Bagi saya, Pilpres 2014 sudah selesai. Memang masih ada sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi. Namun sulit rasanya menghadirkan bukti-bukti atas terjadinya kecurangan Pilpres secara masif, terstruktur dan sistemik.
Pertama, Joko Widodo dan Jusuf Kalla bukannya incumbent. Jokowi hanya sosok yang sedang diberhentikan sementara (cuti) sebagai Gubernur DKI, sementara JK merupakan anggota biasa Partai Golkar yang bahkan tidak didukung oleh Partai Golkar.
Kedua, justru Partai Demokrat yang diketuai oleh Susilo Bambang Yudhoyono berada di pihak Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Walau keterlibatan aparatur negara sama sekali tidak terjadi, namun dalam gestur politik dukungan dari partai penguasa itu menjadi penting.
Ketiga, dari lima partai politik yang mengusung Jokowi-JK, hanya PKB yang berada di pemerintahan, yakni Muhaimin Iskandar dan Helmy Faisal. Tetapi keduanyapun merupakan pembantu Presiden SBY. Jauh lebih banyak menteri lagi yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta.
Keempat, penyelenggara Pilpres, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapatkan pengawasan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Diluar itu, keduanya juga diawasi oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pengawasan intensif terhadap penyelenggara Pilpres itu.
Kelima, bukti-bukti yang diajukan oleh pasangan Prabowo-Hattalah yang nantinya akan menjadi pokok perkara sengketa Pilpres ini. Tetapi bukti-bukti itu harus melampirkan perubahan suara yang jaraknya 8,4 Juta lebih. Artinya, sengketa hasil hanya akan terjadi, apabila jumlah suara Jokowi-JK berkurang sekitar 4,4 Juta, lalu dialihkan menjadi suara Prabowo-Hatta. Tampaknya, angka inilah yang diincar, mengingat Prabowo-Hatta menyatakan unggul 50,25%, ketimbang Jokowi-JK yang 49,75% dengan selisih suara 700ribuan.
Dilihat dari kasus-kasus sebelumnya, sulit membuktikan tuduhan yang berakibat munculnya sengketa Pilpres itu. Sebagai contoh, pasangan JK-Wiranto juga mengklaim kemenangan mencapai 39% dalam Pilpres 2009, namun angka realnya hanya 12% lebih. Kenyataannya, tuntutan yang diajukan oleh JK-Wiranto – dan juga Mega-Prabowo—dimentahkan oleh hakim konstitusi. Pasangan SBY-Boediono tetap sah sebagai pemenang Pilpres 2009. Bayangkan, dalam Pilpres 2009, Prabowo sebagai Cawapres sudah dinyatakan kalah oleh MK, bagaimana nantinya usai MK mengambil keputusan?
888
Bagaimana dengan Partai Golkar? Seyogianya Partai Golkar sama sekali menarik diri dari proses terakhir ini. Toh Partai Golkar sudah berpengalaman dengan Pilpres 2009 dan ratusan sengketa pilkada lainnya yang diputuskan MK. Apabila putusan MK tetap memenangkan pasangan Jokowi-JK, Partai Golkar kembali mencatatkan diri dalam sebuah dokumen tentang kekalahan secara hukum. Betul, langkah hukum adalah langkah terakhir. Namun langkah hukum idealnya juga memerlukan pengkajian tentang manfaat taktis dan strategisnya.
Secara psikologi politik, Golkar dinyatakan kalah berkali-kali, baik dalam Pileg 2014, sengketa pileg 2014 yang diajukan ke MK, Pilpres 2014 dan terakhir sengketa Pilpres yang diajukan ke MK. Putusan sengketa Pileg 2014 lalu idealnya menjadi bahan bagi Partai Golkar untuk dikaji, tentang sulitnya memenangkan perkara di MK.
Hal ini melengkapi apa yang terjadi dengan Partai Golkar. Keputusan DPP Partai Golkar untuk mengusung pasangan Prabowo-Hatta telah menuai selisih pendapat di internal partai. Buahnya adalah pemecatan terhadap tiga kader penting, yakni Nusron Wahid, Agus Gumiwang Kartasasmita dan Poempida Hidayatullah. Partai Golkar juga tidak menunjukkan diri sebagai partai kader, yakni sama sekali tidak ikut mengusung kadernya, yakni JK sebagai Cawapres. Pukulan psikologis lahir, ketika ternyata hasil perhitungan resmi KPU menyatakan Jokowi (kader PDI Perjuangan) dan JK (kader Partai Golkar) yang memenangkan Pilpres 2014 ini.
