Arah perubahan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam RUU Pilkada kian jelas, yakni penolakan pemilihan kepala daerah secara langsung. Alih-alih memperbaiki politik biaya tinggi yang sebetulnya bisa diantisipasi, mayoritas partai politik malah mendukung pemilihan kepala daerah via DPRD. Padahal, proses pemilihan via DPRD sudah terjadi sejak zaman Orde Baru, termasuk lewat UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi UU No 32/2004.
Lalu, apa motif utama dari perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah ini? Dipandang dari sisi UUD 1945 hasil amandemen, memang tidak ada aturan yang menyebut bahwa kepala daerah dipilih secara langsung. Pasal 18 ayat 4 berbunyi: “Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Ketentuan inilah yang ditafsirkan bahwa pemilihan langsung ataupun via DPRD memenuhi syarat sebagai pemilihan secara demokratis. Apalagi dikaitkan dengan demokrasi Pancasila yang luas itu, bahkan pemilihan Presiden secara langsung bisa saja dianggap terlalu liberal.
Perubahan ini terkesan mendadak, hanya bagian dari pertarungan kekuasaan, bukan berlandaskan keinginan untuk memperbaiki demokrasi di tingkat lokal. Garis besar pertarungan itu adalah efek kekalahan koalisi partai-partai politik pengusung Prabowo-Hatta. Penetapan UU MD3 yang baru dan revisi UU Pilkada ini ada dalam mata rantai penguatan Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR RI dan pemerintahan daerah. Artinya, pengaruh kekuasaan Jokowi-JK hanya dibatasi pada lingkup pemerintahan pusat semata, yakni dari jabatan presiden, wakil presiden sampai menteri di kabinet.
Potret ini juga menunjukkan bahwa KMP bukan murni sebagai partai oposisi, apalagi sebagai penyeimbang pemerintah. KMP justru memperlihatkan ambisi kekuasaan di level pemerintahan daerah secara mutlak. Prosentase kemenangan di DPR RI dikapitalisasi menjadi prosentase kemenangan di daerah-daerah. PDI Perjuangan dan partai-partai pengusung Jokowi-JK hanya mungkin bertahan di daerah-daerah basis utama. Jadi, ada usaha untuk melokalisir kekuatan Jokowi-JK di basis-basis tertentu saja.
Usaha yang bersifat politik murni itu tentu sah-sah saja. Namun, dalam sistem presidensial dan sekaligus konsep negara kesatuan, sulit untuk melihat skema politik yang seperti itu. Walau bukan menjadi “bawahan” langsung dari Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, kepala-kepala daerah memiliki kewenangan otonom yang sudah diatur UUD dan UU. Untuk daerah-daerah tertentu, malahan kepala daerahnya memiliki kewenangan khusus, seperti Papua, Aceh, Jakarta dan Yogyakarta. Secara umum, Gubernur adalah wakil pemerintahan pusat di daerah.
Artinya, akan sia-sia saja usaha membelah-belah daerah menjadi bagian dari dioorama pengelompokan politik. Sistem multipartai hanyalah bagian dari kepesertaan dalam pemilu, tetapi bukanlah arus yang masuk dalam pemerintahan. Indonesia bukanlah negara federal yang menyebabkan satu daerah dikuasai oleh partai oposisi di pusat, lalu daerah lain dikuasai partai pemerintah di pusat. Seorang kepala daerah juga tidak murni sebagai perwakilan partai politik, mengingat status yang disandang macam-macam, termasuk sebagai Pegawai Negeri Sipil ataupun berasal dari kalangan perseorangan. Sejak awal, tempat yang disediakan bagi partai-partai politik adalah DPR dan DPRD (serta DPD RI).
Contoh nyata sudah ada, yakni koalisi partai-partai politik yang dibentuk oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Sekalipun mayoritas di DPR dan daerah, serta ikut masuk ke kabinet, tetap saja pelaksanaan pemerintahan tidak berjalan secara efektif. Seorang gubernur bahkan tidak bisa dengan mudah mengundang bupati atau walikota menghadiri rapat koordinasi. Gubernur bukan atasan langsung dari bupati atau walikota, walau menjadi wakil pemerintah pusat di daerah. Otonomi daerah juga membawa konsekuensi persaingan antar daerah, sehingga menciptakan otonomi politik. Bentuk paling nyata sepuluh tahun lalu adalah portal-portal pungutan liar di batas-batas daerah berdasarkan Peraturan Daerah.
Argumen-argumen untuk mendukung pemilihan via DPRD juga sumir. Hampir tidak ada yang baru, malahan diluar apa yang diperdebatkan. Soal biaya politik, sejak awal memang demokrasi itu mahal. Demokrasi juga berasal dari kaum borjuis, bukan dari kalangan rakyat proletar. Penyiasatan biaya pilkada juga sudah banyak terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir, pihak yang terpilih menjadi kepala daerah juga bukan yang paling kaya raya atau yang mengeluarkan uang paling banyak.
Begitu juga dengan kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, bukan berasal dari ekses pemilihan langsung. Para kepala daerah memang memiliki sumber keuangan yang terbatas, bahkan minim. Dengan gaji yang sedikit, kepala daerah tinggal berharap dari prosentase Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diterima. Masalahnya, PAD masing-masing daerah juga tidak sama, mengingat kekayaan daerah berlainan. Ada daerah yang sangat tergantung kepada pusat, ada yang bisa memberikan kontribusi kepada pusat. Indonesia adalah keberagaman, bukan keseragaman.
Apalagi, UU Pemerintahan Daerah satu paket dengan UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Apabila perimbangan keuangan ini tidak menemukan formulasi yang tepat, kita akan terus melihat kepala-kepala daerah yang tajir, sebaliknya juga dengan kepala-kepala daerah yang tiris kantongnya. Belum lagi masih ada sekitar 188 daerah tertinggal di Indonesia. Dari namanya saja, daerah-daerah ini sebetulnya tidak sanggup membiayai diri sendiri guna mencapai nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang baik. Daerah-daerah itu perlu dibantu dengan dana-dana khusus. Demokrasi berlangsung di daerah-daerah yang miskin, bahkan beberapa di antaranya mengalami busung lapar. Lalu, apa yang sebetulnya terjadi? Pengebirian atau pengkasiman atas demokrasi di daerah.
Demokrasi yang sama sekali tidak bisa membuahi lagi. Demokrasi yang diakibatkan kelalaian partai-partai politik dalam melakukan edukasi. Demokrasi yang tidak memberi, tetapi hanya mengambil. Daulat rakyat hanya diartikan sebagai angka-angka dukungan dalam setiap kali kontestasi. Justru ketika harapan partisipasi mulai muncul menggantikan mobilisasi, demokrasi substantif mulai pelan-pelan bicara, sistem pemilihan kembali disembunyikan di ruang-ruang karantina yang jauh dari persoalan-persoalan rakyat. Akankah kita diam saja?
Indra Jaya Piliang