Partai Golkar sebentar lagi berusia 50 tahun, tepatnya tanggal 20 Oktober 2014 yang bersamaan dengan pelantikan Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI 2014-2019. Usia emas di tengah dua kekalahan dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden. Usia emas tanpa piala emas. Paling banter, Partai Golkar mendapatkan kursi Ketua DPR RI. Itupun dengan dua syarat: Mahkamah Konstitusi menolak gugatan terhadap UU MD3 (MPR, DPR RI, DPD RI dan DPRD) dan Koalisi Merah Putih (KMP) tetap kompak.
Kalau skenario itu tidak berhasil, Partai Golkar menderita kelumpuhan jangka menengah, berupa kehilangan kekuatan di DPR RI, ketiadaan kader di eksekutif dan sekaligus juga kehilangan pesona sebagai partai politik moderen. Ditambah dengan pemecatan tiga kader Partai Golkar, fungsi pengelolaan konflik kurang berjalan, mengingat kader-kader partai politik lain yang menyeberang ke kubu koalisi Pilpres sama sekali tidak dipecat. Ada sejumlah nama yang memang digeser dari posisinya, seperti Rachmawati di Partai Nasdem atau Reza Syarif di Partai Hanura. Hanya saja, tidak mengalami kisruh sedalam Partai Golkar.
Lambatnya proses konsolidasi dan rekonsiliasi dalam tubuh Partai Golkar pasca Pilpres juga membawa kelelahan dalam tubuh partai. Komunikasi berlangsung hanya via media massa atau pertemuan-pertemuan terbatas. Tanpa ada upaya pihak yang memiliki kewibawaan untuk menjembatani perbedaan pendapat di dalam tubuh partai, bisa memicu persaingan yang tidak sehat yang hanya berdasarkan rumor. Partai mengalami penggerogotan dari dalam, akibat perbedaan makin tajam dan memunculkan friksi yang kian menular kemana-mana.
Bahasa-bahasa kekuasaan yang ditunjukkan oleh otoritas DPP Partai Golkar juga memunculkan sikap yang berjarak. Bukan malah mencoba merangkul atau mengajak kembali pihak-pihak yang berbeda pendapat selama Pilpres, malahan DPP Partai Golkar menebarkan ancaman, baik berupa pemecatan atau pencopotan dari jabatan. Bahkan pihak yang menginginkan Munas dilaksanakan pada Oktober 2014 dianggap sebagai anarkis. Padahal, tidak ada satupun bentuk kekerasan yang terjadi, selain perbedaan pendapat.
Kocar-Kacir
Golkar juga terlihat “larut dalam kekalahan”, bahkan tetap menjadikan kekalahan dalam pilpres sebagai bentuk dari ketidak-becusan penyelenggaraan. Sikap ini berbeda dengan pemilu legislatif. Bahkan, ketika partai-partai politik lain sudah mulai melunak sikapnya, terutama Partai Demokrat, PPP dan PAN, Golkar terlihat masih berada pada posisi yang sama dengan Gerindra dan PKS. Padahal, momentum untuk melakukan evaluasi sudah datang, sebagaimana terjadi dengan PKB dan Partai Nasdem.
Kondisi ini menyebabkan para kader terlihat kocar-kacir. Sebagian kader sudah terlihat “merapat” kepada pemerintahan Jokowi-JK, sebagian lain terus melakukan kritikan. Mayoritas kader berada dalam posisi tanpa suara (silent majority). Sejumlah pertemuan yang digelar kader-kader Partai Golkar, baik secara tertutup ataupun terbuka, terus melakukan komunikasi intensif dengan penyikapan yang beragam. Sama sekali tidak ada forum yang lebih kondusif guna mengatasi beragam perbedaan pendapat yang muncul.
Padahal, agenda-agenda politik dan pemerintahan terus berjalan. Antara lain pelantikan anggota DPRD, baik kabupaten, kota, maupun provinsi. DPP Partai Golkar memang memiliki kewenangan untuk menunjuk pimpinan DPRD, terutama di tingkat provinsi. Bagi kader yang terpilih menjadi legislator, kesibukan terlihat dalam mengikuti beragam pelatihan, terutama yang dilakukan lembaga-lembaga pemerintah. Artinya, kader-kader Partai Golkar itu sudah diberikan wawasan dan pemahaman yang lebih sebagai penyelenggara negara di pelbagai tingkatan.
Ditinjau dari sisi opini, tidak banyak yang bisa dipetakan. Diskusi masih seputar rencana pencopotan jabatan sejumlah kader, posisi di dalam atau penyeimbang pemerintah, kedudukan di KMP, juga jadwal pelaksanaan Munas antara 2014 atau 2015. Sejumlah nama calon Ketua Umum Partai Golkar juga terus mengapung, seperti Agung Laksono, MS Hidayat, Agus Gumiwang Kartasasmita, Priyo Budi Santoso, Airlangga Hartarto, Mahyuddin dan Azis Syamsuddin. Paling banter adalah sejumlah diskusi yang dihelat oleh kaum muda partai, namun terbatas tempatnya.
Arah Pemerintahan
Padahal, inilah saatnya bagi Partai Golkar untuk menggiring arah pemerintahan, baik berada di luar atau di dalam. Apalagi, terdapat program-program baru yang dicoba ditawarkan pemerintahan Jokowi-JK, seperti upaya menekan subsidi bahan bakar fosil, perampingan kabinet, pemberdayaan sektor maritim, mengatasi kelangkaan pangan, sampai pemodalan yang lebih bersahabat kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Sebagai party of ideas, selayaknya Golkar berbicara lebih banyak dan terbuka soal ini, ketimbang hanya bicara masalah-masalah internal.
Peranan politik partai tidak selalu berada di pemerintahan atau memenangkan pemilu. Dalam sejarah kepartaian di Indonesia, terdapat partai-partai politik pra dan pasca kemerdekaan yang selalu menjadi bahan perbincangan, sekalipun kecil secara elektabilitas. Bahkan ada partai yang tidak berhasil masuk pemerintahan. Sementara, Partai Golkar menempatkan diri sebagai partai terbesar kedua dengan sebaran kader dari pusat ke daerah yang mewarnai jalannya pemerintahan.
Sudah saatnya Partai Golkar melakukan lagi inventarisasi ulang terhadap para kader yang dimiliki, sembari terus mengemukakan pandangan-pandangan visioner guna kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Pada gilirannya nanti, masyarakat akan mencatat bahwa kontribusi Partai Golkar tidak hanya ketika memenangkan kompetisi politik, bahkan juga ketika kalah. Terlalu larut dengan bahasa komunikasi politik yang tendensius, negatif, bahkan intimidatif, justru membawa konsekuensi kepada berkurangnya simpati dan empati publik.
Terlepas dari kapan Munas diselenggarakan ataupun posisi Partai Golkar nantinya, keunggulan ide dan gagasan yang dimiliki patut terus diapungkan, begitu juga dengan kader-kader potensial yang dimiliki. Masalah terbesar Partai Golkar bukan terletak pada siapa yang akan duduk di kabinet atau pimpinan legislatif, tetapi memberdayakan sejumlah kader yang gagal meraih kursi parlemen dalam pemilu 2014 lalu. Nama-nama yang disegani, berpengalaman, berpengetahuan serta sudah kenyang dengan asam garam politik. Memaksimalkan peran mereka adalah bagian dari upaya penguatan Partai Golkar, sekaligus memberikan peran yang baik bagi bangsa dan negara.
Indra Jaya Piliang