Kengototan kader-kader utama Partai Golkar di kubu Prabowo-Hatta juga terlihat, ketika dengan penuh percaya diri masih menyatakan Prabowo-Hatta sebagai pemenang, jauh setelah hasil quick count diumumkan dan hasil real count juga sudah masuk dari tingkat PPS, PPK dan bahkan KPU Kabupaten dan Kota. Beberapa elite Partai Golkar masih bersuara bahwa perhitungan PKS masih menunjukkan kemenangan Prabowo-Hatta. Akibatnya, publik melihat kader-kader utama Partai Golkar itu sama sekali tidak cakap dalam membaca situasi dan seakan tak paham dengan metode penyelenggaraan Pilpres. Ada banyak nama yang bisa disebut, antara lain Marwah Daud Ibrahim, Musfihin Dahlan, Ali Mochtar Ngabalin, Tantowi Yahya dan Idrus Marham.
Padahal, selama lima tahun terakhir, Partai Golkar bahkan mengeluarkan semacam daftar hitam lembaga-lembaga survei yang tidak kredibel, sehingga sama sekali tidak dipakai oleh Partai Golkar dalam pilkada. Dua di antaranya: Puskaptis dan Lembaga Survei Nasional (LSN). Bagaimana bisa kedua lembaga survei ini tiba-tiba menjadi begitu berkualitas dan kredibel, dalam quick count Pilpres yang jauh lebih mudah daripada survei? Saya tidak tahu, kenapa Partai Golkar yang begitu besar di mata publik, dengan mudah memberikan penilaian betapa Puskaptis dan LSN adalah lembaga yang kredibel, sementara selama lima tahun berada dalam daftar hitam? Apa yang dipertaruhkan Partai Golkar, sehingga menyorongkan diri sebagai tameng bagi lembaga survei yang “ilmiah” – namun kelihatan tak mengerti metodologi survei dan quick count – itu?
Seolah, sistem yang sudah lama dibangun oleh Partai Golkar tiba-tiba saja dengan mudah bisa tembus oleh dua lembaga survei yang sama sekali tak kredibel. Sebagai Ketua Pelaksana Badan Penelitian dan Pengembangan DPP Partai Golkar, saya mengikuti dari dekat perkembangan seluruh lembaga survei. Bahkan, tiap kali ada lembaga survei yang merilis hasilnya, saya selalu mewakili Partai Golkar untuk mengecek dan sekaligus mengomentari hasil-hasilnya. Saya sama sekali tidak pernah diundang oleh Puskaptis ataupun LSN, karena mereka sendiri tahu tentang kredibilitas lembaganya dihadapan para ahli survei yang juga dimiliki oleh DPP Partai Golkar.
888
Tentu ada banyak catatan lain, termasuk bagaimana hanyutnya Partai Golkar dengan deru kampanye Prabowo-Hatta. Satu yang paling ironis menurut saya adalah pemakaian simbol Garuda Merah. Jelas sekali simbol yang menyerupai lambang negara itu tidak boleh dipakai sembarangan, bahkan oleh Tim Nasional Sepakbola. Garuda Merah yang sama sekali tak berisikan Pancasila itu, tiba-tiba menjadi lambang yang menguasai aura Partai Golkar, bahkan mengalahkan simbol Beringin. Padahal, saya memimpikan, bahwa ketika pelantikan Presiden dan Wakil Presiden tanggal 20 Oktober 2014 nanti, simbol Beringin Emaslah yang keluar. Kenapa? Waktu pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI itu bertepatan dengan Ulang Tahun Emas Partai Golkar yang ke-50!
Garuda Merah ternyata lebih diminati oleh petinggi-petinggi Partai Golkar, ketimbang Beringin Emas.
