“Jangan pernah berpikir bahwa dunia akan memberimu tempat istimewa karena kamu seorang perempuan!”Oleh: Rustika Herlambang (February 2, 2010)
Kisah ini berasal dari pantai Pangandaran. Bahkan mungkin juga akan berakhir di Pangandaran. Seorang anak kecil suka berdiri di sana. Matanya memandang lepas ke lautan. Membayangkan dirinya menjadi seorang ahli kelautan suatu saat. Memiliki kapal selam agar bisa menyelidiki sendiri rahasia di kedalaman. Kini perempuan itu sudah dewasa. Ia tumbuh dalam terpaan angin dan udara lautan. Itu yang membuatnya terlihat lebih matang dan perkasa. Meski demikian, tak ada yang berubah dari penampilannya. Masih tetap dengan rambut ikal yang kadang membuatnya terlihat sensual. Masih suka memandang lautan. Tapi ia bukanlah ahli kelautan seperti cita-citanya. Ia lah penguasa hasil laut dengan teknologi termodern di Indonesia yang kini beranjak ingin menguasai udara. Perempuan yang sudah berdaya itu bernama Susi Pudjiastuti.
Pada satu hari menjelang pergantian tahun lalu, ia akhirnya menemui dewi. Rencana pertemuan ini sendiri sesungguhnya sudah berlangsung beberapa bulan sebelumnya. Namun ia sadar bahwa kegiatannya yang teramat padat belakangan membuat ia agak sulit untuk menuju Jakarta untuk sebuah pertemuan sepanjang berjam-jam. Maklumlah, ia harus menjadi nahkoda untuk dua perusahaan besarnya: PT ASI Pudjiastuti Marine Product (bisnis hasil laut), serta PT ASI Pudjiastuti Aviation dengan merek Susi Air, bisnis pesawat carteran. Untuk itulah pertemuan ini dilakukan di Pangandaran, agar ia bisa mengontrol semua bisnisnya setiap saat (dan memang itulah yang dilakukannya). Sebuah pesawat terbang kecil ia siapkan untuk menjemput dan mengantar dewi kembali ke Jakarta.
“Kupikir yang kupunya hanyalah kebebasan,” katanya, menceritakan rahasia kesuksesannya. Suaranya terdengar berat yang menjadi karakternya menjadikan setiap kata-kata yang terucap terasa begitu tegas dan dalam. Sorot matanya tajam. Pernyataan yang dilontarkan pun tentunya agak sulit dilahirkan dari bibir perempuan Jawa konservatif. Tapi begitulah kenyataannya. Kini ia bebas untuk melakukan banyak hal yang disukai. Berkeliling dunia. Cerewet soal lingkungan- dan didengarkan orang. Membawa obat-obatan ke berbagai pedalaman di Indonesia. Ia juga akan mengikuti training helikopter di Amerika bulan ini. “Supaya saya tak tergantung lagi dengan pilot kalau saya mau pergi,” katanya.
Penghargaan Inspiring Woman 2005 dan Eagle Award 2006 dari Metro TV, Young Entrepreneur of The Year 2005 dari lembaga keuangan Ernst & Young, Penghargaan Primaniarta sebagai UKM ekspor terbaik tahun 2005 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, serta Indonesia Berprestasi Award 2009 dari PT Exelcomindo yang diterima kian memperpanjang jadwal pekerjaannya. Kali ini sebagai pembicara untuk bidang motivasi dan kepemimpinan. Apalagi ia juga Ketua Umum bidang Unit Kerja Masyarakat Kecil (UMKM) di Kamar Dagang (Kadin) Indonesia.
Belakangan ini, namanya terus disebut-sebut. Keberaniannya dalam membuka rute-rute penerbangan di daerah pedalaman yang –awalnya- dianggap sebagai rute-rute tidak popular dipuji banyak kalangan. Efek postifnya, pembukaan rute ini memberikan sumbangsih besar bagi perkembangan dan pembangunan daerah pedalaman di Indonesia- sesuatu yang semestinya menjadi pe-er pemerintah Indonesia. Selama ini, bilapun ada, rute tersebut diisi dengan penerbangan dengan pesawat-pesawat lama – karena dianggap tidak menghasilkan untung besar.Tapi mata cerdas Susi justru melihat bahwa pasar yang kosong inilah yang seharusnya diisi. Dan itulah yang terbukti.
