Minangkabau dikenal memiliki adat istiadat yang terpaut erat dengan ajaran agama Islam sebagaimana falsafat "adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah". Artinya, tatanan budaya masyarakat Minangkabau tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama Islam. Maka dari itu, sebagaimana diketahui penduduk Minangkabau asli sudah dipastikan menganut agama Islam. Jika ada masyarakat pribumi Minang yang menganut agama selain itu umumnya mereka telah murtad (pindah agama) dan hampir dipastikan berakibat diusir dari kaum serta tidak diakui sepanjang adat sebagai orang Minang. Dia dipandang menjijikkan, pembuat malu, aib besar, dan harus hengkang dari ampung halamannya. Disisi itu, adat Minang memang tegas dan tidak bertoleransi.
Meskipun demikian, orang Minang tidak anti hidup berdampingan dengan penganut agama lain asalkan saling harga menghargai satu sama lainnya. Hal itu dibuktikan dengan adanya Gereja dan Kuil di beberapa kota di Sumatera Barat semacam di Kota Padang, Bukittinggi, dan kota serta kabupaten lainnya.
Sebagai bagian dari negara kesatuan RI orang Minang paham akan makna Pancasila dan UUD 45 tentang kebebasan beragama karena yang menyusun dasar konstitusi negara kita tersebut sebagian juga putra asli Minangkabau. Kita paham arti demokrasi karena adat kita penganut paham tersebut. Setiap keputusan yang mengacu kepentingan orang banyak selalu dimusyawarahkan "Bulek kato dek mufakaik". Artinya orang Minang selain demokratis juga dikenal toleran dalam hal hidup dalam keberagaman.
Toleransi antar umat beragama wajib hukumnya diterapkan, karena agama adalah sebuah keyakinan diri pribadi kepada Yang Maha Pencipta, terpayung oleh dasar konstitusi negara kita. Sekolah-sekolah yang ada di ranah ini mewajibkan memakai hijab kepada murid-murid siswi yang menganut agama Islam, tapi tidak kepada siswi nasrani dan penganut agama lainnya. Itulah indahnya sebuah perbedaan. Perbedaan yang tidak saling mengintervensi dan saling hormat menghormati dalam sebuah keharmonisan dalam masyarakat heterogen.
Hidup semacam demikian harusnya berlaku adanya di setiap sektor. Baik sektor pemerintahan, korporasi, instansi-instansi, dll. Atasan tidak boleh memaksakan keyakinan yang dia anut kepada bawahannya, guru tidak boleh memaksakan agama yang dia anut kepada murid-murid yang dia ajar.
Hal tersebut harusnya tetaplah demikian dan harus disadari secara penuh, tidak seperti yang terlihat di toko ponsel Asiafone yang berlokasi di Jl Veteran, Kota Padang, dimana karyawan muslim mereka diwajibkan memakai simbol Nasrani, Sinterklas, di bulan Desember ini untuk menyambut Hari Raya Natal umat Nasrani.
Karyawan muslim itu menurut pengakuannya terpaksa memakai seragam Sinterklas tersebut karena jika menolak mereka akan dikenakan sangsi oleh manajemen perusahaannya. Sebagai karyawan apalah daya mereka, mau melawan tentunya mereka harus siap dengan konsekwensi terberat yaitu diberhentikan oleh perusahaan.
Menurut Wikipedia, Sinterklas (dalam bahasa lain juga dikenal dengan nama Santa Klaus, Santo Nikolas, Santo Nick, Bapak Natal, Kris Kringle, Santy, atau Santa) adalah tokoh dalam berbagai budaya yang menceritakan tentang seorang yang memberikan hadiah kepada anak-anak, khususnya pada Hari Natal.
Santa berasal dari tokoh dalam cerita rakyat di Eropa yang berasal dari tokoh Nikolas dari Myra, adalah orang Yunani kelahiran Asia Minor pada abad ketiga masehi di kota Patara (Lycia et Pamphylia), kota pelabuhan di Laut Mediterania, dan tinggal di Myra, Lycia (sekarang bagian dari Demre, Turki). Ia adalah anak tunggal dari keluarga Kristen yang berkecukupan bernama Epiphanius dan Johanna atau Theophanes dan Nonna menurut versi lain. Nikolas adalah seorang uskup yang memberikan hadiah kepada orang-orang miskin.
Tokoh Santa kemudian menjadi bagian penting dari tradisi Natal di dunia barat dan juga di Amerika Latin, Jepang dan bagian lain di Asia Timur.
Hari Sinterklas dirayakan di seluruh dunia setiap tanggal 6 Desember.
Saya tidak menyebutkan ini adalah sebagai bentuk lain isu kristenisasi di Ranah Minang namun sangat menyesalkan kenapa hal tersebut terbiarkan begitu saja.
Oyong Liza Piliang