Koalisi Merah Putih yang juga ditandatangani oleh petinggi Partai Golkar menjadi bukti akan tidak taktis dan strategisnya posisi Partai Golkar. Bagaimana bisa Partai Golkar terus-menerus terseret langkahnya dalam peta pertarungan politik Pilpres 2014, sementara tahun terus berjalan menuju Pilpres 2019? Walau saya tidak tahu isi dari dokumen Koalisi Merah Putih, secara tidak langsung publik membaca bahwa Prabowo-Hatta akan diusung lagi oleh Partai Golkar pada Pilpres 2019. Artinya, proses pengkaderan di Partai Golkar tiba-tiba menjadi macet dan mati. Partai Golkar sudah kalah sebelum bertarung, yakni tidak mengusung kader terbaiknya untuk menjadi Capres dan Cawapres dalam Pilpres 2019.
Mumpung masih ada waktu, sebaiknya langkah-langkah yang menurut saya tidak taktis dan tidak strategis bagi Partai Golkar itu dievaluasi kembali. Apalagi Pilpres 2019 bersamaan waktunya dengan Pileg 2019. Artinya, masing-masing partai politik bisa mengusung Capres dan Cawapresnya sendiri, sehingga Koalisi Merah Putih dengan sendirinya hancur di tengah jalan. Sangat tidak rasional partai-partai politik yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih untuk hanya mengandalkan Prabowo-Hatta, dengan sama sekali menyimpan tokoh-tokoh partainya sendiri untuk maju sebagai Capres dan Cawapres. Ataukah memang politik menjadi irrasional, sehingga ambisi masing-masing partai politik sama sekali tumpul, demi keutuhan Koalisi Merah Putih?
Jalan penyelamatan partai sudah disuarakan oleh pelbagai kalangan. Saya merasa skeptis, apakah jalan itu yang hendak ditempuh. Partai Golkar seolah mengalami kemunduran puluhan tahun, ketika sama sekali tak berani mengajukan Capres dan Cawapres dari kalangan sendiri, bahkan setelah MK membuka jalan lewat Pilpres dan Pileg secara serentak tahun 2019. Padahal, dengan mengingat perjalanan politik sejak reformasi, Partai Golkar justru mengandalkan sumberdaya internal, ketimbang mendorong sumberdaya eksternal. Soalnya, Partai Golkar dengan bangga terus menyebut diri sebagai penghasil politisi jempolan yang kemudian menyebar di banyak partai politik lain.
Bagi saya, tidak masalah Partai Golkar berada di luar pemerintahan. Tetapi, sejumlah hal perlu dilakukan, yakni merevisi Keputusan Munas Partai Golkar 2009 yang menyatakan bahwa Partai
Golkar adalah partai pemerintah, walau tetap bersikap kritis. Saya masih ingat bagaimana Presiden SBY berpidato di Istana Negara, di bawah sebuah pohon, guna mengomentari perkembangan Munas Partai Golkar di Pekanbaru yang nampaknya ingin menjadi partai oposisi. Justru pandangan agar Partai Golkar menjadi oposisi itu datang dari Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla, ketika membuka Munas VIII Partai Golkar.
Sekarang, keadaan justru terbalik, JK berpegang kepada putusan Munas yang kemudian memungkinkan Partai Golkar bergabung dengan pemerintahan SBY-Boediono itu. Pihak-pihak yang dulu menolak Partai Golkar menjadi partai oposisi malah sebaliknya, menginginkan partai ini menjadi oposisi resmi via Koalisi Merah Putih.
Jalan terbaik menurut saya adalah menggelar Munas IX Partai Golkar. Saya tidak ingin terjebak dengan sebutan Munas Dipercepat atau Munas Biasa atau Munaslub. Yang penting, dokumen-dokumen resmi harus dihasilkan, agar arah perjalanan partai memiliki pijakan kuat, tidak hanya berdasarkan sentimen sesaat dan penilaian subjektif pengurus DPP Partai Golkar. Kalau memang ada dokumen yang menyatakan bahwa Partai Golkar menjadi “partai oposisi”, sebaiknya dokumen itulah yang dijadikan landasan. Sayangnya, dokumen itu sama sekali tidak ada, tak pernah ada, tak pernah disebut. Sehingga, sebelum dokumen itu ada dan benar-benar ada, seluruh langkah politik untuk menjadikan Partai Golkar sebagai partai oposisi adalah jalan inkonstititusional. Wallahu ‘Alam.
Jakarta, 26 Juli 2014, Indra Jaya Piliang