Hanya dalam waktu lima tahun setelah mendirikan perusahaan aviasinya, ia mampu mengibarkan bendera Susi Air di Sumatera, Papua, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara. Puluhan pesawat baru dan pilot dari 28 negara didatangkan untuk melayani kebutuhan ini. Tahun depan, ia sudah mempersiapkan pembukaan rute-rute baru lagi. Ia juga akan membuka sekolah penerbangan bulan April ini sebagai antisipasi kebutuhan pilot yang terus melonjak. Lagi-lagi, lokasinya di Pangandaran. “Saya menyiapkan beasiswa untuk 10 putra terbaik Indonesia.”
Bila diibaratkan kini di usianya yang ke empat puluh lima adalah angsa putih dengan bulu-bulunya yang memukau, semua mata memandangnya dan terpikat, tidakkah mereka ingat bahwa ia-lah dulu “si itik buruk rupa”?
“Dari dulu, saya ini sudah dianggap the outsider,” katanya. Suara tokek dan derik binatang di kejauhan memecahkan keheningan malam. Dua botol white wine dan tonik, serta sebungkus rokok menjadi teman intimnya bercerita. Membuka memori yang mengendap di pikirannya. Tato burung merak menghiasi tungkai kaki kanannya. “Orang bilang saya ini suka bikin pusing sendiri,” lanjutnya. Waktu kecil, ia suka membawa orang gila yang ditemui di jalan untuk dimandikan di rumahnya dan diberi baju.
Seringkali ia pergi ke kampung-kampung nelayan. Bila ada yang luka, ia tak segan untuk membasuhnya dan memberinya obat. “Padahal sama istrinya sendiri nggak mau diobatin. Ha ha ha.. makanya saya ini selalu dianggap orang gila,”ia tertawa. (kelak empati itulah yang berguna baginya ketika terjun di dunia yang sama dengan para nelayan.)
Namun keputusannya yang dianggap paling “gila” adalah ketika ia keluar dari sekolah waktu duduk di bangku kelas dua SMA. Semua orang marah padanya. Padahal ia anak pandai. Hampir selalu dapat peringkat pertama di sekolah, makanya dikirimlah ia ke sekolah terbaik di Yogyakarta. Orang tuanya kaya. Ayahnya kontraktor bangunan. Ibunya tuan tanah dan petani perkebunan dan kelapa. Lalu kenapa?
“Saya merasa nggak happy saja. Untuk apa saya lanjutkan? Ini hidup saya. Saya ingin memutuskan sendiri hidup saya,” sulung dari tiga bersaudara ini menjelaskan alasannya. Usianya 17 tahun ketika itu. Masih muda. ia kembali ke rumahnya. Ayahnya yang selama ini memanjakannya dan membebaskannya membeli buku-buku menjadi amat marah. Hampir dua tahun, keduanya tak saling bertegur sapa. “Jadi saya kerja saja, biar nggak jenuh di rumah,”katanya ringan. Pekerjaan awalnya: menjual bed cover dari pintu ke pintu. “Saya bersyukur dibesarkan kedua orang tua yang sangat democrat. Mereka tidak menanamkan rasa malu bila melakukan suatu pekerjaan yang memang halal,” ujarnya.
Lalu suatu kali, ia jatuh cinta pada seorang lelaki. Terlebih, ia jatuh cinta pada profesinya sebagai pengepul ikan. Kedekatan dengan dunia nelayan di masa lalu menjadi pemicunya untuk mencoba belajar menjadi pengepul ikan, bersama lelaki yang akhirnya menjadi suaminya. Ketika bisnisnya mulai merangkak naik, ia mendirikan perusahan sendiri. saying perkawinan itu tak berlangsung lama. Ia memilih berpisah dan menghidupi anak lelakinya, Panji Hilmansyah. Tapi ia masih tetap jatuh cinta dengan profesinya sebagai pengepul ikan dan meneruskan usahanya sendiri. Pindah ke kota lain. Tapi hasil laut tak selalu bagus sepanjang tahun. Ia harus mencari celah supaya asap dapurnya terus mengepul. Maka ia sempat berdagang katak dan kulit ular yang dikerjakannya sendiri- termasuk memilih dan mengukur ular ketika masih hidup, mendatangi suplier-suplier dari satu kota ke kota lain, mengangkutnya dengan truk, dan membawanya ke Jakarta. Daya tahan perjuangannya lebih digdaya ketimbang rasa takutnya.
