satu batu Lumuik Sungai Dareh yang sudah di ikat cincin emas 23 carat dihargai Rp 120 Juta cash. Batu yang juga dikoleksi oleh Presiden Obama dan SBY tersebut memiliki tingkat kekerasan setara zambrud dalam skala Mohs (standar uji kekerasan batu). Kelebihan Lumuik Sungai Dareh yang berwarna sama dibanding Zambrud adalah tingkat keliatan batu. Bila Zambrud ketika jatuh langsung berkelumur, sedangkan untuk Lumuik Sungai Dareh hal itu tidak akan pernah terjadi.
Tingginya minat akan batu akik menumbuhkan home industri di tengah masyarakat. Di Pariaman dahulunya hanya ada satu tukang asah batu di Pasar Pariaman. Kini, dua tahun terakhir sudah puluhan tukang asah dan tukang potong batu yang letaknya menyebar. Para tukang asah mematok tarif Rp 15 s/d 25 ribu per-satu bahan untuk diasah menjadi bentuk permata permintaan si pemesan.
Dari yang saya amati, laba bersih salah seorang tukang asah batu akik di Pariaman menyaingi penghasilannya pemilik restoran terbesar di Kota Pariaman. Bayangkan, dalam sehari dia mengasah lebih dari 50 bahan batu. Jika dipukul rata untuk 1 batu di upah Rp 20 ribu, maka penghasilannya total Rp 1.000.000. Belum pemasukan laba dari penjualan ikat batu cincin yang tak kalah lakunya. Meskipun tukang asah batu kian hari bermunculan, jangan harap ketika kita datang hendak mengasah bahan tidak mengantri bersebab banyaknya pesanan yang dia kerjakan.
Fenomena seperti ini wajib kita syukuri. Tanpa kita sadari ekonomi sektoril masyarakat ikut terdongkrak dengan fenomena ini. Dari pencinta batu, tukang pasok, tukang asah, tukang pakang, hingga penjual serbuk intan dan ikat cincin lagi sedang di atas sedang meniti daun.
Catatan Oyong Liza Piliang