Meskipun sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi, Partai Golkar belum mengucapan selamat kepada Jokowi-JK. Sikap ini secara etika politik bermasalah. Golkar sudah terbiasa kalah atau menang dalam kontestasi politik. Apalagi dalam kampanye pilpres, termasuk yang diadakan oleh Komisi Pemilihan Umum, terdapat upaya tersirat dan tersurat agar masing-masing pasangan dan pendukung mengakui kemenangan lawan. Ketiadaan ucapan selamat itu menandakan kemunduran etika politik dari Golkar.
Golkar mengalami gejolak yang hebat sejak lima tahun terakhir. Keadaan ini terjadi akibat kekalahan dalam pemilu legislatif 2014. Walau mengalami peningkatan jumlah pemilih sebesar 3,4 Juta, jumlah kursi di DPR RI justru berkurang dari 106 kursi menjadi 91 kursi. Artinya, Golkar kehilangan 15 kursi dalam pileg 2014, dibanding pileg 2009.
Sebagai juara kedua dalam Pileg 2009 – sama dengan pileg 2014 --, Jusuf Kalla bisa maju sebagai Calon Presiden 2009 dengan menjadikan Wiranto sebagai Calon Wakil Presiden. Hal ini berbeda dengan 2014, Golkar tak berhasil memajukan Aburizal Bakrie sebagai calon presiden. Padahal, sejak Rapimnas 2012, ARB adalah satu-satunya calon presiden yang diusung Golkar.
Keberhasilan ARB adalah menjadi Ketua Koalisi Merah Putih (KMP) yang bersifat “permanen” sampai 2019. Komunikasi yang dibangun ARB menempatkan Golkar sebagai partai penyeimbang. Terdapat sinyalemen ARB akan maju menjadi Ketua Umum Golkar periode 2015-2020. Kalau tidak, posisi politik Ketua KMP bisa saja diubah oleh Ketua Umum Golkar yang baru.
Sekalipun jadwal Musyarawah Nasional belum jelas, posisi ARB masih kuat dalam mengendalikan Golkar di daerah-daerah. Bagi penganut paham konstitusionalitas, jadwal Munas disesuaikan dengan Anggaran Dasar pasal 30 : “Musyawarah Nasional adalah pemegang kekuasaan tertinggi partai yang diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun”. Munas terakhir terjadi bulan Oktober 2009, berarti Munas berikutnya bulan Oktober 2014.
Namun, terdapat klausulan dalam Munas VIII Riau 2009 bahwa masa jabatan kepengurusan bisa diperpanjang sampai tahun 2015. Klausulan itu hanya berupa rekomendasi yang belum memiliki kekuatan hukum. Idealnya, kalau memang klausulan itu diterima sebagai Keputusan Munas VIII, akan masuk ke dalam “aturan peralihan” dalam Anggaran Dasar. Faktanya, klausulan itu sama sekali tidak ditandatangani pimpinan sidang, berbeda dengan dokumen-dokumen lainnya. Pernyataan politik Partai Golkar saja, ikut ditanda-tangani oleh pimpinan sidang.
Kalau hanya sekadar unjuk kekuatan, perbedaan pendapat soal Munas 2014 atau 2015 ini berakibat fatal bagi Golkar. Yang diperebutkan adalah suara DPD I guna menggelar Munas Luar Biasa. Kalau ini yang terjadi, Golkar bisa saja memiliki kepengurusan kembar yang masing-masing berpegang pada AD-ART. Padahal, bukan zamannya lagi untuk memecah Golkar yang setiap lima tahun “melahirkan” partai-partai baru. Golkar sudah terbiasa dengan konflik keras, bahkan berujung pada perpecahan.
Munas 2015 lemah secara hukum dan politik. Klausulan itu untuk menghadapi Pilpres yang diikuti kader yang diusungi Golkar, baik putaran pertama, apalagi putaran kedua. Dalam Pilpres 2009, tokoh-tokoh utama Golkar bukan kosentrasi pada Pilpres, melainkan pada penggalangan dukungan suara untuk menjadi Ketum Golkar dalam Munas 2009. Mesin Golkar tak berjalan maksimal guna memenangkan JK-Wiranto. Dalam Pilpres 2014, kader Golkar yang maju hanyalah JK dan berlangsung satu putaran.
KMP sudah menyatakan sebagai penyeimbang pemerintahan Jokowi-JK. Dengan diketuai oleh ARB, KMP berarti dipimpin Golkar. ARB akan kehilangan legitimasinya, begitu juga KMP, apabila tidak lagi menjadi Ketum. Sasaran pertama KMP tentulah Ketua DPR RI, Ketua MPR RI dan lain-lainnya. Dengan UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) yang baru, KMP dengan mudah bisa mengambil pucuk-pucuk pimpinan di lembaga legislatif.
Soliditas KMP bisa dicatat sebagai yang terbaik, dibandingkan dua pilpres sebelumnya. KMP tetap tak bergeming untuk mengalihkan dukungan terhadap pemerintahan Jokowi-JK, setelah MK mengetuk palu. Beberapa parpol disebut bakal bergabung dengan koalisi yang dipimpin oleh PDI Perjuangan, namun baru sebatas wacana.
Perkembangan terakhir ditunjukkan oleh Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono. SBY memberikan sinyal sebagai poros ketiga. Padahal, dalam sepuluh tahun terakhir, Golkar yang berada di posisi itu, yakni menjadi partai tengah guna menyeimbangkan poros kiri (oposisi) dan kanan (pemerintah). Dalam masalah pengurangan subsidi bahan bakar fosil, terlihat sekali Jokowi-JK memerlukan dukungan SBY, ketimbang KMP.
Bakal terjadi “permainan” segitiga poros politik dalam lima tahun ke depan. Konsentrasi penuh Jokowi-JK menjalankan pemerintahan, dihadapkan dengan tiga kekuatan politik di DPR RI. Jangan lupa, MPR RI juga akan mendapatkan peranan lebih besar. Sinyalemennya sudah tampak, yakni mendelegitimasikan rezim Jokowi-JK. Walau tidak akan sampai pada tindakan pemakzulan, seperti era Presiden Abdurrahman Wahid, namun kekuatan MPR RI bisa lebih banyak digunakan untuk menekan Jokowi-JK.
Tinggal ketangguhan kepemimpinan Jokowi-JK yang ditunggu, baik dari sisi kekompakan, maupun dukungan dari partai-partai politik pengusung, relawan, maupun individu-individu yang berkarakter kuat dan sekaligus berani. Pilihan prioritas kebijakan akan sangat menentukan bagi dukungan publik terhadap rezim Jokowi-JK. Apabila pilihan-pilihan itu ternyata memunculkan sentimen negatif, KMP dengan mudah mendapatkan panggung politik dengan segala armadanya yang sudah dipersiapkan dengan rapi.
Indra Jaya Piliang