“Kadang saya tak membayangkan bagaimana hidup saya waktu itu. Setiap hari berada di pantai utara Jawa, berhubungan dengan banyak manusia, apalagi kerjanya malam. Siang malah tidur siang,” ia tertawa, mengenang “dunia remang-remang” yang begitu dekat dengannya kala itu. Habis bagaimana lagi, dulu saya mau beliin susu untuk anak saya kadang nggak punya uang,”ungkapnya getir. Begitulah ia bertahan dan bekerja keras dalam bidang yang banyak didominasi oleh kaum lelaki. Persaingan yang ada sangat keras dan acapkali kejam. Pernah dalam suatu masa ia ditipu salah satu kliennya, ditinggalkan dalam belitan hutang yang mengakibatkan ia yang waktu itu sudah jadi pengekspor ikan sukses, harus kembali lagi sebagai pemain lokal. Yah, begitulah, pelajaran kehidupan memang kadang teramat mahal dan pahit.
Tapi, ia selalu optimis. Dunia bisnis, katanya, selalu memberikan kepastian: kesuksesan atau kegagalan. Dan ia selalu memilih untuk mencari jalan untuk menuju yang pertama. Salah satunya juga ditempuh melalui konsistensinya dalam membangun reputasi sebagai pemasok produk yang terbaik. Itu sebabnya, ia mendapatkan Red Clause LC (Letter of Credit) dari Jepang, justru ketika terjadi pada masa kebijakan uang ketat akibat krisis ekonomi yang melanda dunia. Karena pinjaman itu tak cukup, ia berani mengambil risiko untuk menjual rumah dan sejumlah mobil-mobilnya, demi membayar satu kontainer hasil lautnya untuk dikirim ke Jepang. Jungle Fighter ini, untuk mengambil istilah dari ilmu ekonomi, percaya bahwa kegagalan semakin membuatnya kuat, karena ia harus mencari strategi baru.
Ia rupanya orang yang berpikir cepat dan belajar dari pengalaman. Bahwa hidup dan bisnis adalah sebuah rimba yang harus ditaklukkan. Siapa yang tak berdaya ia akan binasa. Itu sebabnya ia nekat membeli pesawat untuk mengangkut hasil produknya. Kemandirian-lah yang membuat ia “nekat” untuk melakukan segala sesuatu yang sekiranya dapat melancarkan bisnisnya. Namun siapa sangka, pesawat angkut ikan ini kemudian menginspirasinya untuk membuka peluang di bidang pesawat carteran – sebuah peluang bisnis yang masih kosong di Indonesia. Hanya lima tahun, ia memulainya di tahun 2004, kini puluhan pesawat baru sudah berada di dalam genggaman tangannya. Bakul ikan itu kini sudah merangkap menjadi juragan pesawat. Waktu sepanjang 27 tahun telah mematangkan jiwanya.
“Kami ini tumbuh organic, tidak didukung oleh finansial yang besar, sumber daya yang luar biasa, latar belakang bisnis pun saya tak ada. Padahal waktu saya buka Susi Air di Medan dulu, kami cuma 6 orang. Saya sendiri yang menjadi kasir. Saya loading sendiri,”kata Susi yang hanya mau berbisnis yang sesuai dengan idealismenya sendiri, selain sesuai panggilan nurani. Ini tegas dikatakannya.
Ia percaya bila ia melakukan bisnis dengan hati, tulus, maka akan tumbuh cinta dan simpati dari banyak orang. Soal ini, ia pernah dibebaskan dari tuntutan hingga puluhan ribu dollar. “Ketika itu saya dikomplain pelanggan saya di Jepang yang sudah tujuh tahun karena ada produk yang rusak. Lalu saya mengundang mereka untuk datang ke rumah saya, menengok pabrik saya, dan mengisahkan bagaimana saat itu ada musibah yang mengakibatkan listrik mati. Saya minta maaf dan sudah siapkan uang penggantinya. Tapi, ketika ia melihat sendiri kenyataan yang terjadi di pasar, ia membatalkan tuntutan itu,” ia tersenyum, menikmati setiap hisapan rokoknya. “Dunia tidak kejam kok. Saya percaya. Yang penting kita harus jujur, kerja keras, menepati apa yang sudah kita janjikan.’
Kalau kita sudah disayang, disukai, dibutuhkan orang sekeliling kita, inilah garansi keberlangsungan bisnis kita. Kuncinya menepati janji. Saya serius dalam menjalankan bisnis saya. Saya berikan selalu yang terbaik. Kalau tidak melakukan hal itu, maka posisi kita akan ditempati orang lain,” ungkap Susi yang perusahaannya akhirnya dijadikan iklan sebuah perusahaan penyedia mesin pesawat di Kanada. Tahun ini, ia juga diundang untuk berbicara mengenai kepemimpinan dan motivasi kepada sekitar 5000 karyawan perusahaan penyedia mesin pesawat tersebut. “Sekarang saya merasa lebih senang, karena pembicaraan saya mulai didengarkan orang. Saya bisa lebih bisa banyak membantu orang lain,” ujarnya.
Mendengar kisah hidupnya yang pasang surut seperti gelombang, seperti apakah lelaki yang sanggup menjadi sahabatnya dalam segala suasana? “Hidup hanya sebentar, saya tak mau kehilangan waktu saya. Saya katakan, apabila dia tidak bisa memperlakukan dengan baik pada saya, maka akan ada orang lain menggantikan tempatnya,” tukasnya, mengutip sebuah prinsip yang dilakukannya dalam bisnis. Kini, hanya ada Christian von Strombeck, pilot pesawat carteran asal Jerman yang sembilan tahun lebih muda darinya, sekaligus suami ketiga yang juga menjadi patnernya dalam bisnis aviasi.
“Ia smart, bisa mengimbangi saya, nyambung. Untuk bertahan memang tidak mudah karena kami beda kultur, beda budaya, dan pengalaman, tapi kami sudah bertahan dalam 10 tahun terakhir,”ungkap ibu tiga anak dari Panji Hilmansyah, Nadin Pascale, dan Alvy Xavier.
“Namun bila ada masalah dan saya harus memilih antara keluarga dan bisnis, maka saya akan memilih bisnis. Saya pasti akan memperjuangkan keutuhan keluarga, tapi bisnis adalah untuk keluarga. bila saya kehilangan pekerjaan, saya pasti kehilangan keluarga. maka saya memilih bertahan untuk bisnis saya.” Mungkin karena ia beranggapan bahwa bisnis adalah sebuah amanah, harus memberikan manfaat kepada banyak orang yang tergantung padanya. Sejak tahun 2000 lalu, ia sudah membuat testamen yang mengatakan bahwa kelak anak-anaknya tidak mewarisi seluruh perusahaannya, melainkan devidennya sebanyak 20%. Setelah pensiun, ia akan menyerahkan perusahaan kepada Yayasan Kaji Ireng yang dibangunnya untuk kepentingan masyarakat, dan menyerahkan pengelolaannya kepada managemen professional.
“Jangan pernah membayangkan bahwa kebahagiaan saya karena saya memiliki puluhan pesawat. Bukan. Kebahagiaan saya adalah ketika saya bisa memberikan kebahagiaan bagi orang lain,” ujarnya seolah mengingatkan pada kisah orang-orang yang pernah ditolongnya, atau ketika ia menerbangkan ibu-ibu yang tinggal di dekat bandaranya agar mereka merasakan sebuah keajaiban. “Melihat matanya berbinar-binar, itu sebuah keajaiban yang tak bisa diungkapkan dalam kata-kata,”ungkapnya dengan mata berbinar juga. Kisah neneknya, istri Kaji Ireng, yang namanya diambil untuk nama yayasannya begitu menggoda. Setelah pensiun, ia ingin meniru jejaknya, mengabdikan dirinya penuh pada Tuhan, tinggal di masjid yang dibangunnya sendiri, dan membantu masyarakat sekelilingnya.
Maka suatu kelak bila Anda mendengar suatu cerita mengenai seorang perempuan tua, berambut ikal, sendirian, menepi, dan menghabiskan hari di sebuah masjid di Pangandaran, barangkali ia adalah Susi Pudjiastuti. (Rustika Herlambang)